1/03/2018

MAKALAH TAFSIR




KATA PENGANTAR
                       
Segala puji hanya milik Allah SWT. Shalawat dan salam selalu tercurahkan kepada Rasulullah  SAW. Berkat limpahan dan rahmat-Nya kami  mampu menyelesaikan tugas makalah ini guna memenuhi tugas mata kuliah Ulumul Qur’an.
Makalah ini disusun agar pembaca dapat memperluas ilmu tentang Metodologi Tafsir Al Qur’an, yang kami sajikan berdasarkan pengamatan dari berbagai sumber informasi, referensi, dan berita.
Semoga makalah ini dapat memeberikan wawasan yang lebih luas  dan menjadi sumbangan pemikiran kepada pembaca khususnya para mahasiswa. Kami sadar bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari sempurna. Untuk itu, kepada dosen pembimbing kami meminta masukannya demi perbaikan pembuatan makalah kami di masa yang akan datang dan mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca.

Suryalaya, 03 Desember 2017



            Penyusun

                                                                                          








DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................................... i
DAFTAR ISI.......................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang Masalah.................................................................................................... 1
B.       Rumusan Masalah............................................................................................................. 1
C.       Tujuan................................................................................................................................ 1
BAB II PEMBAHASAN
A.      Pengertian Ilmu Tafsir....................................................................................................... 2
B.       Tujuan Mempelajari Ilmu Tafsir........................................................................................ 3
C.       Macam-Macam Tafsir........................................................................................................ 3
D.      Tokoh-tokoh Mufassir Setelah Wafatnya Rosulullah SAW............................................. 5
E.       Ruang Lingkup & Macam-macam Metode Tafsir............................................................. 8
F.        Ketinggian Tafsir............................................................................................................ 10
G.      Syarat-Syarat Ahli Tafsir dan Adabnya......................................................................... 10
BAB III PENUTUP
A.      Kesimpulan..................................................................................................................... 12
B.       Saran............................................................................................................................... 12
DAFTAR PUSTAKA

 

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al Qur’an merupakan petunjuk bagi seluruh umat manusia. Al Qur’an juga menjadi penjelasan (bayyinat). Dari petunjuk tersebut sehingga kemudian mampu menjadi pembeda (furqaan)-antara yang baik dan yang buruk. Disinilah manusia mendapatkan petunjuk dari Al Qur’an. Manusia akan mengerjakan yang baik dan akan meninggalkan yang buruk atas dasar pertimbangannya terhadap Al Qur’an tersebut. Maka untuk mengetahui dan memahami betapa dalam isi kandungan Al Qur’an diperlukan tafsir.
Penafsiran terhadap al quran mempunyai peranan yang sangat besar dan penting bagi kemajuan dan perkembangan umat islam. Oleh karena itu, sangat besar perhatian para ulama untuk memahami dan menggali dan memahami makna yang terkandung dalam kitab suci ini. Sehingga lahirlah bermacam-macam tarfsir dengan corak dan metode penafsiran yang beraneka ragam pula, dan dalam penafsiran itu nampak dengan jelas sebagai suatu cermin perkembangan penafsiran al quran serta corak pemikiran para penafsirnya sendiri.

B. Rumusan Masalah
1.         Apa pengertian Ilmu Tafsir ?
2.         Apa tujuan mempelajari Ilmu Tafsir ?
3.         Sebutkan macam-macam Tafsir ?
4.         Siapa saja tokoh-tokoh Mufassir setelah wafatnya Rasulullah SAW ?
5.         Sebutkan ruang lingkup dan macam-macam metode Tafsir !
6.         Jelaskan ketinggian Tafsir ?
7.         Sebutkan ahli tafsir dan adabnya !
                                                       
C. Tujuan
1.         Dapat mengetahui pengertian Ilmu Tafsir.
2.         Dapat memahami tujuan mempelajari Ilmu Tafsir.
3.         Dapat mengerti macam-macam Tafsir.
4.         Dapat mengetahui tokoh-tokoh Mufassar setelah wafatnya Rasulullah SAW.
5.         Dapat memahami ruang lingkup dan macam-macam metode Tafsir.
6.         Dapat mengetahui ketinggian Tafsir.
7.         Dapat mengetahui ahli tafsir dan adabnya.

BAB II

PEMBAHASAN

 

A.  Pengertian Ilmu Tafsir

Kata ilmu tafsir terdiri dari dua kata “ilmu” dan “tafsir”. Ilmu secara bahasa berarti memahami sesuatu. Bedanya dengan ma’rifat (pengetahuan) adalah bahwa ilmu itu diungkapkan untuk memahami kulliyat (totalitas) berdasarkan argumen (dalil), sedangkan ma’rifat adalah untuk memahami bagian-bagiannya. Ilmu adalah pengetahuan yang dapat di uji kebenarannya secara ilmiah dan tersusun secara sistematis.
tafsir dan ilmu tafsir itu sangat berbeda. Hal ini dapat dilihat dari :
·            Tafsir adalah penjelasan atau keterangan tentang al-Qur'an. Ilmu tafsir adalah ilmu yang membahas tentang bagaimana cara menerangkan atau menafsirkan al-Qur'an. 
·         Ilmu tafsir adalah sarana atau alatnya. Sedangkan tafsir adalah produk yang dihasilkan oleh ilmu tafsir.[1]
Tafsir berasal dari bahasa Arab, fassara-yufassiru-tafsiran yang berarti penjelasan, pemahaman, dan perincian.. Tafsir dapat juga diartikan al-idlah wa al-tabyin, yaitu penjelasan dan keterangan.
Pendapat lain menyebutkan bahwa kata ‘Tafsir‘ sejajar dengan timbangan (wazan) kata taf’il, diambil dari kata al-fasr yang berarti al-bayan (penjelasan) dan al-kasyf yang berarti membuka atau menyingkap, dan dapat pula diambil dari kata al-tafsarah, yaitu istilah yang digunakan untuk suatu alat yang biasa digunakan oleh dokter untuk mengetahui penyakit.
Dalam Alquran, kata “tafsir” diartikan sebagai “penjelasan”, hal ini sesuai dengan lafal tafsir yang terulang hanya satu kali, yakni dalam QS. Al-Furqan[25]: 33
“Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu dengan (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu sesuatu yang benar dan paling baik penjelasannya”.
Menurut Istilah:
1)        Menurut Al-Jurjani bahwa Tafsir ialah menjelaskan makna ayat-ayat Alquran dari berbagai seginya, baik konteks historisnya maupun sebaba al-nuzulnya, dengan menggunakan ungkapan atau keterangan yang dapat menunjukkan kepada makna yang dikehendaki secara terang dan jelas.
2)        Menurut Imam Al-Zarqani bahwa tafsir adalah ilmu yang membahas kandungan Alquran baik dari segi pemahaman makna atau arti sesuai dikehendaki Allah, menurut kadar kesanggupan manusia.
3)        Menurut Al-Maturidi bahwa tafsir merupakan penjelasan yang pasti dari maksud satu lafal dengan persaksian bahwa Allah bermaksud demikian dengan menggunakan dalil-dalil yang pasti melalui para periwayat yang adil dan jujur.
4)        Menurut Az-Zarkasyi bahwa tafsir adalah ilmu yang fungsinya untuk mengetahui kandungan kitabullah (Alquran) yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dengan cara mengambil penjelasan maknanya, hukum serta hikmah yang terkandung di dalamnya.

B.  Tujuan Mempelajari Ilmu Tafsir

Memahamkan makna–makna Al-Qur’an, hukum-hukumnya, hikmat-hikmatnya, akhlaq-akhlaqnya, dan petunjuk-petunjuknya yang lain untuk memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat. Maka dengan demikian nyatalah bahwa, faidah yang kita dapati dalam mempelajari tafsir ialah : “terpelihara dari salah dalam memahami Al-Qur’an”.
Sedangkan maksud yang diharap dari mempelajarinya, ialah : “mengetahui petunjuk-petunjuk Al-Qur’an, hukum-hukumnya degan cara yang tepat”.

C. Macam-macam Tafsir

1.        Tafsir bil ma’tsur

adalah tafsir yang berlandaskan naqli yang shahih, dengan cara menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an atau dengan sunnah, yang merupakan penjelas kitabullah. Atau dengan perkataan para sahabat yang merupakan orang-orang yang paling tahu tentang kitabullah, atau dengan perkataan tabi’in yang belajar tafsir dari para sahabat.
Cara tafsir bil ma’tsur adalah dengan memakai atsar-atsar yang menjelaskan tentang makna suatu ayat, dan tidak membicarakan hal-hal yang tidak ada faedahnya, selama tidak ada riwayat yang shohih tentang itu.
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah,
“Wajib diketahui bahwa nabi telah menjelaskan makna-makna Al-Qur’an kepada para sahabat sebagaimana telah menjelaskan lafadz-lafadznya kepada mereka. Karena firman Allah”.dan “agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah dirurunkan kepada mereka” (QS. An-Nahl: 44) mencakup penjelasan lafadz-lafadz dan makna.

·           Hukum Tafsir bil Ma’tsur.

Tafsir bil ma’tsur adalah yang wajib diikuti dan diambil. Karena terjaga dari penyelewengan makna kitabullah. Ibnu Jarir berkata, “Ahli tafsir yang paling tepat mencapai kebenaran adalah yang paling jelas hujjahnya
terhadap sesuatu yang dia tafsirkan dengan dikembalikan tafsirnya kepada Rasulullah dengan khabar-khabar yang tsabit dari beliau dan tidak keluar dari perkataan salaf”.
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah,
“Dan kita mengetahui bahwa Al-Qur’an telah dibaca oleh para sahabat,tabi’in dan orang-rang yang mengikuti mereka. Dan bahwa mereka palingtahu tentang kebenaran yang dibebankan Allah kepada Rasulullah untukmenyampaikannya”.

2.        Tafsir bir Ro’yi

adalah tafsir yang berlandaskan pemahaman pribadi penafsir, dan istimbatnya dengan akal semata. Tafsir ini banyak dilakukan oleh ahli bid’ah yang meyakini pemikiran tertentu kemudian membawa lafadz-lafadz Al-Qur’an kepada pemikiran mereka tanpa ada pendahulu dari kalangan sahabat maupun tabi’in. Tidak dinukil dari para imam ataupun pendapat merek dan tidak pula dari tafsir mereka.
Seperti kelompok Mu’tazilah yang banyak menulis tafsir berlandaskan pokok-pokok pemikiran mereka yang sesat, seperti Tafsir Abdurrohman bin Kaisar, Tafsir Abu ‘Ali Al-Juba’i, Tafsir Al-Kabir oleh Abdul Sabban dan Al-Kasysyaf yang ditulis oleh Zamakhsari.

·           Hukum Tafsir Bir Ro’yi

Adapun menafsirkan Al-Qur’an dengan akal semata, maka hukumnya adalah harom. Sebagaimana firman Allah,
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuantentangnya”. (QS. Al-Isro’: 36)
Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang berkata tentang Al-Qur’an dengan akalnya semata, maka hendaknya mengambil tempat duduknya di neraka”.
Karena inilah, banyak ulama salaf yang merasa berat menafsirkan suatu ayat Al-Qur’an tanpa ilmu, sebagaimana dinukil dari Abu Bakar Ash-Shiddiq bahwa ia berkata,
“Bumi manakah yang bisa membawaku, dan langit manakah yang akan menaungikujika aku mengatakan sesuatu tentang Al-Qur’an yang aku tidak punyailmunya?”.
Dari Ibnu Abi Malikah bahwasanya Ibnu Abbas ditanya tentang suatu ayat yang jika sebagian di antara kalian ditanya tentu akan berkata tentangnya, maka ia enggan berkata tentangnya.  Berkata Ubaidullah bin Umar,
“Telah aku jumpai para fuqoha Madinah, dan sesungguhnya mereka menganggapbesar bicara dalam hal tafsir. Di antara mereka adalah Salim binAbdullah,Al-Qosim bin Muhammad, Sain bin Musayyib dan Nafi”.
Masyruq berkata, “Hati-hatilah kalian dari tafsir, karenadia adalah riwayat dari Allah.” 
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Secara umum, barangsiapa yang berpaling dari madzhab sahabat dan tabi’in dan tafsir mereka kepada tafsir yang menyelisihinya, maka telah berbuat kesalahan, bahkan berbuat bid’ah (sesuatu hal yang baru yang tidak ada contohnya dari Rasulullah) dalam agama”.
·           Kriteria menjadi mufassir
Mengingat bahwa mentafsirkan al-Qur’an adalah pekerjaan berat, para ulama menetapkan kualifikasi seseorang layak menjadi seorang mufassir. Setidaknya ia harus menguasai ushuluddin, mendalami Nahwu, sharf dan istihqoq, juga menguasai  ushul fiqh, asbabun nuzul, nasikh dan mansukh, ilmu qiroat, hadis dan fiqh. Tujuannya adalah agar mufassir bisa menjaga keilmiahan karyanya sekaligus berperan memelihara keotientikan al-Qur’an.
D.  Tokoh-tokoh Mufassir Setelah Wafatnya Rosulullah SAW.
Selepas wafatnya Nabi saw, tongkat estafet penafsiran dilanjutkan oleh para sahabat. Dalam menafsirkan al-Qur’an, mereka berpedoman pada metodologi Nabi, yaitu menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an lalu al-Qur’an dengan hadis. Bila tidak menemukan pada keduanya, barulah mereka berijtihad. Dengan ini para sahabat tidak serampangan dalam menafsirkan. Mereka amat berhati-hati. “Bumi mana yang membawaku dan langit mana yang menaungiku jika aku mengatakan dalam Kitab Allah apa yang tidak aku ketahui” ujar Abu Bakar ra.Dalam al-Itqon karya Imam as-Suyuthi, para mufassir ternama di kalangan sahabat berjumlah 10 orang: kholifah yang empat, Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Ubay bin Ka’ab, zaid bin Tsabit, Abu Musa al-As’ari dan Abdullah bin az-Zubair. Sedang riwayat yang paling banyak sampai kepada kita di antara khulafaurrasyidin adalah berasal dari Ali bin Abi Thalib. Ini disebabkan khalifah sebelunya wafat terlebih dahulu.
Fase penafsiran berikutnya dilanjutkan oleh para Tabi’in. Mereka tersebar ke berbagai lokasi.
1.      Tabi’in Makkah seperti Sa’id bi Jubair (W 95 H), Mujahid bin Jabar (w 104 H), Ikrimah maula Ibnu Abbas (105 H), Thawus bin Kisan al-Yamani dan Atha’ bin Robi’ah (114 H). Mereka adalah hasil didikan intensif Ibnu Abbas.
2.      Tabi’in Madinah seperti  Zaid bin Aslam, Abu al-Aliyah dan Muhammad bin Ka’ab al-Qurazi meriwayatkan dari Ubay bin Ka’ab. Tabi’in Iraq seperti Ilqimah bin Qais, masruq, al-Aswaq bin Yazid, Murah al-Hamzani, Qotadah dan Hasan al-Bashri mengambil riwayat Abdullah bin Mas’ud.
Tafsir paling awal
Menurut Ibnu Nadim, seorang sejarawan Muslim ternama, tafsir yang sudah ditulis oleh pengarangnya sendiri dan termasuk yang paling awal adalah karya Sa’id bin Jubair (W 95 H), seorang kibar at-tabi’in. Karya ini ditulis atas permintaan Khalifah Abdul Malik bin Marwan (84 H). Namun karya ini tidak sampai ke tangan kita. Karya tafsir yang termasuk paling tua dan sampai ke tangan kita sekarang dan ditulis oleh pengarangnya sendiri adalah potongan dari al-Wujuh wa an-Naza’ir karya Muqotil bin Sulaiman al-Balkhi (150 H) selain karya tersebut, beliau juga menulis beberapa karya tafsir seperti Khomsumi’ah Ayah min al-Qur’an, at-Tafsir fi Mutasyabih al-Qur’an dan at-Tafsir al-Kabir. Karangan beliau ini menjadi pijakan para ulama lain, termasuk di antaranya Imam Sufyan bin Uyainah (198 H), Imam as-Syafi’i (204 H) dan Imam Ahmad.
Dalam Tafsir Ruh al-Ma’ani ulama muta’akhirin membedakan antara keduanya. Ta’wil adalah penjelasan terhadap sebagian makna dari ayat al-Qur’an yang mengandung beberapa pengertian. Dalam definisi lain, tafsir adalah mengungkap makna-makna zahir dalam al- Qur’an. Sedang ta’wil merupakan hasil istinbath para ulama terhadap makna yang tersembunyi dan yang mengandung rahasia dari ayat-ayat al-Qur’an. Demikian menurut as-Suyuthi dalam al-Itqon. Pendapat ini dikuatkan oleh al-Alusi (1270 H).
Bagaimanapun sejak abad pertama sampai abad ketiga Hijriah, belum ada yang menulis tafsir secara utuh dari surat al-Fatihah sampai an-Nas. Penulisan secara utuh baru dimulai pada abad keempat hijriah. Ini pertama kali dipelopori oleh Ibnu Jarir at-Thobari (310H) dalam karya monumentalnya Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an. Beliau menggunakan metode isnad dalam penafsirannya. Tujuannya agar tafsiran beliau tidak serampangan dan tetap berpegang pada penafsiran yang otoritatif (hadis Nabi, komentar para sahabat dan tabi’in). Pendekatan Beliau ini diikuti oleh Ibnu Katsir (774 H) dalam tafsirnya Tafsir al-Qur’an al-Adzim dan Jalaluddin as-Suyuthi (911 H) dalam ad-Durr al-Mantsur fi at-Tafsir bi al-Ma’tsur. Metode penafsiran semacam inilah yang disebut dengan at-Tafsir bi ar-Riwayah atau at-Tafsir bi al-Ma’tsur.  Metode ini mengoptimalkan ijtihad yang dibangun atas dasar-dasar yang shahih dan kaidah-kaidah yang bisa diterima. Jadi  bukan semata-mata berpegang pada rasio bebas atau kepentingan ijtihad pribadi yang bertentangan dengan riwayat yang shahih. Karena Nabi saw pernah mewanti-wanti,”barangsiapa yang berkata tentang al-Qur’an semata-mata karena rasionya, maka bersiaplah mengambil tempat duduknya di neraka.”(HR. Bukhori) Karya tafsir yang menggunakan metode ini di antaranya: Mafatih al-Goib karya Muhammad bin Umar ar-Razi (606 H), Anwar at-Tanzil karya al-Baidhawi (675 H), Madariq at-Tanzil wa Madariq at-Tanzil karya an-Nasafy (701 H),al-Bahru al-Muhith karya Ibnu Hayyan al-Andulisy dan Tafsir Jalalain karya Jalaluddin as-Sayuthi dan Jalaluddin al-Mahalli (864 H).
Jenis ketiga dari metodologi tafsir adalah At-Tafsir al-Isyari.  Definisinya adalah ta’wil terhadap al-Qur’an yang berbeda dengan zhohir nash yang ada berdasarkan atas isyarat tersembunyi. Isyarat itu hanya bisa difahami oleh sebagian ahli ilmu yang ‘arif billah lagi bersih hatinya. Dalam metode ini, mufassir memandang pengertian yang berbeda dari zhohir ayat. Hanya ulama yang diberi bashiroh (petunjuk) oleh Allah sajalah yang mampu mengungkap isyarat tersebut.
Di kalangan ulama sendiri, tafsir al-isyari ini menjadi polemik antara yang membolehkan dan yang melarang. Bagi ulama yang membolehkan telah menetapkan dua syarat diterimanya tafsir ini, pertama: tidak menafikan makna zhohir ayat al-Qur’an. Kedua: tidak ada klaim bahwa ialah satu-satunya penafsiran yang shahih bukan yang lainnya. Namun terkadang banyak para zindiq dan kaum ektrim dari golongan tasauf dan Syiah menggunakan tafsir jenis ini untuk menjustifikasi kesesatan mereka. Ada pula yang berdalih dengannya guna berlepas diri dari syariat Islam. Di antara Tafsir al-Isyari yang ada adalah al-Kasyfu wa al-Bayan karya an-Nisaburi, Ruh al-Ma’ani karya al-Alusi dan at-Tafsir al-Qur’an al-Adzim karya at-Tasturi.[2]

E.  Ruang Lingkup & Macam-macam Metode Tafsir

1.      Ruang lingkup
Ilmu tafsir merupakan ilmu yang paling mulia, paling tinggi kedudukannya dan luas cakupannya. Paling mulia, karena kemulian sebuah ilmu itu berkaitan dengan materi yang dipelajarinya, sedangkan ruang lingkup pembahasan ilmu tafsir berkaitan dengan Kalamullah yang merupakan petunjuk dan pembeda dari yang haq dan bathil. Dikatakan paling luas cakupannya, karena seorang ahli tafsir membahas berbagai macam disiplin ilmu, dia terkadang  membahas akidah, fikih, dan akhlak. Di samping itu, tidak mungkin seseorang dapat memetik pelajaran dari ayat-ayatAl-Qur’an, kecuali dengan mengetahui makna-maknanya.
2.      Ilmu Tafsir memiliki beberapa metode :
·         Metode Tahlili (analitik)
Metode tahlili adalah metode tafsir Al-Qur’an yang berusaha menjelaskan Al-Qur’an dengan mengurai berbagai sisinya dan menjelaskan apa yang dimaksudkan oleh Al Qur’an. Metode ini merupakan metode yang paling tua dan sering digunakan.
Tafsir ini dilakukan secara berurutan ayat demi ayat, kemudian surat demi surat dari awal hingga akhir sesuai dengan susunan Al Qur’an. Dia menjelaskan kosa kata dan lafazh, menjelaskan arti yang dikehendaki, sasaran yang dituju dan kandungan ayat, yaitu unsur-unsur I’jaz, balaghah, dan keindahan susunan kalimat, menjelaskan apa yang dapat diambil dari ayat yaitu hukum fiqh, dalil syar’I, arti secara bahasa, norma-norma akhlak, dan lain sebagainya.
Di antara kitab-kitab tafsir yang menggunakan metode ini dengan bentuk ma’tsur adalah:


a) Tafsir al-Quran al-‘Azhim, karya Ibn Katsir.
b) Tafsir al-Munir, karya Syaikh Nawawiy al-Bantaniy.
c) Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil al-Qur’an al-Karim (Tafsir al-Thabari), karya Ibn Jarir al-Thabari.
·         Metode Ijmali (global)
        Metode ini berusaha menafsirkan Al-Qur’an secara singkat dan global, dengan menjelaskan makna yang dimaksud tiap kalimat dengan bahasa yang ringkas sehingga mudah dipahami. Urutan penafsiran sama dengan metode tahlili, namun memiliki perbedaan dalam hal penjelasan yang singkat dan tidak panjang lebar. Keistimewaan tafsir ini ada pada kemudahannya sehingga dapat dikonsumsi oleh tiap lapisan dan tingkatan ilmu kaum muslimin.
Kitab-kitab Tafsir yang menggunakan metode Ijmali
a)         Tafsir al-Jalalayn, karya Jalal ad-Din as-Suyuthi dan Jalal ad-Din al-Mahalli.
b)        Shafwah al-Bayan Lima’ani al-Qurân, karya Syeikh Hasanain Muhammad Makhluf.
c)         Tafsîr al-Quran al-‘Azhim, karya Ustadz Muhammad Farid Wajdiy.

·           Metode Muqarran
       Tafsir ini menggunakan metode perbandingan antara ayat dengan ayat, atau ayat dengan hadits, atau antara pendapat-pendapat para ulama tafsir, dengan menonjolkan perbedaan tertentu dari obyek yang diperbandingkan itu.
Kitab-kitab Tafsir yang menggunakan metode Muqarrin
a)        Durrah at-Tanzîl wa Ghurrah at-Tanwil, karya al-Iskafi (yang terbatas pada perbandingan antara ayat dengan ayat).
b)        al-Jami’ li Ahkam al-Quran, karya al-Qurthubiy (yang membandingkan penafsiran para mufassir).
c)        Rawa’i al-Bayan fî Tafsir Ayat al-Ahkam, karya ‘Ali ash-Shabuniy .



·         Metode Maudhui (tematik)
         Metode ini adalah metode tafsir yang berusaha mencari jawaban Al-Qur’an dengan cara mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur’an yang mempunyai tujuan yang satu, yang bersama-sama membahas topik atau judul tertentu dan menertibkannya sesuai dengan masa turunnya selaras dengan sebab-sebab turunnya, kemudian memperhatikan ayat-ayat tersebut dengan penjelasan-penjelasan, keterangan-keterangan dan hubungan-hubungannya dengan ayat-ayat lain kemudian mengambil hukum-hukum darinya.[3]
Kitab-kitab Tafsir yang menggunakan metode Maudhu’i
a)        Al-Mar’ah fi al-Quran dan Al-Insan fii al-Quran al-Kariim, karya Abbas Mahmud al-Aqqad
b)      Ar-Ribaa fii al-Quran al-Kariim, karya Abu al-‘A’la al-Maududiy
c)      Rawa’i al-Bayan fii Tafsir Ayat al-Ahkam, karya ‘Ali ash-Shabuniy[4] 
F.   Ketinggian Tafsir
Tafsir itu untuk ilmu syarit dan meninggikan nilainya. Ilmu inilah yang paling baik dan yang paling dibutuhkan. Maudhu’nya itu adalah firman Allah, yang memancarkan sekalian hikmah dan menyimpan setiap kelebihan. Maksudnya ialah berpegang kuat-kuat dengan tali kokoh dan sampai kepada hakikat kebahagiaan. Ini sangat dibutuhkan karena kesempurnaan hidup dunia akhirat itu tidak dapat tidak harus sesuai dengan syari’at. Penyesuaiannya itu harus tertumbuk kepada ilmu dengan kitabullah.[5]
G.    Syarat-syarat Ahli Tafsir dan Adabnya
Syarat ahli tafsir
1.        Baik ‘itikadnya
Akidah dalam dirinya itu berpengaruh terhadapnya. Kebanyakan penyelewengan-penyelewengan nash dan berkhianat dalam menukil berita-berita. Apabila seseorang mengarang kitab tafsir mereka mentakwilkan ayat-ayat yang berbeda terhadap akidah membawa kepada maazhab yang batil, untuk menghalang-halangi orang yang mengikut Ulama Salaf.
2.         Ada pula yang semata-mata berdasarkan hawa nafsu.
Inilah yang mendorongnya untuk menyokong mazhabnya. Mereka merayu orang lain dengan perkataan yang lemah lembut dan menerangkan keterangan-keterangan yang salah.
3.         Mula-mula menafsirkan Al-Quran itu dengan Al-Quran pula.
Apa yang merupakan global pada suatu tempat maka diuraikan panjang lebar pada tempat lain. Apa yang diringkaskan pada suatu tempat dan diperluas keterangannya pada tempat yang satu lagi.
4.          Mengambil tafsir itu dari sunah.
Sunah ini yang merupakan syarah Al-Quran. Al-Quran itu sendiri yang menyebutkan bahwa hukum-hukum yang dijalankan oleh Rasulullah itu bersumber dari Al-Quran.
5.         Apabila tidak terdapat sunah, maka orang kembali kepada perkataan sahabat. Itulah orang yang lebih tahu dengan apa yang dilihatnya sendiri karinah-karinah dan hal ihwal yang terjadi ketika ayat itu diturunkan
6.         Apabila tidak terdapat tafsir dalam al-Quran dan tidak pula pada sunah, tidak pula dalam perkataan sahabat, maka dalam hal ini kebanyakan Ulama kembali pada perkataan Tabi’ini.
7.         Ilmu dengan bahasa Arab dan cabang-cabangnya.
8.         Ilmu yang menjadi dasar dalam menafsirkan itu ialah ilmu-ilmu yang berkaitan dengan al-Quran.
9.         Pemohonan yang harus
Adab Ahli Tafsir
1.         Baik niat dan tujuannya
2.         Baik akhlaknya
3.         Mengingat perintah Allah dan beramal
4.         Meneliti dan memeriksa Al-Quran dan Hadits
5.         Bersikap rendah hati dan lemah lembut
6.         Tahu harga diri
7.         Bersikap terus terang dalam kebenaran
8.         Baik laku
9.         Jangan ceroboh
10.     Mendahulukan orang yang lebih pantas daripadanya
11.    Adanya persiapan yang baik dan metode yang baik untuk dipergunakan dalam membuat tafsir


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Secara etimologis, tafsir berarti penjelasan, sedangkan terminologis tafsir adalah keterangan dan penjelasan tentang arti dan maksud ayat-ayat al-Quran sekalipun tidak diungkapkan secara eksplisit. Tujuan mempelajari ilmu tafsir adalah terpelihara dari salah dalam memahami al-Quran. Ada beberapa macam-macam tafsir salah satunya adalah tafsir bil matsur.
B.     Saran
Kami sadar bahwa kami masih jauh dari kata sempurna, ke depannya kami akan lebih fokus dan detail dalam menjelaskan tentang makalah ini dengan sumber-sumber yang lebih banyak yang tentunya dapat dipertanggungjawabkan.




















DAFTAR PUSTAKA

Quthan, Mana’ul. 1995. Pembahasan Ilmu Al-Qur’an 2. Jakarta: Rineka Cipta




No comments:

Post a Comment