1/03/2018

MAKALAH MADHAB SHAHABI



BAB I
PENDAHULUAN

1.1.       Latar Belakang Masalah
Generasi dimana Nabi Saw, diutus adalah generasi para sahabat. Mereka adalah sebaik-baiknya generasi, dari aspek keimanan mereka sangat memegang teguh ajaran Islam, dan mencintai Allah SWT dan RasulNya melebihi dari segalanya. Hal ini bisa dilihat dari kisah para sahabat dalam mempertahankan aqidah mereka, meskipun harus disiksa dan didera oleh berbagai siksaan dan cacian dari kafir quraisy. Mereka adalah generasi yang patut kita jadikan teladan, baik dari kuatnya keimanan, pengaplikasiannya dalam kehidupan sehari-hari dan menyebarkan ajaran Islam kepada yang lainnya.
Terlepas dari segala keutamaan yang dimiliki oleh para sahabat. Para ulama berbeda pendapat mengenai keabsahan segala hal yang sampai pada kita dari sahabat baik itu berupa perkataan, perbuatan ataupun fatwa sebagai salah satu sumber pengambilan hukum dalam Islam.
1.2.       Rumusan Masalah
a.         Apa pengertian mazhab shahabi?
c.         Bagaimana kehujjahan mazhab shahabi?
c.         Jelaskan bentuk-bentuk Madhab Sahabi !
d          Apa dasar hukum Madhab Sahabi ?

1.3.       Tujuan Penulisan
a.        Untuk mengetahui pengertian mazhab shahabi
b.        Dapat menjelaskan macam-macam mazhab shahabi.
c.        Untuk mengetahui kehujjahan mazhab shahabi.
d.        Permasalahan dalam kehidupan Masyarakat


BAB II
PEMBAHASAN

2.1.       Pengertian Mazhab Shahabi
Yang dimaksud dengan madzhab shahabi ialah pendapat sahabat Rasulullah SAW tentang suatu kasus dimana hukumnya tidak dijelaskan secara tegas dalam Alquran dan sunnah Rasulullah.
Sedangkan yang dimaksud dengan sahabat Rasulullah, adalah setiap orang muslim yang hidup bergaul dengan Rasulullah dalam waktu yang cukup lama serta menimba ilmu dari Rasulullah.
Menurut sebagian ulama Ushul Fiqh, mazhab shahabi merujuk pengertian pada pendapat hukum para sahabat secara keseluruhan tentang suatu hukum syara’ yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan Sunnah, dimana pendapat para sahabat tersebut merupakan hasil kesepakatan diantara mereka.[1]
2.2.       Keadaan Para Sahabat setelah Rasulullah Wafat
Setelah Rasulullah SAW wafat, tampillah para sahabat yang telah memiliki ilmu yang dalam dan mengenal fiqh untuk memberikan fatwa kepada umat Islam dan membentuk hukum. Hal ini karena merekalah yang paling lama bergaul dengan Rasulullah SAW dan telah memahami Al-Qur’an serta hukum-hukumnya. Dari mereka pulalah keluar fatwa mengenai peristiwa yang bermacam-macam. Para mufti dari kalangan tabi’in dan tabi’it-tabi’in telah memperhatikan periwayatan dan pentakwilan fatwa-fatwa mereka. Diantara mereka ada yang mengodifikasikannya bersama sunnah-sunnah Rasul, sehingga fatwa-fatwa mereka dianggap sumber-sumber pembentukan hukum yang disamakan dengan nash. Bahkan, seorang mujtahid harus mengembalikan suatu permasalahan kepada fatwa mereka sebelum kembali kepada qiyas, kecuali kalau hanya pendapat perseorangan yang bersifat ijtihadi bukan atas nama umat Islam. [2]
2.3.      Kehujjahan Madzhab Shahaby dan Pandangan para Ulama
Dari uraian di atas, tidak diragukan lagi bahwa pendapat para sahabat dianggap sebagai hujjah bagi umat Islam, terutama dalam hal-hal yang tidak bisa dijangkau oleh akal. Karena pendapat mereka bersumber langsung dari Rasulullah SAW., seperti ucapan Aisyah,”Tidaklah berdiam kandungan itu dalam perut ibunya lebih dari dua tahun, menurut kadar ukuran yang dapat mengubah bayangan alat tenun”.[3] Dan seperti yang dikatakan Ibnu Mas’ud bahwa sekurang-kurangnya masa haid adalah 3 hari.
Keterangan di atas tidaklah sah untuk dijadikan lapangan ijtihad dan pendapat, namun karena sumbernya benar-benar dari Rasulullah SAW maka dianggap sebagai sunnah meskipun pada zahirnya merupakan ucapan sahabat.
Pendapat sahabat yang tidak bertentangan dengan sahabat lain bisa dijadikan hujjah oleh umat Islam. Hal ini karena kesepakatan mereka terhadap hukum sangat berdekatan dengan zaman Rasulullah SAW. mereka juga mengetahui tentang rahasia-rahasia syari’at dan kejadian-kejadian lain yang bersumber dari dalil-dalil yang qath’i. Seperti kesepakatan mereka dalam pembagian waris untuk nenek yang mendapat bagian seperenam. Ketentuan tersebut wajib diikuti karena tidak diketahui adanya perselisihan dari umat Islam.
Adanya perselisihan biasanya terjadi pada ucapan sahabat yang keluar dari pendapatnya sendiri sebelum ada kesepakatan dari sahabat yang lain. Abu Hanifah menyetujui pernyataan tersebut dan berkata,”Apabila saya tidak mendapatkan hukum dalam Al-Qur’an dan Sunnah, saya mengambil pendapat para sahabat yang saya kehendaki, dan saya meninggalkan pendapat orang yang tidak saya kehendaki. Namun, saya tidak keluar dari pendapat mereka yang sama dengan yang lainnya.”
Dengan demikian Abu Hanifah tidak memandang bahwa pendapat seorang sahabat itu sebagai hujjah karena dia dapat mengambil pendapat mereka yang ia kehendaki, namun dia tidak memperkenankan untuk menentang pendapat-pendapat mereka secara keseluruhan. Dia tidak memperkenankan adanya qiyas untuk suatu peristiwa, bahkan dia mengambil cara nasakh (menghilangkan/menghapus) terdapat berbagai pendapat yang terjadi diantara mereka.
Menurut Abu Hanifah, perselisihan antara dua orang sahabat mengenai hukum suatu kejadian sehingga terdapat dua pendapat, bisa dikatakan ijma’ diantara keduanya. Maka jika keluar dari pendapat mereka secara keseluruhan berarti telah keluar dari ijma’ mereka.
Seedangkan Imam Syafi’i berpendapat bahwa pendapat orang tertentu di kalangan sahabat tidak dipandang sebagai hujjah, bahkan beliau memperkenankan untuk menentang pendapat mereka secara keseluruhan dan melakukan ijtihad untuk mengistinbat pendapat lain. Dengan alasan bahwa pendapat mereka adalah pendapat ijtihadi secara perseorangan dari orang yang tidak ma’sum (tidak terjaga dari dosa).
Sealin itu, para sahabat juga diperbolehkan menentang sahabat lainnya. Dengan demikian, para mujtahid juga dibolehkan menentang pendapat mereka. Maka tidaklah aneh jika Imam Syafi’i melarang untuk menetapkan hukum atau memberi fatwa, kecuali dari Kitab dan Sunnah atau dari pendapat yang disepakati oleh para ulama, dan tidak terdapat perselisihan diantara mereka, atau menggunakan qiyas pada sebagiannya.  Imam Syafi’i menyatakan,”Tidak diperkenankan memberikan hukum atau fatwa melainkan berdasarkan berita yang benar yang datang dari Al-Qur’an dan Sunnah atau apa-apa yang disepakati ahli ilmu yang tidak berbeda, atau dengan mengadakan qiyas.”
Pendapat seorang shahabi tidak harus diikuti oleh shahabat lainnya.[4] Seperti saat Ali diminta oleh Qadli Syuraih mengemukakan saksi, maka beliau mengemukakan seorang budaknya yang telah dimerdekakan dan anaknya Hasan. Syuraih menolak Al Hasan. Ali berpendapat bahwa seorang anak dapat dijadikan saksi. Hal ini merupakan suatu dalil bahwa pendapat sahabat tidak menjadi hujjah. Ali pun tunduk kepada putusan Syuraih.Akhirnya Yahudi yang menuduh Ali itu mengaku, bahwa yang dipertengkarkan itu benar milik Ali.[5]
Pendapat sahabi yang tidak kita ketahui ada sahabi yang menentangnya,dapat dijadikan hujjah karena diamnya sahabat itu sesuai dengan kehendak syara’. Pendapat yang berdasarkan ijtihad yang dapat difahami dan diperoleh dengan kekuatan akal dan diperselisihkan para sahabat, inilah yang diperselisihkan oleh fuqoha. Menurut jumhur menjadi hujjah sedangkan diantara yang menolak pendapat shahabi, ialah al-Ghazali dan Asy-Syaukani.[6]
Jumhur berpendapat bahwa para sahabat lebih dekat kepada dapat memahami ruhusy syari’ah dan maksud-maksudnya. Banyak hadist yang dapat dijadikan dalil bahwa pendapat shahabi adalah hujjah. Ibnul Qayyim menguatkan pendapat jumhur dan menempatkan shahabi sesudah ijma’.
Malik dan Ahmad banyak berpegang kepada pendapat-pendapat shahabi. Keduanya memandang bahwa pendapat shahabat adalah sumber tasyri’ dibawah ijma. Adapun golongan hanafiyah dan Syafi’iyah memandangnya lebih dekat kepada benar, mereka mengambil pendapat shahabi atas dasar taqlid.[7]
2.4.      Bentuk-Bentuk Madhab Shahabi
Para ulama membagi qaul al-Shahabi ke dalam beberapa macam, di antaranya:[8]
a.         Perkataan sahabat terhadap hal-hal yang tidak termasuk objek ijtihad.
Dalam hal ini para ulama semuanya sepakat bahwa perkataan sahabat bisa dijadikan hujjah. Karena kemungkinan sima’ dari Nabi SAW sangat besar, sehingga perkataan sahabat dalam hal ini bisa termasuk dalam kategori al-Sunnah, meskipun perkataan ini adalah hadits mauquf. Pendapat ini dikuatkan oleh Imam as-Sarkhasi dan beliau memberikan contoh perkataan sahabat dalam hal-hal yang tidak bisa dijadikan objek ijtihad seperti, perkataan Ali bahwa jumlah mahar yang terkecil adalah sepuluh dirham, perkataan Anas bahwa paling sedikit haid seorang wanita adalah tiga hari sedangkan paling banyak adalah sepuluh hari.
Namun contoh-contoh tesebut ditolak oleh beberapa ulama Syafi’iyah, bahwa hal-hal tersebut adalah permasalahan-permasalahan yang bisa dijadikan objek ijtihad. Dan pada kenyataannya baik jumlah mahar dan haid wanita berbeda-beda dikembalikan kepada kebiasaan masing-masing.
b.        Perkataan sahabat yang disepakati oleh sahabat yang lain.
Dalam hal ini perkataan sahabat adalah hujjah karena masuk dalam kategori ijma’.
c.         Perkataan sahabat yang tersebar di antara para sahabat yang lainnya dan tidak diketahui ada sahabat yang mengingkarinya atau menolaknya.
Dalam hal inipun bisa dijadikan hujjah, karena ini merupakan ijma’ sukuti, bagi mereka yang berpandapat bahwa ijma’ sukuti bisa dijadikan hujjah.
d.        Perkataan sahabat yang berasal dari pendapatnya atau ijtihadnya sendiri.
Qaul al-Shahabi yang seperti inilah yang menjadi perselisihan di antara para ulama mengenai keabsahannya sebagai hujjah dalam fiqh Islam.

Adapun Dr. Muhammad Sulaiman Abdullah al-Asyqar menambahkan beberapa poin mengenai macam-macam qaul al-Shahabi ini, di antaranya:
a.         Perkataan Khulafa ar-Rasyidin dalam sebuah permasalahan. Dalam hal ini para ulama sepakat untuk menjadikannya hujjah. Sebagaimana diterangkan dalam sebuah hadits, ”Hendaklah kalian mengikuti sunnahku dan sunnah para Khulafa ar-Rasyidin setelahku”
b.        Perkataan seorang sahabat yang berlandaskan pemikirannya dan ditentang oleh sahabat yang lainnya. Dalam hal ini sebagian ulama berpendapat bahwa perkataan sahabat ini tidak bisa dijadikan hujjah. Akan tetapi sebagian ulama lainnya dari kalangan Ushuliyyin dan fuqaha mengharuskan untuk mengambil perkataan satu sahabat.



Menurut Imam Abu Zahrah, ada beberapa bentuk madhab sahabi :
1.      Apa yang disampaikan oleh Sahabat itu adalah yang didengarnya dari Nabi Muhammad SAW. tetapi tidak menyatakan bahwa berita itu adalah sunnah Rasul,
2.      Apa yang disampaikan Sahabat adalah sesuatu yang didengarnya dari Nabi SAW. tapi orang itu tidak menjelaskan bahwa yang didengarnya berasal dari Nabi SAW.
3.      Sesuatu yang disampaikan itu adalah hasil pemahaman Sahabat terhadap ayat Al-Qur’an yang orang lain tidak memahaminya.
4.      Sesuatu yang disampaikan oleh Sahabat itu telah disepakati oleh lingkungannya.
5.      Merupakan hasil pemahaman atas dalil-dalil, karena kemampuannya dalam bahasa dan penggunaan dalil-dalil.

2.5.      Dasar Hukum Madhab Shahabi
Pendapat sahabat tidak menjadi hujjah atas sahabat lainnya. Hal ini telah disepakati. Namun yang masih diperselisihkan ialah, apakah pendapat sahabat bisa menjadi hujjah atas tabi’n dan orang-orng setelah tabi’in. Ulama ushul memiliki tiga pendapat, di antaranya adalah: [9]
a.         Satu pendapat mengatakan bahwa mazhab Sahabat (qaulussshahabi) dapat menjadi hujjah
Pendapat ini berasal dari Imam Maliki, Abu bakar ar-Razi, Abu Said shahabat Imam Abu Hanifah, begitu juga Imam Syafi’i dalam madzhab qadimnya, termasuk juga Imam Ahmad Bin Hanbal dalam satu riwayat.
Alasan pendapat ini adalah firman Allah SWT.
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ ۗ وَلَوْ آمَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ ۚ مِنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُونَ
Artinya: “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.” (QS. Ali-Imran: 110)
Ayat ini merupakan kitab dari Allah untuk sahabat-sahabat agar mereka menganjurkan ma’ruf, sedangkan perbuatan ma’ruf adalah wajib, karena itu pendapat para sahabat wajib diterima.
Alasan yang kedua adalah hadits Rasul yang artinya; “Sahabatku bagaikan bintang-bintang siapa saja di antara mereka yang kamu ikuti pasti engkau mendapat petunjuk”.
Hadits ini menunjukkan bahwa Rasulullah SAW menjadikan ikutan kepada siapa saja dari sahabatnya sebagai dasar memperoleh petunjuk (hidayah). Hal ini menunjukkan bahwa tiap-tiap pendapat dari mereka itu adalah hujjah dan wajib kita terima/amalkan.
b.        Satu pendapat mengatakan bahwa mazhab sahabat (qaulussshahabi)  secara mutlak tidak dapat menjadi hujjah/dasar hukum
Pendapat ini berasal dari jumhur Asya’iyah dan Mu’tazilah, Imam Syafi’i dalam mazhabnya yang jadid (baru) juga Abu Hasan al-Kharha dari golongan Hanafiyah.
Alasan mereka antara lain adalah firman Allah:
هُوَ الَّذِي أَخْرَجَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ مِنْ دِيَارِهِمْ لِأَوَّلِ الْحَشْرِ ۚ مَا ظَنَنْتُمْ أَنْ يَخْرُجُوا ۖ وَظَنُّوا أَنَّهُمْ مَانِعَتُهُمْ حُصُونُهُمْ مِنَ اللَّهِ فَأَتَاهُمُ اللَّهُ مِنْ حَيْثُ لَمْ يَحْتَسِبُوا ۖ وَقَذَفَ فِي قُلُوبِهِمُ الرُّعْبَ ۚ يُخْرِبُونَ بُيُوتَهُمْ بِأَيْدِيهِمْ وَأَيْدِي الْمُؤْمِنِينَ فَاعْتَبِرُوا يَا أُولِي الْأَبْصَارِ
Artinya:  “Dialah yang mengeluarkan orang-orang kafir di antara ahli kitab dari kampung-kampung mereka pada saat pengusiran yang pertama. Kamu tidak menyangka, bahwa mereka akan keluar dan merekapun yakin, bahwa benteng-benteng mereka dapat mempertahankan mereka dari (siksa) Allah; maka Allah mendatangkan kepada mereka (hukuman) dari arah yang tidak mereka sangka-sangka. Dan Allah melemparkan ketakutan dalam hati mereka; mereka memusnahkan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan orang-orang mukmin. Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai wawasan”. (QS. al-Hasyr: 2)
Maksud ayat tersebut adalah bahwa Allah SWT menganjurkan kepada orang-orang yang mempunyai pandangan/pikiran untuk mengambil i’tibar (pelajaran). Yang dimaksud i’tibar dalam ayat tersebut ialah qiyas dan ijtihad, sedangkan dalam hal mujtahid sama saja apakah mujtahid itu sahabat atau bukan sahabat.
c.         Ulama Hanafiyah, Imam Malik, qaul qadim Imam Syafi’i dan pendapat terkuat dari Imam Ahmad bin Hanbal
Menyatakan bahwa pendapat sahabat itu menjadi hujjah dan apabila pendapat sahabat bertentangan dengan qiyas maka pendapat sahabat didahulukan.
Alasan yang mereka kemukakan antara lain adalah firman Allah dalam surat at-Taubah ayat 100:
وَالسَّابِقُونَ الأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالأَنصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُم بِإِحْسَانٍ رَّضِيَ اللّهُ عَنْهُمْ وَرَضُواْ عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَداً ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
Artinya: “Orang-orang terdahulu lagi yang pertama-tama dari golongan Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha pada mereka dan merekapun ridha kepada Allah. Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya itulah kemenangan yang besar”. (QS.  at-Taubah: 100)
Dalam ayat ini menurut mereka, Allah secara jelas memuji para sahabat karena merekalah yang pertama kali masuk Islam.
Sabda Rasulullah yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Imran bin Hushain yang berbunyi: “Sebaik-baik kamu (adalah yang hidup pada) masaku, kemudian generasi berikutnya, kemudian generasi berikutnya”.
Dari segi alasan logika, pendapat sahabat dijadikan hujjah  karena terdapat kemungkinan bahwa pendapat meraka itu berasal dari Rasulullah. Disamping itu karena mereka sangat dekat dengan Rasulullah dalam rentang waktu yang lama, hal ini memberikan pengalaman yang sangat luas kepada mereka dalam memahami ruh syari’at dan tujuan-tujuan persyari’atan hukum syara’. Dengan bergaul dengan Rasulullah berarti mereka merupakan murid-murid langsung dari beliau dalam menetapkan hukum, sehingga diyakini pendapat mereka lebih mendekati kebenaran. Oleh karena itu, jika pendapat mereka bertentangan dengan al-Qiyas, maka sangat mungkin ada landasan hadits yang mereka gunakan untuk itu. Sebagaimana diketahui, mereka adalah generasi terbaik (memiliki sifat al-‘Adalah), yang sangat sulit diterima menurut kebiasaan jika melahirkan pendapat syara’ tanpa alasan, sebab hal itu terlarang menurut syara’.
Kemudian Imam Ibnu Qayyim di dalam kitabnya I’lamul Muwaqqi’in  berkata bahwa fatwa sahabat tidak keluar dari enam bentuk[10] :
1.      Fatwa yang didengar sahabat dari Nabi
2.      Fatwa yang didasarkan dari orang yang mendengar dari Nabi
3.      Fatwa yang didasarkan atas pemahamannya terhadap Alquran yang agak kabur pemahaman ayatnya bagi kita.
4.      Fatwa yang disepakati oleh tokoh sahabat sampai kepada kita melalui salah seorang sahabat.
5.      Fatwa yang didasarkan kepada kesempurnaan ilmunya baik bahasa maupun tingkah lakunya, kesempurnaan ilmunya tentang keadaan Nabi dan maksud-maksudnya. Kelima hal inilah hujjah yang wajib diikuti
6.       Fatwa yang berdasarkan pemahaman yang tidak datang dari Nabi dan ternyata pemahamannya salah. Maka hal ini tidak jadi hujjah.

2.6.       Penerapan Mazhab Shahabi dalam Kehidupan Masyarakat
Perbedaan pendapat para ulama mengenai hujjiyah qaul as-shahabi sebagai salah satu sumber hukum, menyebabkan perbedaan pula dalam menghukumi suatu permasalahan yang tidak ada nash sharih yang menjelaskannya. Berikut ini beberapa contoh dari sekian banyak contoh yang ada, yang erat kaitannya dengan kehidupan sehari-hari.
a.        Hukum sujud Tilawah, apakah wajib atau sunnah?
Imam Malik, As-As-Syafi’i dan Ahmad berpendapat bahwa hukumnya adalah sunnah dan tidak mencapai wajib.
Imam Malik dan Imam Ahmad berdalilkan pada qaul as-shahabi, yang diriwayatkan Imam Malik dalam kitabnya Al-Muwatha dari Hisyam bin U’rwah dari ayahnya, bahwa Umar bin Khattab membaca ayat sajdah ketika di atas mimbar pada hari jum’at, maka Umar bersujud dan sujudlah semua yang hadir mengikuti Umar. Kemudian Umar membacanya pada hari jum’at yang lain, maka para sahabat lain bersiap-siap untuk bersujud, tetapi Umar berkata, ”Sesungguhnya Allah tidak mewajibkannya kecuali jika kita mau”. Umar tidak bersujud dan melarang yang lainnya untuk bersujud.
Adapun Imam As-Syafi’i berdalilkan bahwa sujud dilakukan untuk shalat. Adapun perintah untuk shalat telah dijelaskan secara global oleh Al-Qur’an dan telah diterangkan oleh As-Sunnah secara terperinci. Maka hal ini menunjukkan bahwa shalat yang diwajibkan adalah shalat yang lima, sedangkan selainnya tidaklah wajib.
Kemudian beliau berdalilkan hadits Nabi Saw. yang berbunyi, ”Bahwa Rasulullah Saw. membaca ayat dalam surat An-Najm maka beliau bersujud, lalu bersujud pulalah yang lainnya kecuali dua orang”.
Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa hukum sujud tilawah adalah wajib. Imam Abu hanifah berdalilkan dengan beberapa hadits Nabi Saw., di antaranya:
1)        Rasulullah Saw. bersabda, ”Sujud tilawah bagi siapa yang mendengarnya dan bagi siapa yang membacanya”.
2)        Dari Abu Hurairah ra. dalam Kitab Al-Iman yang dimarfu’kan kepada Nabi Saw., ”Apabila Ibnu Adam membaca ayat sajdah maka syaitan akan menyendiri dan menangis sambil berkata, ”Celakalah! Telah diperintah Ibnu Adam untuk bersujud maka dia bersujud dan baginya surga, sedangkan aku diperintah untuk bersujud tapi enggan, maka bagiku neraka”. ( HR. Muslim)
b.        Hukum shalat jum’at bagi yang shalat ‘id
1)        Imam As-Syafi’i berpendapat bahwa kewajiban shalat jum’at bagi ahli balad adapun ahli qura dirukhsah. Imam As-Syafi’i berdalilkan sebuah riwayat yang diriwayatkan oleh Imam malik dari Ibnu Syihab dari Abi U’baid bekas hamba sahaya Ibnu Azhar, dia berkata, ”Saya melakukan shalat ‘id bersama Utsman Bin Affan maka utsman shalat lalu berkhutbah dan berkata, ‘Sesungguhnya telah berkumpul pada hari ini dua ‘id, maka barang siapa yang hendak menunggu dari ahli a’liyah maka tunggulah dan barang siapa yang hendak pulang maka telah diizinkan baginya”.
2)        Imam Ahmad berpendapat bahwa shalat jum’at tidak usah dikerjakan bagi mereka yang melaksanakan shalat ‘id baik ahli balad atau ahli qura kecuali Imam. Adapun Imam ahmad berdalilkan dari yang diriwayatkan Iyas bin Abi Ramlah Asy-Syami, dia berkata, ”Saya melihat Mu’awiyah bertanya kepada Zaid bin Arqam, ”Apakah engkau pernah mendapatkan dua ‘id bersatu pada satu hari bersama Rasulullah Saw.?, maka Zaid berkata, ”Iya”. “Maka bagaimana hukumnya?” Zaid menjawab, ”Shalat ‘Id kemudian dirukhsah pada shalat jum’at”. Lalu Zaid berkata, ”Barang siapa yang hendak shalat maka shalatlah”. ( HR. Abu Daud)
3)        Adapun Imam Abu Hanifah dan Imam Malik berpendapat bahwa shalat jum’at dan shalat ‘Id wajib keduanya untuk dilaksanakan. Abu Hanifah berdalilkan bahwa hukum melaksanakan shalat jum’at adalah wajib adapun shalat ‘id maka bagi siapa yang meninggalkannya berarti sesat dan bid’ah.
c.         Hukum potong tangan bagi seorang pembantu
Jumhur ulama berpendapat bahwa hukum bagi seorang pembantu yang mencuri harta tuannya tidak dipotong. Adapun Dalilnya:
1)        Diriwayatkan oleh Imam Malik, beliau berkata, ”Telah bercerita kepada kami dari Az-Zuhri dari As-Saib bin Yazid bahwa Abdullah bin Amar bin Hadhrami datang kepada Umar bi Khattab dengan seorang hamba, lalu dia berkata, ”Potong tangannya karena dia telah mencuri”. Umar bertanya, ”Apa yang dicuri olehnya?”, dia menjawab, ”Cermin istriku yang berharga enam puluh dirham”. Maka Umar berkata, ”Lepaskan saja karena tidak ada potong tangan bagi pembantu yang mencuri hartamu”.
2)        Diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud bahwa seseorang datang kepadanya lalu berkata, ”Budak saya mencuri harta milik budak saya yang lain”, lalu Ibnu mas’ud berkata, ”Tidak ada potong tangan bagi “harta” yang mencuri “harta”.
Adapun Daud Adz-dzhahiri berpendapat bahwa potong tangan tetap berlaku secara mutlak.
d.        Status Pernikahan dalam masa ‘Iddah
Imam Malik, Al-Auza’I dan Al-Laits berpendapat bahwa mereka harus dipisahkan, dan wanita itu menjadi haram bagi laki-laki tersebut selamanya. Mereka berpendapat dengan perkataan Umar yang memisahkan antara Thalhah Al-Asdiah dengan suaminya Rasyid Ats-Tsaqafi ketika mereka menikah pada masa ‘iddah dari suaminya. Dan berkata, ”Setiap wanita yang menikah dalam masa iddahnya, apabila suami yang menikahinya itu belum menggaulinya maka harus dipisahkan keduanya. Kemudian sang wanita menyempurnakan masa iddahnya. Lalu jika pada masa iddah itu dia menikah lagi dengan yang lain dan sudah digauli maka harus dipisahkan keduanya. Kemudian sang wanita menyempurnakan masa ‘iddah dari suami yang pertama lalu dilanjutkan dengan menjalani masa iddah dari suami yang kedua. Dan antara wanita tersebut dengan suaminya yang ketiga tidak boleh bersatu selamanya”.
Adapun pendapat yang kedua bahwa dipisahkan keduanya dan sang wanita boleh mendapatkan maharnya. Dan apabila telah habis masa iddahnya apabila sang wanita berkehandak untuk menikahinya lagi maka tidak apa-apa. Sebagaimana dijelaskan oleh Ali bin Abi Thalib.
BAB III
PENUTUP

3.1.       Kesimpulan
Madzhab shahabi ialah pendapat sahabat Rasulullah SAW tentang suatu kasus dimana hukumnya tidak dijelaskan secara tegas dalam Alquran dan sunnah Rasulullah. Pendapat para Ulama pun sangat beragam mengenai pendapat para Sahabat ini. Ada yang menggunakannya sebagai hujjah dan ada yang tidak menggunakannya. Dan untuk kita boleh memilih pada siapa kita akan ittiba’.
3.2.       Saran
Sebagai penganut agama Islam, tentu penting untuk kita memahami hukum dan sumber hukum dalam Islam. Saran kami, sebaiknya kita lebih banyak belajar mengenai hukum dan sumber hukum Islam, baik dari Ulama maupun dari berbagai literatur yang kini banyak tersedia.


[1] Rahman Dahlan,M.A,Ushul Fiqh, Cet.1, (Jakarta: Amzah, 2010), hlm.225
[2] Prof. Dr. H. Rachmat Syafe’i, M.A., Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung: Penerbit PUSTAKA SETIA Bandung), hal. 141
[3] Dr. Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam, (Bandung: Penerbit Risalah,1985), hal. 142
[4] Imam as-Shan’ani, Subulussalam, hal.94
[5] Asy-Syatibi, Al-Muwafaqot, hal 40
[6] Asy-Syaukani, Irsyadul Fuhul, hal.214, Imam Ghazali, Al-Mustashfa, hal. 260
[7] M. Hasbi Ashiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqih, (Jakarta, PT Bulan Bintang, 1993), hal. 182
[8] Abdul Karim Zaedan,  Al-Wajiz Fi Ushul Fiqh (Terj), (Beirut: Muassasah Ar-Risalah, 1996), hlm. 260-261
[9] Khairul Umam, dkk, Ushul Fiqih I, cet. 2, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), hal. 182

[10] Jazuli, dkk, Ushul Fiqh Metodologi Hukum Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), hal. 212-213

No comments:

Post a Comment