BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Generasi dimana Nabi Saw, diutus adalah generasi para sahabat.
Mereka adalah sebaik-baiknya generasi, dari aspek keimanan mereka sangat
memegang teguh ajaran Islam, dan mencintai Allah SWT dan RasulNya melebihi dari
segalanya. Hal ini bisa dilihat dari kisah para sahabat dalam mempertahankan
aqidah mereka, meskipun harus disiksa dan didera oleh berbagai siksaan dan
cacian dari kafir quraisy. Mereka adalah generasi yang patut kita jadikan
teladan, baik dari kuatnya keimanan, pengaplikasiannya dalam kehidupan
sehari-hari dan menyebarkan ajaran Islam kepada yang lainnya.
Terlepas dari segala keutamaan yang dimiliki oleh para sahabat. Para
ulama berbeda pendapat mengenai keabsahan segala hal yang sampai pada kita dari
sahabat baik itu berupa perkataan, perbuatan ataupun fatwa sebagai salah satu
sumber pengambilan hukum dalam Islam.
1.2. Rumusan Masalah
a. Apa pengertian mazhab shahabi?
c. Bagaimana kehujjahan mazhab shahabi?
c. Jelaskan bentuk-bentuk Madhab Sahabi !
d Apa dasar hukum Madhab Sahabi ?
1.3. Tujuan Penulisan
a. Untuk mengetahui pengertian mazhab
shahabi
b. Dapat menjelaskan macam-macam mazhab
shahabi.
c. Untuk mengetahui kehujjahan mazhab
shahabi.
d. Permasalahan dalam kehidupan Masyarakat
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Mazhab
Shahabi
Yang dimaksud dengan madzhab shahabi ialah pendapat sahabat
Rasulullah SAW tentang suatu kasus dimana hukumnya tidak dijelaskan secara
tegas dalam Alquran dan sunnah Rasulullah.
Sedangkan yang dimaksud dengan sahabat Rasulullah, adalah setiap
orang muslim yang hidup bergaul dengan Rasulullah dalam waktu yang cukup lama
serta menimba ilmu dari Rasulullah.
Menurut sebagian ulama Ushul Fiqh, mazhab shahabi merujuk
pengertian pada pendapat hukum para sahabat secara keseluruhan tentang suatu
hukum syara’ yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan Sunnah, dimana pendapat
para sahabat tersebut merupakan hasil kesepakatan diantara mereka.[1]
2.2. Keadaan Para Sahabat setelah Rasulullah Wafat
Setelah
Rasulullah SAW wafat, tampillah para sahabat yang telah memiliki ilmu yang
dalam dan mengenal fiqh untuk memberikan fatwa kepada umat Islam dan membentuk
hukum. Hal ini karena merekalah yang paling lama bergaul dengan Rasulullah SAW dan
telah memahami Al-Qur’an serta hukum-hukumnya. Dari mereka pulalah keluar fatwa
mengenai peristiwa yang bermacam-macam. Para mufti dari kalangan tabi’in dan
tabi’it-tabi’in telah memperhatikan periwayatan dan pentakwilan fatwa-fatwa
mereka. Diantara mereka ada yang mengodifikasikannya bersama sunnah-sunnah
Rasul, sehingga fatwa-fatwa mereka dianggap sumber-sumber pembentukan hukum
yang disamakan dengan nash. Bahkan, seorang mujtahid harus
mengembalikan suatu permasalahan kepada fatwa mereka sebelum kembali kepada
qiyas, kecuali kalau hanya pendapat perseorangan yang bersifat ijtihadi bukan
atas nama umat Islam. [2]
2.3. Kehujjahan
Madzhab Shahaby dan Pandangan para Ulama
Dari uraian di atas, tidak diragukan lagi bahwa pendapat para
sahabat dianggap sebagai hujjah bagi umat Islam, terutama dalam hal-hal yang
tidak bisa dijangkau oleh akal. Karena pendapat mereka bersumber langsung dari
Rasulullah SAW., seperti ucapan Aisyah,”Tidaklah berdiam kandungan itu dalam
perut ibunya lebih dari dua tahun, menurut kadar ukuran yang dapat mengubah
bayangan alat tenun”.[3]
Dan seperti yang dikatakan Ibnu Mas’ud bahwa sekurang-kurangnya masa haid
adalah 3 hari.
Keterangan di atas tidaklah sah untuk dijadikan lapangan ijtihad
dan pendapat, namun karena sumbernya benar-benar dari Rasulullah SAW maka
dianggap sebagai sunnah meskipun pada zahirnya merupakan ucapan sahabat.
Pendapat sahabat yang tidak bertentangan dengan sahabat lain bisa
dijadikan hujjah oleh umat Islam. Hal ini karena kesepakatan mereka terhadap
hukum sangat berdekatan dengan zaman Rasulullah SAW. mereka juga mengetahui
tentang rahasia-rahasia syari’at dan kejadian-kejadian lain yang bersumber dari
dalil-dalil yang qath’i. Seperti kesepakatan mereka dalam pembagian waris untuk
nenek yang mendapat bagian seperenam. Ketentuan tersebut wajib diikuti karena
tidak diketahui adanya perselisihan dari umat Islam.
Adanya perselisihan biasanya terjadi pada ucapan sahabat yang
keluar dari pendapatnya sendiri sebelum ada kesepakatan dari sahabat yang lain.
Abu Hanifah menyetujui pernyataan tersebut dan berkata,”Apabila saya tidak
mendapatkan hukum dalam Al-Qur’an dan Sunnah, saya mengambil pendapat para
sahabat yang saya kehendaki, dan saya meninggalkan pendapat orang yang tidak
saya kehendaki. Namun, saya tidak keluar dari pendapat mereka yang sama dengan
yang lainnya.”
Dengan demikian Abu Hanifah tidak memandang bahwa pendapat seorang
sahabat itu sebagai hujjah karena dia dapat mengambil pendapat mereka yang ia
kehendaki, namun dia tidak memperkenankan untuk menentang pendapat-pendapat
mereka secara keseluruhan. Dia tidak memperkenankan adanya qiyas untuk suatu
peristiwa, bahkan dia mengambil cara nasakh (menghilangkan/menghapus) terdapat
berbagai pendapat yang terjadi diantara mereka.
Menurut Abu Hanifah, perselisihan antara dua orang sahabat mengenai
hukum suatu kejadian sehingga terdapat dua pendapat, bisa dikatakan ijma’
diantara keduanya. Maka jika keluar dari pendapat mereka secara keseluruhan
berarti telah keluar dari ijma’ mereka.
Seedangkan Imam Syafi’i berpendapat bahwa pendapat orang tertentu
di kalangan sahabat tidak dipandang sebagai hujjah, bahkan beliau
memperkenankan untuk menentang pendapat mereka secara keseluruhan dan melakukan
ijtihad untuk mengistinbat pendapat lain. Dengan alasan bahwa pendapat mereka
adalah pendapat ijtihadi secara perseorangan dari orang yang tidak ma’sum
(tidak terjaga dari dosa).
Sealin itu, para sahabat juga diperbolehkan menentang sahabat
lainnya. Dengan demikian, para mujtahid juga dibolehkan menentang pendapat mereka.
Maka tidaklah aneh jika Imam Syafi’i melarang untuk menetapkan hukum atau
memberi fatwa, kecuali dari Kitab dan Sunnah atau dari pendapat yang disepakati
oleh para ulama, dan tidak terdapat perselisihan diantara mereka, atau
menggunakan qiyas pada sebagiannya. Imam
Syafi’i menyatakan,”Tidak diperkenankan memberikan hukum atau fatwa melainkan
berdasarkan berita yang benar yang datang dari Al-Qur’an dan Sunnah atau
apa-apa yang disepakati ahli ilmu yang tidak berbeda, atau dengan mengadakan
qiyas.”
Pendapat seorang shahabi tidak harus diikuti oleh shahabat lainnya.[4]
Seperti saat Ali diminta oleh Qadli Syuraih mengemukakan saksi, maka beliau
mengemukakan seorang budaknya yang telah dimerdekakan dan anaknya Hasan.
Syuraih menolak Al Hasan. Ali berpendapat bahwa seorang anak dapat dijadikan
saksi. Hal ini merupakan suatu dalil bahwa pendapat sahabat tidak menjadi
hujjah. Ali pun tunduk kepada putusan Syuraih.Akhirnya Yahudi yang menuduh Ali
itu mengaku, bahwa yang dipertengkarkan itu benar milik Ali.[5]
Pendapat sahabi yang tidak kita ketahui ada sahabi yang
menentangnya,dapat dijadikan hujjah karena diamnya sahabat itu sesuai dengan
kehendak syara’. Pendapat yang berdasarkan ijtihad yang dapat difahami dan
diperoleh dengan kekuatan akal dan diperselisihkan para sahabat, inilah yang
diperselisihkan oleh fuqoha. Menurut jumhur menjadi hujjah sedangkan diantara
yang menolak pendapat shahabi, ialah al-Ghazali dan Asy-Syaukani.[6]
Jumhur berpendapat bahwa para sahabat lebih dekat kepada dapat
memahami ruhusy syari’ah dan maksud-maksudnya. Banyak hadist yang dapat
dijadikan dalil bahwa pendapat shahabi adalah hujjah. Ibnul Qayyim menguatkan
pendapat jumhur dan menempatkan shahabi sesudah ijma’.
Malik dan Ahmad banyak berpegang kepada pendapat-pendapat shahabi.
Keduanya memandang bahwa pendapat shahabat adalah sumber tasyri’ dibawah ijma.
Adapun golongan hanafiyah dan Syafi’iyah memandangnya lebih dekat kepada benar,
mereka mengambil pendapat shahabi atas dasar taqlid.[7]
2.4. Bentuk-Bentuk
Madhab Shahabi
Para ulama membagi qaul al-Shahabi ke dalam beberapa macam, di
antaranya:[8]
a. Perkataan sahabat terhadap hal-hal
yang tidak termasuk objek ijtihad.
Dalam hal ini para ulama semuanya sepakat bahwa perkataan sahabat
bisa dijadikan hujjah. Karena kemungkinan sima’ dari Nabi SAW sangat besar,
sehingga perkataan sahabat dalam hal ini bisa termasuk dalam kategori
al-Sunnah, meskipun perkataan ini adalah hadits mauquf. Pendapat ini dikuatkan
oleh Imam as-Sarkhasi dan beliau memberikan contoh perkataan sahabat dalam
hal-hal yang tidak bisa dijadikan objek ijtihad seperti, perkataan Ali
bahwa jumlah mahar yang terkecil adalah sepuluh dirham, perkataan Anas
bahwa paling sedikit haid seorang wanita adalah tiga hari sedangkan paling
banyak adalah sepuluh hari.
Namun
contoh-contoh tesebut ditolak oleh beberapa ulama Syafi’iyah, bahwa hal-hal
tersebut adalah permasalahan-permasalahan yang bisa dijadikan objek ijtihad.
Dan pada kenyataannya baik jumlah mahar dan haid wanita berbeda-beda
dikembalikan kepada kebiasaan masing-masing.
b. Perkataan sahabat yang disepakati oleh
sahabat yang lain.
Dalam hal ini perkataan sahabat adalah hujjah karena masuk dalam
kategori ijma’.
c. Perkataan sahabat yang tersebar di
antara para sahabat yang lainnya dan tidak diketahui ada sahabat yang
mengingkarinya atau menolaknya.
Dalam hal inipun bisa dijadikan hujjah, karena ini merupakan ijma’
sukuti, bagi mereka yang berpandapat bahwa ijma’ sukuti bisa dijadikan hujjah.
d. Perkataan sahabat yang berasal dari
pendapatnya atau ijtihadnya sendiri.
Qaul
al-Shahabi yang seperti inilah yang menjadi perselisihan di antara para ulama
mengenai keabsahannya sebagai hujjah dalam fiqh Islam.
Adapun Dr. Muhammad Sulaiman Abdullah al-Asyqar menambahkan
beberapa poin mengenai macam-macam qaul al-Shahabi ini, di antaranya:
a. Perkataan Khulafa ar-Rasyidin dalam
sebuah permasalahan. Dalam hal ini para ulama sepakat untuk menjadikannya
hujjah. Sebagaimana diterangkan dalam sebuah hadits, ”Hendaklah kalian
mengikuti sunnahku dan sunnah para Khulafa ar-Rasyidin setelahku”
b. Perkataan seorang sahabat yang
berlandaskan pemikirannya dan ditentang oleh sahabat yang lainnya. Dalam hal
ini sebagian ulama berpendapat bahwa perkataan sahabat ini tidak bisa dijadikan
hujjah. Akan tetapi sebagian ulama lainnya dari kalangan Ushuliyyin dan fuqaha
mengharuskan untuk mengambil perkataan satu sahabat.
Menurut Imam Abu Zahrah, ada beberapa bentuk madhab sahabi :
1.
Apa
yang disampaikan oleh Sahabat itu adalah yang didengarnya dari Nabi Muhammad
SAW. tetapi tidak menyatakan bahwa berita itu adalah sunnah Rasul,
2.
Apa
yang disampaikan Sahabat adalah sesuatu yang didengarnya dari Nabi SAW. tapi
orang itu tidak menjelaskan bahwa yang didengarnya berasal dari Nabi SAW.
3.
Sesuatu
yang disampaikan itu adalah hasil pemahaman Sahabat terhadap ayat Al-Qur’an
yang orang lain tidak memahaminya.
4.
Sesuatu
yang disampaikan oleh Sahabat itu telah disepakati oleh lingkungannya.
5.
Merupakan
hasil pemahaman atas dalil-dalil, karena kemampuannya dalam bahasa dan
penggunaan dalil-dalil.
2.5. Dasar
Hukum Madhab Shahabi
Pendapat sahabat tidak menjadi hujjah atas sahabat lainnya. Hal ini
telah disepakati. Namun yang masih diperselisihkan ialah, apakah pendapat
sahabat bisa menjadi hujjah atas tabi’n dan orang-orng setelah tabi’in. Ulama
ushul memiliki tiga pendapat, di antaranya adalah: [9]
a. Satu pendapat
mengatakan bahwa mazhab Sahabat (qaulussshahabi) dapat menjadi hujjah
Pendapat ini berasal dari Imam Maliki, Abu bakar ar-Razi, Abu Said
shahabat Imam Abu Hanifah, begitu juga Imam Syafi’i dalam madzhab qadimnya, termasuk
juga Imam Ahmad Bin Hanbal dalam satu riwayat.
Alasan pendapat ini adalah firman Allah SWT.
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ
بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ ۗ وَلَوْ
آمَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ ۚ مِنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ
وَأَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُونَ
Artinya: “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk
manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan
beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik
bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah
orang-orang yang fasik.” (QS. Ali-Imran: 110)
Ayat ini merupakan kitab dari Allah untuk sahabat-sahabat agar
mereka menganjurkan ma’ruf, sedangkan perbuatan ma’ruf adalah wajib, karena itu
pendapat para sahabat wajib diterima.
Alasan yang kedua adalah hadits Rasul yang artinya; “Sahabatku
bagaikan bintang-bintang siapa saja di antara mereka yang kamu ikuti pasti
engkau mendapat petunjuk”.
Hadits ini menunjukkan bahwa Rasulullah SAW menjadikan ikutan
kepada siapa saja dari sahabatnya sebagai dasar memperoleh petunjuk (hidayah).
Hal ini menunjukkan bahwa tiap-tiap pendapat dari mereka itu adalah hujjah dan
wajib kita terima/amalkan.
b. Satu pendapat
mengatakan bahwa mazhab sahabat (qaulussshahabi) secara mutlak tidak dapat menjadi
hujjah/dasar hukum
Pendapat ini berasal dari jumhur Asya’iyah dan Mu’tazilah, Imam
Syafi’i dalam mazhabnya yang jadid (baru) juga Abu Hasan al-Kharha dari
golongan Hanafiyah.
Alasan
mereka antara lain adalah firman Allah:
هُوَ الَّذِي أَخْرَجَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ
مِنْ دِيَارِهِمْ لِأَوَّلِ الْحَشْرِ ۚ مَا ظَنَنْتُمْ أَنْ يَخْرُجُوا ۖ
وَظَنُّوا أَنَّهُمْ مَانِعَتُهُمْ حُصُونُهُمْ مِنَ اللَّهِ فَأَتَاهُمُ اللَّهُ
مِنْ حَيْثُ لَمْ يَحْتَسِبُوا ۖ وَقَذَفَ فِي قُلُوبِهِمُ الرُّعْبَ ۚ
يُخْرِبُونَ بُيُوتَهُمْ بِأَيْدِيهِمْ وَأَيْدِي الْمُؤْمِنِينَ فَاعْتَبِرُوا
يَا أُولِي الْأَبْصَارِ
Artinya: “Dialah yang
mengeluarkan orang-orang kafir di antara ahli kitab dari kampung-kampung mereka
pada saat pengusiran yang pertama. Kamu tidak menyangka, bahwa mereka akan
keluar dan merekapun yakin, bahwa benteng-benteng mereka dapat mempertahankan
mereka dari (siksa) Allah; maka Allah mendatangkan kepada mereka (hukuman) dari
arah yang tidak mereka sangka-sangka. Dan Allah melemparkan ketakutan dalam
hati mereka; mereka memusnahkan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri
dan tangan orang-orang mukmin. Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi
pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai wawasan”. (QS. al-Hasyr: 2)
Maksud ayat tersebut adalah bahwa Allah SWT menganjurkan kepada
orang-orang yang mempunyai pandangan/pikiran untuk mengambil i’tibar
(pelajaran). Yang dimaksud i’tibar dalam ayat tersebut ialah qiyas dan ijtihad,
sedangkan dalam hal mujtahid sama saja apakah mujtahid itu sahabat atau bukan
sahabat.
c. Ulama Hanafiyah,
Imam Malik, qaul qadim Imam Syafi’i dan pendapat terkuat dari Imam Ahmad bin
Hanbal
Menyatakan bahwa pendapat sahabat itu menjadi hujjah dan apabila
pendapat sahabat bertentangan dengan qiyas maka pendapat sahabat didahulukan.
Alasan yang mereka kemukakan antara lain adalah firman Allah dalam
surat at-Taubah ayat 100:
وَالسَّابِقُونَ الأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالأَنصَارِ وَالَّذِينَ
اتَّبَعُوهُم بِإِحْسَانٍ رَّضِيَ اللّهُ عَنْهُمْ وَرَضُواْ عَنْهُ وَأَعَدَّ
لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَداً ذَلِكَ
الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
Artinya: “Orang-orang terdahulu lagi yang pertama-tama dari
golongan Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan
baik, Allah ridha pada mereka dan merekapun ridha kepada Allah. Allah
menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya
selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya itulah kemenangan yang besar”.
(QS. at-Taubah: 100)
Dalam ayat ini menurut mereka, Allah secara jelas memuji para
sahabat karena merekalah yang pertama kali masuk Islam.
Sabda Rasulullah yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Imran bin
Hushain yang berbunyi: “Sebaik-baik kamu (adalah yang hidup pada) masaku,
kemudian generasi berikutnya, kemudian generasi berikutnya”.
Dari segi alasan logika, pendapat sahabat dijadikan hujjah karena terdapat kemungkinan bahwa pendapat
meraka itu berasal dari Rasulullah. Disamping itu karena mereka sangat dekat
dengan Rasulullah dalam rentang waktu yang lama, hal ini memberikan pengalaman
yang sangat luas kepada mereka dalam memahami ruh syari’at dan tujuan-tujuan
persyari’atan hukum syara’. Dengan bergaul dengan Rasulullah berarti mereka
merupakan murid-murid langsung dari beliau dalam menetapkan hukum, sehingga
diyakini pendapat mereka lebih mendekati kebenaran. Oleh karena itu, jika pendapat
mereka bertentangan dengan al-Qiyas, maka sangat mungkin ada landasan hadits
yang mereka gunakan untuk itu. Sebagaimana diketahui, mereka adalah generasi
terbaik (memiliki sifat al-‘Adalah), yang sangat sulit diterima menurut
kebiasaan jika melahirkan pendapat syara’ tanpa alasan, sebab hal itu terlarang
menurut syara’.
Kemudian Imam Ibnu Qayyim di dalam kitabnya I’lamul Muwaqqi’in berkata bahwa fatwa sahabat tidak keluar dari
enam bentuk[10]
:
1.
Fatwa
yang didengar sahabat dari Nabi
2.
Fatwa
yang didasarkan dari orang yang mendengar dari Nabi
3.
Fatwa
yang didasarkan atas pemahamannya terhadap Alquran yang agak kabur pemahaman
ayatnya bagi kita.
4.
Fatwa
yang disepakati oleh tokoh sahabat sampai kepada kita melalui salah seorang
sahabat.
5.
Fatwa
yang didasarkan kepada kesempurnaan ilmunya baik bahasa maupun tingkah lakunya, kesempurnaan ilmunya tentang keadaan Nabi
dan maksud-maksudnya. Kelima hal inilah hujjah yang wajib diikuti
6.
Fatwa yang berdasarkan pemahaman yang tidak
datang dari Nabi dan ternyata pemahamannya salah. Maka hal ini tidak jadi
hujjah.
2.6. Penerapan Mazhab Shahabi dalam Kehidupan
Masyarakat
Perbedaan pendapat para ulama mengenai hujjiyah qaul as-shahabi
sebagai salah satu sumber hukum, menyebabkan perbedaan pula dalam menghukumi
suatu permasalahan yang tidak ada nash sharih yang menjelaskannya. Berikut ini
beberapa contoh dari sekian banyak contoh yang ada, yang erat kaitannya dengan
kehidupan sehari-hari.
a. Hukum sujud
Tilawah, apakah wajib atau sunnah?
Imam Malik, As-As-Syafi’i dan Ahmad berpendapat bahwa hukumnya
adalah sunnah dan tidak mencapai wajib.
Imam Malik dan Imam Ahmad berdalilkan pada qaul as-shahabi, yang
diriwayatkan Imam Malik dalam kitabnya Al-Muwatha dari Hisyam bin U’rwah dari
ayahnya, bahwa Umar bin Khattab membaca ayat sajdah ketika di atas mimbar pada
hari jum’at, maka Umar bersujud dan sujudlah semua yang hadir mengikuti Umar.
Kemudian Umar membacanya pada hari jum’at yang lain, maka para sahabat lain
bersiap-siap untuk bersujud, tetapi Umar berkata, ”Sesungguhnya Allah tidak
mewajibkannya kecuali jika kita mau”. Umar tidak bersujud dan melarang yang
lainnya untuk bersujud.
Adapun Imam As-Syafi’i berdalilkan bahwa sujud dilakukan untuk
shalat. Adapun perintah untuk shalat telah dijelaskan secara global oleh
Al-Qur’an dan telah diterangkan oleh As-Sunnah secara terperinci. Maka hal ini
menunjukkan bahwa shalat yang diwajibkan adalah shalat yang lima, sedangkan
selainnya tidaklah wajib.
Kemudian beliau berdalilkan hadits Nabi Saw. yang berbunyi, ”Bahwa
Rasulullah Saw. membaca ayat dalam surat An-Najm maka beliau bersujud, lalu
bersujud pulalah yang lainnya kecuali dua orang”.
Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa hukum sujud tilawah adalah
wajib. Imam Abu hanifah berdalilkan dengan beberapa hadits Nabi Saw., di
antaranya:
1) Rasulullah Saw.
bersabda, ”Sujud tilawah bagi siapa yang mendengarnya dan bagi siapa yang
membacanya”.
2) Dari Abu Hurairah
ra. dalam Kitab Al-Iman yang dimarfu’kan kepada Nabi Saw., ”Apabila Ibnu Adam
membaca ayat sajdah maka syaitan akan menyendiri dan menangis sambil berkata,
”Celakalah! Telah diperintah Ibnu Adam untuk bersujud maka dia bersujud dan
baginya surga, sedangkan aku diperintah untuk bersujud tapi enggan, maka bagiku
neraka”. ( HR. Muslim)
b. Hukum shalat jum’at
bagi yang shalat ‘id
1) Imam As-Syafi’i
berpendapat bahwa kewajiban shalat jum’at bagi ahli balad adapun ahli qura
dirukhsah. Imam As-Syafi’i berdalilkan sebuah riwayat yang diriwayatkan oleh
Imam malik dari Ibnu Syihab dari Abi U’baid bekas hamba sahaya Ibnu Azhar, dia
berkata, ”Saya melakukan shalat ‘id bersama Utsman Bin Affan maka utsman shalat
lalu berkhutbah dan berkata, ‘Sesungguhnya telah berkumpul pada hari ini dua
‘id, maka barang siapa yang hendak menunggu dari ahli a’liyah maka tunggulah
dan barang siapa yang hendak pulang maka telah diizinkan baginya”.
2) Imam Ahmad
berpendapat bahwa shalat jum’at tidak usah dikerjakan bagi mereka yang
melaksanakan shalat ‘id baik ahli balad atau ahli qura kecuali Imam. Adapun
Imam ahmad berdalilkan dari yang diriwayatkan Iyas bin Abi Ramlah Asy-Syami,
dia berkata, ”Saya melihat Mu’awiyah bertanya kepada Zaid bin Arqam, ”Apakah
engkau pernah mendapatkan dua ‘id bersatu pada satu hari bersama Rasulullah
Saw.?, maka Zaid berkata, ”Iya”. “Maka bagaimana hukumnya?” Zaid menjawab,
”Shalat ‘Id kemudian dirukhsah pada shalat jum’at”. Lalu Zaid berkata, ”Barang
siapa yang hendak shalat maka shalatlah”. ( HR. Abu Daud)
3) Adapun Imam Abu
Hanifah dan Imam Malik berpendapat bahwa shalat jum’at dan shalat ‘Id wajib
keduanya untuk dilaksanakan. Abu Hanifah berdalilkan bahwa hukum melaksanakan
shalat jum’at adalah wajib adapun shalat ‘id maka bagi siapa yang
meninggalkannya berarti sesat dan bid’ah.
c. Hukum potong
tangan bagi seorang pembantu
Jumhur ulama berpendapat bahwa hukum bagi seorang pembantu yang
mencuri harta tuannya tidak dipotong. Adapun Dalilnya:
1) Diriwayatkan oleh
Imam Malik, beliau berkata, ”Telah bercerita kepada kami dari Az-Zuhri dari
As-Saib bin Yazid bahwa Abdullah bin Amar bin Hadhrami datang kepada Umar bi
Khattab dengan seorang hamba, lalu dia berkata, ”Potong tangannya karena dia
telah mencuri”. Umar bertanya, ”Apa yang dicuri olehnya?”, dia menjawab,
”Cermin istriku yang berharga enam puluh dirham”. Maka Umar berkata, ”Lepaskan
saja karena tidak ada potong tangan bagi pembantu yang mencuri hartamu”.
2) Diriwayatkan oleh
Ibnu Mas’ud bahwa seseorang datang kepadanya lalu berkata, ”Budak saya mencuri
harta milik budak saya yang lain”, lalu Ibnu mas’ud berkata, ”Tidak ada potong
tangan bagi “harta” yang mencuri “harta”.
Adapun Daud Adz-dzhahiri berpendapat bahwa potong tangan tetap
berlaku secara mutlak.
d. Status Pernikahan
dalam masa ‘Iddah
Imam Malik, Al-Auza’I dan Al-Laits berpendapat bahwa mereka harus
dipisahkan, dan wanita itu menjadi haram bagi laki-laki tersebut selamanya.
Mereka berpendapat dengan perkataan Umar yang memisahkan antara Thalhah
Al-Asdiah dengan suaminya Rasyid Ats-Tsaqafi ketika mereka menikah pada masa
‘iddah dari suaminya. Dan berkata, ”Setiap wanita yang menikah dalam masa
iddahnya, apabila suami yang menikahinya itu belum menggaulinya maka harus
dipisahkan keduanya. Kemudian sang wanita menyempurnakan masa iddahnya. Lalu
jika pada masa iddah itu dia menikah lagi dengan yang lain dan sudah digauli
maka harus dipisahkan keduanya. Kemudian sang wanita menyempurnakan masa ‘iddah
dari suami yang pertama lalu dilanjutkan dengan menjalani masa iddah dari suami
yang kedua. Dan antara wanita tersebut dengan suaminya yang ketiga tidak boleh
bersatu selamanya”.
Adapun pendapat yang kedua bahwa dipisahkan keduanya dan sang
wanita boleh mendapatkan maharnya. Dan apabila telah habis masa iddahnya
apabila sang wanita berkehandak untuk menikahinya lagi maka tidak apa-apa.
Sebagaimana dijelaskan oleh Ali bin Abi Thalib.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Madzhab shahabi ialah pendapat sahabat Rasulullah SAW tentang suatu
kasus dimana hukumnya tidak dijelaskan secara tegas dalam Alquran dan sunnah Rasulullah.
Pendapat para Ulama pun sangat beragam mengenai pendapat para Sahabat ini. Ada
yang menggunakannya sebagai hujjah dan ada yang tidak menggunakannya. Dan untuk
kita boleh memilih pada siapa kita akan ittiba’.
3.2. Saran
Sebagai penganut agama Islam, tentu penting untuk kita memahami
hukum dan sumber hukum dalam Islam. Saran kami, sebaiknya kita lebih banyak
belajar mengenai hukum dan sumber hukum Islam, baik dari Ulama maupun dari
berbagai literatur yang kini banyak tersedia.
[1] Rahman Dahlan,M.A,Ushul Fiqh, Cet.1, (Jakarta: Amzah,
2010), hlm.225
[3] Dr. Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam,
(Bandung: Penerbit Risalah,1985), hal. 142
[5] Asy-Syatibi, Al-Muwafaqot, hal 40
[6] Asy-Syaukani, Irsyadul Fuhul, hal.214, Imam
Ghazali, Al-Mustashfa, hal. 260
[7] M. Hasbi Ashiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqih,
(Jakarta, PT Bulan Bintang, 1993), hal. 182
[8] Abdul Karim Zaedan,
Al-Wajiz Fi Ushul Fiqh (Terj), (Beirut: Muassasah Ar-Risalah, 1996),
hlm. 260-261
[9] Khairul Umam, dkk, Ushul Fiqih I, cet. 2,
(Bandung: Pustaka Setia, 2000), hal. 182
[10] Jazuli, dkk, Ushul Fiqh Metodologi Hukum Islam,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), hal. 212-213
No comments:
Post a Comment