SUMBER HUKUM
1.
Pengertian Sumber Hukum
Sumber hukum ialah
“asal mulanya hukum” segala sesuatu yang dapat menimbulkan aturan-aturan hukum
sehingga mempunyai kekuatan mengikat.
Yang dimaksud “segala sesuatu” tersebut adalah faktor-faktor yang mempengaruhi terhadap timbulnya hukum, dari mana hukum ditemukan atau dari mana berasalnya isi norma hukum.
Sumber hukum pada hakekatnya dapat dibedakan ada 2 (dua) macam, yakni sumber hukum material dan sumber hukum formal (Algra), [1] dan (Utrecht),[2] juga menurut Fockema Andreae dalam “Overzicht van oud Nerdelansche rechtsbronnen”.
Menurut van Apeldoorn ada 4 (empat) macam sumber hukum yakni (1). Sumber hukum historis, (2) Sumber hukum sosiologis, (3) Sumber hukum filosofis, dan (4) Sumber hukum formal.[3]
Oleh para ahli hukum terkemuka, sumber hukum historis, sumber hukum sosiologis, dan sumber hukum filosofis sebagaimana pendapat van Apeldoorn dikelompokkan sebagai sumber hukum material, karena ketiga sumber hukum (filosofis, sosilogis, dan historis) merupakan materi (isi) norma hukum dalam kehidupan bermasyarakat.
Yang dimaksud “segala sesuatu” tersebut adalah faktor-faktor yang mempengaruhi terhadap timbulnya hukum, dari mana hukum ditemukan atau dari mana berasalnya isi norma hukum.
Sumber hukum pada hakekatnya dapat dibedakan ada 2 (dua) macam, yakni sumber hukum material dan sumber hukum formal (Algra), [1] dan (Utrecht),[2] juga menurut Fockema Andreae dalam “Overzicht van oud Nerdelansche rechtsbronnen”.
Menurut van Apeldoorn ada 4 (empat) macam sumber hukum yakni (1). Sumber hukum historis, (2) Sumber hukum sosiologis, (3) Sumber hukum filosofis, dan (4) Sumber hukum formal.[3]
Oleh para ahli hukum terkemuka, sumber hukum historis, sumber hukum sosiologis, dan sumber hukum filosofis sebagaimana pendapat van Apeldoorn dikelompokkan sebagai sumber hukum material, karena ketiga sumber hukum (filosofis, sosilogis, dan historis) merupakan materi (isi) norma hukum dalam kehidupan bermasyarakat.
2.
Sumber
Hukum Material
Sumber hukum material adalah
faktor-faktor yang menentukan kaidah hukum”; atau tempat dari mana berasalnya
isi hukum; atau faktor-faktor yang menentukan isi hukum yang berlaku.
Faktor-faktor yang menentukan isi hukum dapat dikelompokkan atas “faktor ideal
(filosofis), faktor sejarah (historis) dan faktor kemasyarakatan (sosiologis)”.
Faktor ideal (filosofis) adalah pedoman-pedoman hidup yang tetap mengenai
nilai-nilai etika dan keadilan yang harus dipatuhi oleh para pembentuk
undang-undang ataupun oleh lembaga-lembaga pelaksana hukum dalam melaksanakan
tugasnya. Faktor sejarah (historis) tempat hukum dari sejarah kehidupan, tumbuh
dan berkembangnya suatu bangsa di masa lalu, misalnya : hukum dalam
piagam-piagam, dokumen, manuskrip kuno, code Napoleon, B.W., W.vK, Wv.S.
Faktor kemasyarakatan (sosiologis), adalah hal-hal yang nyata hidup dalam masyarakat yang tunduk pada aturan-aturan tata kehidupan masyarakat. Faktor-faktor kemasyarakatan yang mempengaruhi pembentukan hukum adalah:
a. Kebiasaan atau adat istiadat yang telah mentradisi dan terus berkembang dalam masyarakat yang ditaati sebagai aturan tingkah laku tetap;
b. Keyakinan tentang agama/kepercaaan dan kesusilaan;
c. Kesadaran hukum, perasaan hukum dan keyakinan hukum dalam masyarakat;
d. Tata hukum negara-negara lain, misalnya materi hukum perdata, hukum dagang, hukum perdata Internasional diambil dari negara-negara yang lebih maju;
e. Sumber hukum formal, yang sudah ada sekarang ini dapat dijadikan bahan untuk menentukan isi hukum yang akan datang (ius constituendum).
Menurut Utrecht, sumber hukum material adalah perasaan hukum (keyakinan hukum) individu dan pendapat umum (public opinion) yang menjadi determinan material pembentuk hukum yang menentukan isi kaidah hukum.[4]
Faktor kemasyarakatan (sosiologis), adalah hal-hal yang nyata hidup dalam masyarakat yang tunduk pada aturan-aturan tata kehidupan masyarakat. Faktor-faktor kemasyarakatan yang mempengaruhi pembentukan hukum adalah:
a. Kebiasaan atau adat istiadat yang telah mentradisi dan terus berkembang dalam masyarakat yang ditaati sebagai aturan tingkah laku tetap;
b. Keyakinan tentang agama/kepercaaan dan kesusilaan;
c. Kesadaran hukum, perasaan hukum dan keyakinan hukum dalam masyarakat;
d. Tata hukum negara-negara lain, misalnya materi hukum perdata, hukum dagang, hukum perdata Internasional diambil dari negara-negara yang lebih maju;
e. Sumber hukum formal, yang sudah ada sekarang ini dapat dijadikan bahan untuk menentukan isi hukum yang akan datang (ius constituendum).
Menurut Utrecht, sumber hukum material adalah perasaan hukum (keyakinan hukum) individu dan pendapat umum (public opinion) yang menjadi determinan material pembentuk hukum yang menentukan isi kaidah hukum.[4]
3.
Sumber Hukum Formal
Sumber hukum
formal ialah tempat dari mana dapat ditemukan atau diperoleh aturan-aturan
hukum yang berlaku yang mempunyai kekuatan mengikat masyarakat dan pemerintah
sehingga ditaati.
Sumber hukum formal (van Apeldoorn) adalah dari mana timbulnya hukum yang berlaku (yang mengikat hakim dan penduduk).
Sumber hukum formal adalah yang menjadi determinan formal membentuk hukum (formele determinanten van de rechtsvorming), menentukan berlakunya hukum.[5]
Bentuk sumber-sumber hukum formal ialah:
a. Undang-undang
b. Kebiasaan/Adat
c. Yurisprudensi
d. Traktat (Treaty)
e. Doktrin Hukum (pendapat atau ajaran ahli hukum).
Sumber hukum formal (van Apeldoorn) adalah dari mana timbulnya hukum yang berlaku (yang mengikat hakim dan penduduk).
Sumber hukum formal adalah yang menjadi determinan formal membentuk hukum (formele determinanten van de rechtsvorming), menentukan berlakunya hukum.[5]
Bentuk sumber-sumber hukum formal ialah:
a. Undang-undang
b. Kebiasaan/Adat
c. Yurisprudensi
d. Traktat (Treaty)
e. Doktrin Hukum (pendapat atau ajaran ahli hukum).
3.1 Undang-Undang
Undang-undang dapat dibedakan dalam dua pengertian, yaitu Undang-undang dalam arti material (wet in materiele zin) dan Undang-undang dalam arti formal (wet in formele zin).
Undang-undang dalam arti material (wet in materiele zin) adalah “setiap keputusan atau peraturan yang dibuat oleh pemerintah atau penguasa yang berwenang yang isinya mengikat secara umum”; atau setiap “keputusan atau ketetapan pemerintah atau penguasa yang berwenang yang memuat ketentuan-ketentuan umum”; atau “peraturan-peraturan umum yang dibuat oleh penguasa yang berwenang”.
Menurut Paul Laband (Jerman) “undang-undang dalam arti material ialah “die rechtsverbindliche Anordnung eines Rechtssatzes” (penetapan kaidah hukum yang tegas), sehingga hukum itu menurut sifatnya dapat mengikat. Agar undang-undang dalam arti material itu dapat mengikat, harus dipenuhinya unsur “Anordnung” dan “Rechtssatz”. “Anordnung” yaitu “penetapan peraturan (kaidah) dengan tegas, sehingga menjadi hukum yang mengikat; “Rechssatz” ialah “peraturan” atau “kaidah hukum”.[6] Selanjutnya Laband menyatakan, bahwa “Anordnung” itu penetapan “resmi” suatu kaidah sehingga menjadi “hukum” yang bersifat mengikat, suatu “Rechtssatz” saja tanpa “Anordnung” masih merupakan peraturan (kaidah) hukum kebiasaan saja. Anordnung dan Rechtssatz merupakan “Gesetzinhalt” yaitu isi undang-undang. Oleh karena itu menurut Laband, agar undang-undang itu berlaku pada wilayah negara pada umumnya harus ada perintah pengundang-undangan dan disahkan oleh Kepala Negara.
Pendapat Laband tersebut dipengaruhi oleh aliran ajaran “legisme” yang sangat sempit, bahwa undang-undang harus di buat atau disyahkan dan disetujui oleh Kepala Negara.
Pendapat Laband tersebut kurang tepat, jika yang dinamakan undang-undang dalam arti material itu harus disetujui dan disyahkan oleh Kepala Negara. Laband dalam hal ini mengabaikan tentang “isi” atau “materi” suatu peraturan yang dapat disebut sebagai “undang-undang dalam arti material”; sebab tidak semua keputusan atau peraturan yang disetujui atau disyahkan bahkan dibuat oleh Kepala Negara mengikat langsung semua penduduk dalam suatu wilayah. Apabila suatu keputusan atau peraturan yang dibuat atau disyahkan Kepala Negara tidak mengikat secara langsung semua penduduk dalam suatu wilayah/daerah atau negara, maka tidak dapat disebut sebagai “undang-udang dalam arti material”.
Pengertian undang-undang dalam arti material menurut Buys (begrip wet in materiele zin volgen Buys) adalah “setiap keputusan pemerintah (penguasa/overhead) yang menurut isinya mengikat langsung setiap penduduk sesuatu daerah.[7]
Berdasarkan “Teori Buys” tersebut, maka setiap keputusan pemerintah yang menurut bentuknya bukan undang-undang, bukan suatu keputusan yang ditetapkan oleh Presiden bersama-sama dengan DPR (Legislatif/parlemen) tetapi isinya mengikat masing-masing penduduk suatu daerah, wilayah dapat dinamakan “undang-undang” yaitu undang-undang alam arti material. Keputusan Pemerintah semacam itu berupa misalnya, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Penetapan Presiden, Peraturan Daerah. Walaupun peraturan tersebut menurut bentuknya bukan undang-undang, tetapi menurut “isinya” masih juga “undang-undang” yakni undang-undang dalam ati material. Undang-undang dalam arti material itu juga disebut “peraturan” dalam bahasa Belanda “regeling”.
Bilamana sesuatu keputusan pemerintah atau peraturan yang isinya mengikat langsung semua penduduk, maka keputusan ini menjadi suatu peraturan, yaitu undang-undang dalam arti material.[8]
Jadi undang-undang dalam arti material adalah keputusan pemerintah atau peraturan yang isinya mengikat langsung semua penduduk atau mengikat secara umum. Undang-undang dalam arti material disebut juga sebagai undang-undang dalam arti luas.
Undang-undang dalam arti “formal” (wet in formele zin), ialah “setiap keputusan pemerintah atau penguasa yang berwenang yang karena prosedur terjadinya atau pembentukannya dan bentuknya dinamakan “undang-undang”.
Undang-undang dalam arti formal, ialah keputusan pemerintah yang memperoleh nama undang-undang karena bentuk, dalam mana ia timbul.[9]
Undang-undang dalam arti formal ialah setiap keputusan yang merupakan “undang-undang” karena cara terjadinya (wijze van totstandkoming).[10]
Menurut N.E. Algra, et.al. (1991 : 28), undang-undang dalam arti formal adalah “undang-undang resmi” atau undang-undang yang dibuat oleh pembuat undang-undang formal. Pembuat undang-undang formal atau resmi di Belanda adalah Raja dan DPR (de Koning en de Staten General). [11]
Dengan demikian menurut Algra, Undang-undang dalam arti formal adalah tiap keputusan yang terjadi dengan jalan kerjama antara Perintah (Firman Raja) dan DPR (de Koning en de Staten Generaal).
Menurut Konstitusi negara Indonesia (UUD 1945), yang membuat undang-undang adalah DPR bersama Presiden sebagaimana ditentukan dalam pasal 20 UUD 1945. Di dalam pasal 20 ayat (2) UUD 1945 ditentukan bahwa, “setiap rancangan undang-undang dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama. Presiden mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama untuk menjadi undang-undang” (Pasal 20 ayat (4) UUD 1945).
Dari sisi pembuatannya atau terjadinya (prosedurnya) oleh pembentuk resmi undang-undang (Presiden bersama DPR), juga dari bentuknya atau bentuk luar (fisik) dinamakan “undang-undang”, maka keputusan atau peraturan tersebut dinamakan “undang-undang dalam arti formal”.
Dengan demikian undang-undang dalam arti formal menurut UUD 1945, adalah setiap keputusan atau peraturan yang dibuat dan disetujui bersama oleh DPR dengan Presiden. Apabila diabstraksikan, definisi “undang-undang dalam arti formal” adalah setiap keputusan penguasa yang berwenang yang karena prosedur pembuatannya atau pembentukannya dan bentuknya dinamakan “undang-undang”. Undang-undang dalam arti formal disebut juga sebagai undang-undang dalam arti sempit, karena isinya tidak mengikat masyarakat umum atau luas.
Untuk membedakan antara undang-undang dalam arti formal dengan undang-undang dalam arti material adalah sebagai berikut : pertama, undang-undang dalam arti formal namanya pasti “undang-undang” dan isinya tidak mengikat secara umum atau secara luas atau tidak mengikat semua penduduk. Kedua, undang-undang dalam arti material belum tentu bernama undang-undang, jika ada yang bernama “undang-undang” atau Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, atau Peraturan Presiden atau Peraturan Daerah “isi” atau materinya harus mengikat secara umum atau luas, atau berlakunya undang-undang mengikat semua penduduk dalam suatu wilayah.
Apabila ada undang-undang dalam arti fomal (bernama “undang-undang”) tetapi isinya mengikat secara umum semua penduduk dalam satu wilayah atau daerah, maka undang-undang ini disebut “undang-undang dalam arti material”, misal KUHP, KUHAP, UUPA, B.W. WvK.
Sebagian besar undang-undang yang berlaku di Indonesia merupakan undang-undang dalam arti material karena isinya mengatur atau mengikat secara umum semua penduduk dalam suatu daerah atau wilayah.
Peraturan Daerah walaupun bentuknya dan namanya bukan “undang-undang” tetapi karena isinya mengikat langsung penduduk secara umum, disebut sebagai “undang-undang dalam arti material”. Sebaliknya Undang-undang Naturalisasi atau Kewarganegaraan, undang-undang APBN bentuk fisiknya dan namanya “undang-undang”, tetapi karena isinya tidak mengatur atau tidak mengikat secara umum semua penduduk, maka Undang-undang Naturalisasi atau Kewarganegaraan dan Undang-undang APBN disebut “undang-undang dalam arti formal” bukan undang-undang dalam arti material.
Selain itu, ada undang-undang dalam arti material yang tidak berbentuk atau tidak bernama “undang-undang” misalnya Peraturan Daerah tentang larangan merokok di tempat-tempat umum, Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, Keputusan Presiden tentang: Pancasila, Penggunaan Bendera Negara, dan tentang Lagu Kebangasaan Indonesia Raya.
Undang-undang dapat dibedakan dalam dua pengertian, yaitu Undang-undang dalam arti material (wet in materiele zin) dan Undang-undang dalam arti formal (wet in formele zin).
Undang-undang dalam arti material (wet in materiele zin) adalah “setiap keputusan atau peraturan yang dibuat oleh pemerintah atau penguasa yang berwenang yang isinya mengikat secara umum”; atau setiap “keputusan atau ketetapan pemerintah atau penguasa yang berwenang yang memuat ketentuan-ketentuan umum”; atau “peraturan-peraturan umum yang dibuat oleh penguasa yang berwenang”.
Menurut Paul Laband (Jerman) “undang-undang dalam arti material ialah “die rechtsverbindliche Anordnung eines Rechtssatzes” (penetapan kaidah hukum yang tegas), sehingga hukum itu menurut sifatnya dapat mengikat. Agar undang-undang dalam arti material itu dapat mengikat, harus dipenuhinya unsur “Anordnung” dan “Rechtssatz”. “Anordnung” yaitu “penetapan peraturan (kaidah) dengan tegas, sehingga menjadi hukum yang mengikat; “Rechssatz” ialah “peraturan” atau “kaidah hukum”.[6] Selanjutnya Laband menyatakan, bahwa “Anordnung” itu penetapan “resmi” suatu kaidah sehingga menjadi “hukum” yang bersifat mengikat, suatu “Rechtssatz” saja tanpa “Anordnung” masih merupakan peraturan (kaidah) hukum kebiasaan saja. Anordnung dan Rechtssatz merupakan “Gesetzinhalt” yaitu isi undang-undang. Oleh karena itu menurut Laband, agar undang-undang itu berlaku pada wilayah negara pada umumnya harus ada perintah pengundang-undangan dan disahkan oleh Kepala Negara.
Pendapat Laband tersebut dipengaruhi oleh aliran ajaran “legisme” yang sangat sempit, bahwa undang-undang harus di buat atau disyahkan dan disetujui oleh Kepala Negara.
Pendapat Laband tersebut kurang tepat, jika yang dinamakan undang-undang dalam arti material itu harus disetujui dan disyahkan oleh Kepala Negara. Laband dalam hal ini mengabaikan tentang “isi” atau “materi” suatu peraturan yang dapat disebut sebagai “undang-undang dalam arti material”; sebab tidak semua keputusan atau peraturan yang disetujui atau disyahkan bahkan dibuat oleh Kepala Negara mengikat langsung semua penduduk dalam suatu wilayah. Apabila suatu keputusan atau peraturan yang dibuat atau disyahkan Kepala Negara tidak mengikat secara langsung semua penduduk dalam suatu wilayah/daerah atau negara, maka tidak dapat disebut sebagai “undang-udang dalam arti material”.
Pengertian undang-undang dalam arti material menurut Buys (begrip wet in materiele zin volgen Buys) adalah “setiap keputusan pemerintah (penguasa/overhead) yang menurut isinya mengikat langsung setiap penduduk sesuatu daerah.[7]
Berdasarkan “Teori Buys” tersebut, maka setiap keputusan pemerintah yang menurut bentuknya bukan undang-undang, bukan suatu keputusan yang ditetapkan oleh Presiden bersama-sama dengan DPR (Legislatif/parlemen) tetapi isinya mengikat masing-masing penduduk suatu daerah, wilayah dapat dinamakan “undang-undang” yaitu undang-undang alam arti material. Keputusan Pemerintah semacam itu berupa misalnya, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Penetapan Presiden, Peraturan Daerah. Walaupun peraturan tersebut menurut bentuknya bukan undang-undang, tetapi menurut “isinya” masih juga “undang-undang” yakni undang-undang dalam ati material. Undang-undang dalam arti material itu juga disebut “peraturan” dalam bahasa Belanda “regeling”.
Bilamana sesuatu keputusan pemerintah atau peraturan yang isinya mengikat langsung semua penduduk, maka keputusan ini menjadi suatu peraturan, yaitu undang-undang dalam arti material.[8]
Jadi undang-undang dalam arti material adalah keputusan pemerintah atau peraturan yang isinya mengikat langsung semua penduduk atau mengikat secara umum. Undang-undang dalam arti material disebut juga sebagai undang-undang dalam arti luas.
Undang-undang dalam arti “formal” (wet in formele zin), ialah “setiap keputusan pemerintah atau penguasa yang berwenang yang karena prosedur terjadinya atau pembentukannya dan bentuknya dinamakan “undang-undang”.
Undang-undang dalam arti formal, ialah keputusan pemerintah yang memperoleh nama undang-undang karena bentuk, dalam mana ia timbul.[9]
Undang-undang dalam arti formal ialah setiap keputusan yang merupakan “undang-undang” karena cara terjadinya (wijze van totstandkoming).[10]
Menurut N.E. Algra, et.al. (1991 : 28), undang-undang dalam arti formal adalah “undang-undang resmi” atau undang-undang yang dibuat oleh pembuat undang-undang formal. Pembuat undang-undang formal atau resmi di Belanda adalah Raja dan DPR (de Koning en de Staten General). [11]
Dengan demikian menurut Algra, Undang-undang dalam arti formal adalah tiap keputusan yang terjadi dengan jalan kerjama antara Perintah (Firman Raja) dan DPR (de Koning en de Staten Generaal).
Menurut Konstitusi negara Indonesia (UUD 1945), yang membuat undang-undang adalah DPR bersama Presiden sebagaimana ditentukan dalam pasal 20 UUD 1945. Di dalam pasal 20 ayat (2) UUD 1945 ditentukan bahwa, “setiap rancangan undang-undang dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama. Presiden mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama untuk menjadi undang-undang” (Pasal 20 ayat (4) UUD 1945).
Dari sisi pembuatannya atau terjadinya (prosedurnya) oleh pembentuk resmi undang-undang (Presiden bersama DPR), juga dari bentuknya atau bentuk luar (fisik) dinamakan “undang-undang”, maka keputusan atau peraturan tersebut dinamakan “undang-undang dalam arti formal”.
Dengan demikian undang-undang dalam arti formal menurut UUD 1945, adalah setiap keputusan atau peraturan yang dibuat dan disetujui bersama oleh DPR dengan Presiden. Apabila diabstraksikan, definisi “undang-undang dalam arti formal” adalah setiap keputusan penguasa yang berwenang yang karena prosedur pembuatannya atau pembentukannya dan bentuknya dinamakan “undang-undang”. Undang-undang dalam arti formal disebut juga sebagai undang-undang dalam arti sempit, karena isinya tidak mengikat masyarakat umum atau luas.
Untuk membedakan antara undang-undang dalam arti formal dengan undang-undang dalam arti material adalah sebagai berikut : pertama, undang-undang dalam arti formal namanya pasti “undang-undang” dan isinya tidak mengikat secara umum atau secara luas atau tidak mengikat semua penduduk. Kedua, undang-undang dalam arti material belum tentu bernama undang-undang, jika ada yang bernama “undang-undang” atau Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, atau Peraturan Presiden atau Peraturan Daerah “isi” atau materinya harus mengikat secara umum atau luas, atau berlakunya undang-undang mengikat semua penduduk dalam suatu wilayah.
Apabila ada undang-undang dalam arti fomal (bernama “undang-undang”) tetapi isinya mengikat secara umum semua penduduk dalam satu wilayah atau daerah, maka undang-undang ini disebut “undang-undang dalam arti material”, misal KUHP, KUHAP, UUPA, B.W. WvK.
Sebagian besar undang-undang yang berlaku di Indonesia merupakan undang-undang dalam arti material karena isinya mengatur atau mengikat secara umum semua penduduk dalam suatu daerah atau wilayah.
Peraturan Daerah walaupun bentuknya dan namanya bukan “undang-undang” tetapi karena isinya mengikat langsung penduduk secara umum, disebut sebagai “undang-undang dalam arti material”. Sebaliknya Undang-undang Naturalisasi atau Kewarganegaraan, undang-undang APBN bentuk fisiknya dan namanya “undang-undang”, tetapi karena isinya tidak mengatur atau tidak mengikat secara umum semua penduduk, maka Undang-undang Naturalisasi atau Kewarganegaraan dan Undang-undang APBN disebut “undang-undang dalam arti formal” bukan undang-undang dalam arti material.
Selain itu, ada undang-undang dalam arti material yang tidak berbentuk atau tidak bernama “undang-undang” misalnya Peraturan Daerah tentang larangan merokok di tempat-tempat umum, Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, Keputusan Presiden tentang: Pancasila, Penggunaan Bendera Negara, dan tentang Lagu Kebangasaan Indonesia Raya.
Syarat-syarat
berlakunya undang-undang
a. Undang-undang terdiri beberapa
bagian, yaitu:
1) Judul;
2) Pembukaan memuat ( Frase Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa; Jabatan Pembentuk undang-undang; Konsideran; Dasar Hukum; dan Diktum). Konsideran diawali dengan kata-kata “Menimbang” (berisi pokok-pokok pikiran latar belakang dan alasan pembuatan Peraturan Perundang-undangan); Kemudian Dasar Hukum diawali dengan kata-kata “Mengingat” (berisi dasar hukum kewenangan pembuatan Peraturan Perundang-undangan dsb); Selanjutnya “Diktum” terdiri atas (kata Memutuskan, Menetapkan, dan nama Peraturan Perundang-undangan);
3) Batang Tubuh memuat (Ketentuan Umum, Materi Pokok yang diatur; Ketentuan Pidana-jika perlu, Ketentuan Peralihan dan Ketentuan Penutup);
4) Penutup;
5) Penjelasan Pasal-pasal;
6) Lampiran (jika perlu).
b. Ketentuan peralihan, pada umumnya setiap undang-undang mengatur ketentuan peralihan yang mempunyai fungsi untuk mengisi kekosongan hukum (rechtsvacuum) dengan menghubungkan waktu yang lampau dengan waktu sekarang.
c. Undang-undang diberi nomor urut serta tahun di keluarkannya. Nomor urutnya tiap tahun dimulai dari nomor satu.
d. Agar setiap orang mengetahuinya, Peraturan Perundang-undangan harus diundangkan atau diumumkan dengan menempatkannya dalam Lembaran Negara (Pasal 45 UU. No.10 Tahun 2004). Pengundangan Peraturan Perundang-undangan dalam Lembaran Negara dilakukan oleh Menteri yang tugas dan tanggungjawabnya di bidang peraturan perundang-undangan (Menteri Hukum dan HAM), dan yang menanda tangani Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang adalah Presiden (Pasal 48 UU No. 10 Tahun 2004 jo. Pasal 20 ayat (4) UUD 1945).
e. Dengan diundangkannya Undang-undang dalam Lembaran Negara berarti mengikat setiap orang untuk mengakui eksistensinya, sehingga berlakulah “asas fictie” dalam hukum, artinya bahwa “setiap orang dianggap telah mengetahui adanya suatu undang-undang” sehingga undang-undang tersebut tidak boleh digugat dengan bukti yang melawannya (praesumptio iuris et de uire).
f. Peraturan Perundang-undangan mulai berlaku dan mempunyai kekuatan mengikat pada tanggal diundangkan, kecuali ditentukan lain dalam Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan (Pasal 50 UU. No. 10 Tahun 2004).
Lembaran Negara adalah suatu lembaran (kertas) tempat mengundangkan (mengumumkan) semua peraturan-perundang-undangan Negara dan peraturan-peraturan pemerintah agar berlakunya mempunyai kekuatan mengikat.
Peraturan Perundang-undangan yang diundangkan di dalam Lembaran Negara R.I. meliputi ( Undang-Undang/Perpu, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden mengenai Pengesahan Perjanjian Internasional dan Penyataan keadaan bahaya, serta Peraturan Perundang-undangan lain yang menurut Peraturan Perundangan yang belaku harus diundangkan dalam Lembara Negara R.I. (Pasal 46 UU. No. 10 Tahun 2004).
Penjelasan undang-undang atau peraturan perundang-undangan yang diundangkan dalam Lembaran Negara R.I. dimuat dalam Tambahan Lembaran Negara yang mempunyai nomor ber-urutan. Lembaran Negara diterbitkan oleh Menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang peraturan perundang-undangan yakni Menteri Hukum dan HAM.
1) Judul;
2) Pembukaan memuat ( Frase Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa; Jabatan Pembentuk undang-undang; Konsideran; Dasar Hukum; dan Diktum). Konsideran diawali dengan kata-kata “Menimbang” (berisi pokok-pokok pikiran latar belakang dan alasan pembuatan Peraturan Perundang-undangan); Kemudian Dasar Hukum diawali dengan kata-kata “Mengingat” (berisi dasar hukum kewenangan pembuatan Peraturan Perundang-undangan dsb); Selanjutnya “Diktum” terdiri atas (kata Memutuskan, Menetapkan, dan nama Peraturan Perundang-undangan);
3) Batang Tubuh memuat (Ketentuan Umum, Materi Pokok yang diatur; Ketentuan Pidana-jika perlu, Ketentuan Peralihan dan Ketentuan Penutup);
4) Penutup;
5) Penjelasan Pasal-pasal;
6) Lampiran (jika perlu).
b. Ketentuan peralihan, pada umumnya setiap undang-undang mengatur ketentuan peralihan yang mempunyai fungsi untuk mengisi kekosongan hukum (rechtsvacuum) dengan menghubungkan waktu yang lampau dengan waktu sekarang.
c. Undang-undang diberi nomor urut serta tahun di keluarkannya. Nomor urutnya tiap tahun dimulai dari nomor satu.
d. Agar setiap orang mengetahuinya, Peraturan Perundang-undangan harus diundangkan atau diumumkan dengan menempatkannya dalam Lembaran Negara (Pasal 45 UU. No.10 Tahun 2004). Pengundangan Peraturan Perundang-undangan dalam Lembaran Negara dilakukan oleh Menteri yang tugas dan tanggungjawabnya di bidang peraturan perundang-undangan (Menteri Hukum dan HAM), dan yang menanda tangani Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang adalah Presiden (Pasal 48 UU No. 10 Tahun 2004 jo. Pasal 20 ayat (4) UUD 1945).
e. Dengan diundangkannya Undang-undang dalam Lembaran Negara berarti mengikat setiap orang untuk mengakui eksistensinya, sehingga berlakulah “asas fictie” dalam hukum, artinya bahwa “setiap orang dianggap telah mengetahui adanya suatu undang-undang” sehingga undang-undang tersebut tidak boleh digugat dengan bukti yang melawannya (praesumptio iuris et de uire).
f. Peraturan Perundang-undangan mulai berlaku dan mempunyai kekuatan mengikat pada tanggal diundangkan, kecuali ditentukan lain dalam Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan (Pasal 50 UU. No. 10 Tahun 2004).
Lembaran Negara adalah suatu lembaran (kertas) tempat mengundangkan (mengumumkan) semua peraturan-perundang-undangan Negara dan peraturan-peraturan pemerintah agar berlakunya mempunyai kekuatan mengikat.
Peraturan Perundang-undangan yang diundangkan di dalam Lembaran Negara R.I. meliputi ( Undang-Undang/Perpu, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden mengenai Pengesahan Perjanjian Internasional dan Penyataan keadaan bahaya, serta Peraturan Perundang-undangan lain yang menurut Peraturan Perundangan yang belaku harus diundangkan dalam Lembara Negara R.I. (Pasal 46 UU. No. 10 Tahun 2004).
Penjelasan undang-undang atau peraturan perundang-undangan yang diundangkan dalam Lembaran Negara R.I. dimuat dalam Tambahan Lembaran Negara yang mempunyai nomor ber-urutan. Lembaran Negara diterbitkan oleh Menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang peraturan perundang-undangan yakni Menteri Hukum dan HAM.
Mulai berlakunya dan berakhirnya
undang-undang.
Ilmu hukum membedakan adanya 3 (tiga) hal berlakunya suatu norma hukum. Berlakunya norma hukum disebut “gelding” (bahasa Belanda) atau “geltung” (bahasa Jerman). Berlakunya hukum adalah sebagai berikut :
Pertama, berlaku secara “yuridis”, apabila penentuannya didasarkan pada kaedah yang lebih tinggi tingkatannya (Hans Kelsen).
Menurut Kelsen, suatu undang-undang atau peraturan berlakunya harus didasarkan pada norma dasar (grundnorm) yang lebih tinggi tingkatannya dan mendasar.[12] Oleh Hans Nawiasky disebut “staatsfundamentalnorm”.[13] Sedangkan oleh John Alder dikatakan bahwa, suatu undang-undang atau peraturan mempunyai kekuatan yuridis harus berdasarkan”basic principle” dan “general political and moral value”.[14]
Kaidah hukum mempunyai kekuatan yuridis, jikalau kaidah tersebut dibentuk menurut cara yang telah ditetapkan (W. Zevenbergen). [15] Kaidah hukum mengikat secara yuridis, apabila menunjukkan hubungan keharusan antara suatu kondisi dengan akibatnya (J.H.A. Logemann). [16]
Kedua, berlaku secara “sosiologis” artinya bahwa efektifitas kaidah hukum didasarkan pada “kekuasaan/penguasa” (machtstheorie), atau berlakunya kaidah hukum didasarkan adanya “pengakuan” atau diterima dan diakui dengan sendirinya oleh masyarakat (anerkennungstheorie); dan ketiga adalah berlaku secara ”filosofis” artinya sesuai dengan” rechts idea” atau cita-cita hukum sebagai nilai positif yang tertinggi.[17]
Bila kaidah hukum hanya berlaku secara yuridis, kemungkinan besar kaidah hukum akan berhenti bahkan mati (dode regel); apabila kaidah hukum hanya berlaku secara sosiologis, kemungkinan kaidah hukum menjadi aturan yang memaksa (dwangmaatregel), atau diabaikan masyarakat sehingga menimbulkan “anarchie” atau “chaos”. Apabila kaidah hukum hanya berlaku secara filosofis, kemungkinan hukum merupakan nilai-nilai moral yang dicita-citakan (ius constituendum) selamanya.
Menurut Hans Kelsen, selain berlakunya norma atau kaidah hukum harus berdasarkan pada “grundnorm”, juga harus memperhatikan “lingkungan kuasa kaidah-kaidah”. Lingkungan kuasa berlakunya kaidah itu ada 4 (empat) hal, yakni (1) Temporal sphere atau sphere of time (waktu “mulai dan berakhirnya” kaidah berlaku); (2) Territorial sphere (daerah berlakunya kaidah); (3) Personal sphere (terhadap siapa kaidah berlaku);dan (4) materiel sphere ( soal-soal apa yang diatur dalam kaidah).[18]
Soerjono Soekanto dan Purnadi Purbacaraka berpendapat bahwa, lingkup berlakunya kaidah hukum ada 4 (empat) bidang yakni (1) lingkup laku wilayah (ruimtegebied); (2) lingkup laku pribadi (personengebied); (3) lingkup laku masa (tijdsgebied); dan (4) lingkup laku ihwal (zaaksgebied).[19]
Dari beberapa pendapat dan teori hukum yang dikemukakan tersebut, maka di bawah ini dipaparkan mengenai waktu mulai dan berakhirnya undang-undang atau peraturan hukum menurut hukum positip Indonesia.
Waktu berlakunya suatu undang-undang dapat diketahui apabila ditentukan tanggal mulai berlakunya dalam undang-undang itu sendiri, atau :
a. Pada saat diundangkan (Pasal 50 UU No. 10 Tahun 2004);
b. Pada tanggal tertentu;
c. Ditentukan berlaku surut (misalnya : Undang-undang No. 2 Tahun 1958 pasal VIII, Undang-undang No. 62 tahun 1958 pasal 8, Perpu No. 2 Tahun 2002).
Perpu No. 2 Tahun 2002 memberlakukan surut Perpu No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme tehadap peristiwa peledakan bom di Bali pada tanggal 12 Oktober 2002. Perpu No. 1 Tahun 2002 dan Perpu No. 2 Tahun 2002 diundangkan pada tanggal 18 Oktober 2002, dan pasal 4 Undang-undang No. 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan.
Pemberlakuan surut terhadap undang-undang bertentangan dengan pasal 28 I UUD 1945 yang menentukan bahwa “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, dst…...…., dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”. Selain itu juga bertentangan dengan asas hukum yang berlaku universal yakni asas ”non retro active” (bahwa undang-undang atau peraturan tidak berlaku surut) dan asas “legalitas” artinya suatu perbuatan tidak dapat dihukum atau dipidana, apabila tidak diatur lebih dahulu di dalam undang-undang.Pada dasarnya “undang-undang tidak dapat berlaku surut”, karena dapat menimbulkan ketidak adilan dan merugikan hak-hak hukum terhadap pihak yang terkena undang-undang atau peraturan itu. Tetapi apabila peraturan perundang-undangan itu tidak melanggar hak hukum dan tidak merugikan masyarakat, masih diperbolehkan adanya undang-undang berlaku surut.
d. Bahwa berlakunya undang-undang akan ditentukan di kemudian atau ditentukan kemudian oleh peraturan pelaksanaannya (Pasal 50 UU No. 10 Tahun 2004).Berakhirnya Undang-Undang dikarenakan :
a. ditentukan sendiri dalam undang-undang itu,
b. dicabut secara tegas oleh pembuat undang-undang atau oleh hakim,
c. undang-undang yang lama bertentangan dengan undang-undang yang baru; berlaku asas “lex posteriori derogat lex priori”,
d. timbulnya hukum kebiasaan yang bertentangan dengan undang-undang, sehingga undang-undang itu tidak ditaati oleh masyarakat;
e. bertentangan dengan yurisprudensi tetap; atau
f. suatu keadaan yang diatur oleh undang-undang sudah tidak ada lagi (misalnya yang diatur dalam undang-undang darurat tentang keadaan bahaya).Asas-asas Perundang-undangan
Ada beberapa asas-asas perundang-undangan antara lain :
a. Undang-undang tidak berlaku surut;
b. Undang-undang tidak dapat diganggu gugat (onschendbaar);
c. Undang-undang yang lebih tinggi mengesampingkan undang-undang yang lebih rendah;
d. Undang-undang yang bersifat khusus mengesampingkan undang-undang yang bersifat umum;
e. Undang-undang yang berlaku belakangan (baru) membatalkan undang-undang yang terdahulu (lama).
Ad. a. Undang-undang tidak berlaku surut.
Asas ini semula tercantum dalam Pasal 2 Algemene Bepalingen van Wetgeving (A.B.) yang menyatakan “De wet verbindt alleen voor het toekomen de en heeft geen terugwerkende kracht” artinya “undang-undang mengikat untuk masa yang akan datang dan tidak mempunyai kekuatan berlaku surut”.Asas ini dikenal dengan asas “non retro active” (undang-undang tidak boleh berlaku surut), atau asas “legalitas” misal dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP.
Pasal 1 ayat (1) KUHP menentukan “Tiada suatu perbuatan dapat dihukum, melainkan atas kekuatan ketentuan pidana yang diatur dalam undang-undang lebih dahulu” (Geen feit is strafbaar dan uit kracht van eene daaraan voorafgegane wettelijke strafbepaling). Artinya, tiada perbuatan dapat dipidana, kecuali atas dasar kekuatan suatu aturan perundang-undangan yang mendahului.
Pasal 1 ayat 1 KUHP, dikenal dengan asas “legalitas” dengan adagium “nullum delictum noella poena sine praevia lege poenale”
Adapun asas “non retro active” diatur di dalam Pasal 28 I UUD 1945 (pasca amandemen) dan Pasal 4 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Di dalam pasal 28 I UUD 1945 ditentukan bahwa “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa dst………., dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”.
Dalam pasal 4 UU HAM dinyatakan bahwa “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa dst…………., dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah Hak Asasi Manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun”.
Asas “legalitas” juga diatur dalam Pasal 6 ayat (1) UU. No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (UUKK) dan pasal 18 ayat (2) UU.No. 39 Tahun 1999 tentang HAM (UUHAM).
Tidak seorangpun dapat dihadapkan di depan pengadilan selain daripada yang ditentukan oleh undang-undang (Pasal 6 ayat (1) UUKK).
Ilmu hukum membedakan adanya 3 (tiga) hal berlakunya suatu norma hukum. Berlakunya norma hukum disebut “gelding” (bahasa Belanda) atau “geltung” (bahasa Jerman). Berlakunya hukum adalah sebagai berikut :
Pertama, berlaku secara “yuridis”, apabila penentuannya didasarkan pada kaedah yang lebih tinggi tingkatannya (Hans Kelsen).
Menurut Kelsen, suatu undang-undang atau peraturan berlakunya harus didasarkan pada norma dasar (grundnorm) yang lebih tinggi tingkatannya dan mendasar.[12] Oleh Hans Nawiasky disebut “staatsfundamentalnorm”.[13] Sedangkan oleh John Alder dikatakan bahwa, suatu undang-undang atau peraturan mempunyai kekuatan yuridis harus berdasarkan”basic principle” dan “general political and moral value”.[14]
Kaidah hukum mempunyai kekuatan yuridis, jikalau kaidah tersebut dibentuk menurut cara yang telah ditetapkan (W. Zevenbergen). [15] Kaidah hukum mengikat secara yuridis, apabila menunjukkan hubungan keharusan antara suatu kondisi dengan akibatnya (J.H.A. Logemann). [16]
Kedua, berlaku secara “sosiologis” artinya bahwa efektifitas kaidah hukum didasarkan pada “kekuasaan/penguasa” (machtstheorie), atau berlakunya kaidah hukum didasarkan adanya “pengakuan” atau diterima dan diakui dengan sendirinya oleh masyarakat (anerkennungstheorie); dan ketiga adalah berlaku secara ”filosofis” artinya sesuai dengan” rechts idea” atau cita-cita hukum sebagai nilai positif yang tertinggi.[17]
Bila kaidah hukum hanya berlaku secara yuridis, kemungkinan besar kaidah hukum akan berhenti bahkan mati (dode regel); apabila kaidah hukum hanya berlaku secara sosiologis, kemungkinan kaidah hukum menjadi aturan yang memaksa (dwangmaatregel), atau diabaikan masyarakat sehingga menimbulkan “anarchie” atau “chaos”. Apabila kaidah hukum hanya berlaku secara filosofis, kemungkinan hukum merupakan nilai-nilai moral yang dicita-citakan (ius constituendum) selamanya.
Menurut Hans Kelsen, selain berlakunya norma atau kaidah hukum harus berdasarkan pada “grundnorm”, juga harus memperhatikan “lingkungan kuasa kaidah-kaidah”. Lingkungan kuasa berlakunya kaidah itu ada 4 (empat) hal, yakni (1) Temporal sphere atau sphere of time (waktu “mulai dan berakhirnya” kaidah berlaku); (2) Territorial sphere (daerah berlakunya kaidah); (3) Personal sphere (terhadap siapa kaidah berlaku);dan (4) materiel sphere ( soal-soal apa yang diatur dalam kaidah).[18]
Soerjono Soekanto dan Purnadi Purbacaraka berpendapat bahwa, lingkup berlakunya kaidah hukum ada 4 (empat) bidang yakni (1) lingkup laku wilayah (ruimtegebied); (2) lingkup laku pribadi (personengebied); (3) lingkup laku masa (tijdsgebied); dan (4) lingkup laku ihwal (zaaksgebied).[19]
Dari beberapa pendapat dan teori hukum yang dikemukakan tersebut, maka di bawah ini dipaparkan mengenai waktu mulai dan berakhirnya undang-undang atau peraturan hukum menurut hukum positip Indonesia.
Waktu berlakunya suatu undang-undang dapat diketahui apabila ditentukan tanggal mulai berlakunya dalam undang-undang itu sendiri, atau :
a. Pada saat diundangkan (Pasal 50 UU No. 10 Tahun 2004);
b. Pada tanggal tertentu;
c. Ditentukan berlaku surut (misalnya : Undang-undang No. 2 Tahun 1958 pasal VIII, Undang-undang No. 62 tahun 1958 pasal 8, Perpu No. 2 Tahun 2002).
Perpu No. 2 Tahun 2002 memberlakukan surut Perpu No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme tehadap peristiwa peledakan bom di Bali pada tanggal 12 Oktober 2002. Perpu No. 1 Tahun 2002 dan Perpu No. 2 Tahun 2002 diundangkan pada tanggal 18 Oktober 2002, dan pasal 4 Undang-undang No. 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan.
Pemberlakuan surut terhadap undang-undang bertentangan dengan pasal 28 I UUD 1945 yang menentukan bahwa “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, dst…...…., dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”. Selain itu juga bertentangan dengan asas hukum yang berlaku universal yakni asas ”non retro active” (bahwa undang-undang atau peraturan tidak berlaku surut) dan asas “legalitas” artinya suatu perbuatan tidak dapat dihukum atau dipidana, apabila tidak diatur lebih dahulu di dalam undang-undang.Pada dasarnya “undang-undang tidak dapat berlaku surut”, karena dapat menimbulkan ketidak adilan dan merugikan hak-hak hukum terhadap pihak yang terkena undang-undang atau peraturan itu. Tetapi apabila peraturan perundang-undangan itu tidak melanggar hak hukum dan tidak merugikan masyarakat, masih diperbolehkan adanya undang-undang berlaku surut.
d. Bahwa berlakunya undang-undang akan ditentukan di kemudian atau ditentukan kemudian oleh peraturan pelaksanaannya (Pasal 50 UU No. 10 Tahun 2004).Berakhirnya Undang-Undang dikarenakan :
a. ditentukan sendiri dalam undang-undang itu,
b. dicabut secara tegas oleh pembuat undang-undang atau oleh hakim,
c. undang-undang yang lama bertentangan dengan undang-undang yang baru; berlaku asas “lex posteriori derogat lex priori”,
d. timbulnya hukum kebiasaan yang bertentangan dengan undang-undang, sehingga undang-undang itu tidak ditaati oleh masyarakat;
e. bertentangan dengan yurisprudensi tetap; atau
f. suatu keadaan yang diatur oleh undang-undang sudah tidak ada lagi (misalnya yang diatur dalam undang-undang darurat tentang keadaan bahaya).Asas-asas Perundang-undangan
Ada beberapa asas-asas perundang-undangan antara lain :
a. Undang-undang tidak berlaku surut;
b. Undang-undang tidak dapat diganggu gugat (onschendbaar);
c. Undang-undang yang lebih tinggi mengesampingkan undang-undang yang lebih rendah;
d. Undang-undang yang bersifat khusus mengesampingkan undang-undang yang bersifat umum;
e. Undang-undang yang berlaku belakangan (baru) membatalkan undang-undang yang terdahulu (lama).
Ad. a. Undang-undang tidak berlaku surut.
Asas ini semula tercantum dalam Pasal 2 Algemene Bepalingen van Wetgeving (A.B.) yang menyatakan “De wet verbindt alleen voor het toekomen de en heeft geen terugwerkende kracht” artinya “undang-undang mengikat untuk masa yang akan datang dan tidak mempunyai kekuatan berlaku surut”.Asas ini dikenal dengan asas “non retro active” (undang-undang tidak boleh berlaku surut), atau asas “legalitas” misal dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP.
Pasal 1 ayat (1) KUHP menentukan “Tiada suatu perbuatan dapat dihukum, melainkan atas kekuatan ketentuan pidana yang diatur dalam undang-undang lebih dahulu” (Geen feit is strafbaar dan uit kracht van eene daaraan voorafgegane wettelijke strafbepaling). Artinya, tiada perbuatan dapat dipidana, kecuali atas dasar kekuatan suatu aturan perundang-undangan yang mendahului.
Pasal 1 ayat 1 KUHP, dikenal dengan asas “legalitas” dengan adagium “nullum delictum noella poena sine praevia lege poenale”
Adapun asas “non retro active” diatur di dalam Pasal 28 I UUD 1945 (pasca amandemen) dan Pasal 4 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Di dalam pasal 28 I UUD 1945 ditentukan bahwa “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa dst………., dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”.
Dalam pasal 4 UU HAM dinyatakan bahwa “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa dst…………., dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah Hak Asasi Manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun”.
Asas “legalitas” juga diatur dalam Pasal 6 ayat (1) UU. No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (UUKK) dan pasal 18 ayat (2) UU.No. 39 Tahun 1999 tentang HAM (UUHAM).
Tidak seorangpun dapat dihadapkan di depan pengadilan selain daripada yang ditentukan oleh undang-undang (Pasal 6 ayat (1) UUKK).
No comments:
Post a Comment