Makalah Tokoh Islam Al-Farabi

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Al-Farabi merupakan filosof kedua setelah Aristoteles. Dimana dalam kehidupannya, Al-Farabi selalu menimba ilmu pengetahuan baik ilmu agama maupun umum. Pendidikan bagi Al-Farabi adalah sesuatu yang pantas untuk diperjuangkan. Dalam usaha ingin memperbaiki keadaan negerinya beliau melahirkan suatu ide tentang pendidikan yang didasarkan oleh filsafat Plato dan Aristoteles. Dengan kegigihannya dalam berbagai ilmu, Al-Farabi mampu disebut dengan ahli filsafat. Dimana filsafat Al-Farabi lebih islami dan sesuai dengan Al-Qur’an.
Al-Farabi juga sangat menginginkan bangsanya dapat bergulat dalam hidup, sehingga membawanya pada kemampuan untuk melihat realitas yang sesungguhnya. Oleh karena itu, beliau membuat suatu pemikiran konsep pendidikan dan pemikiran-pemikiran lainnya seperti rekonsiliasi Al-Farabi, pemikiran ketuhanan, pemikiran kenabian, pemikiran kenegaraan, pemikiran tentang jiwa, pemikiran akal dan emanasi.
Untuk lebih jelasnya mengenai hal-hal diatas, maka dalam makalah ini penulis akan mengulas mengenai riwayat hidup (biografi), pemikiran/ gagasan, serta karya-karya dari Al-Farabi.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana riwayat hidup Al-Farabi?
2.      Bagaimana gagasan/ pemikiran Al-Farabi?
3.      Apa saja karya-karya Al-Farabi?
C.    Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui riwayat hidup Al-Farabi.
2.      Untuk mengetahui gagasan/ pemikiran Al-Farabi
3.      Untuk mengetahui karya-karya Al-Farabi.


BAB II              
PEMBAHASAN
A.    Riwayat Hidup Al-Farabi
Nama lengkap Al-Farabi adalah Abu Nashr Muhammad ibnu Muhammad ibnu Tarkhan ibnu Auzalagh. Beliau dilahirkan di Wasij, Distrik Farab, Turkistan pada tahun 257 H/ 870 M. Ayahnya seorang jendral berkebangsaan Persia dan ibunya berkebangsaan Turki. Oleh sebab itu, terkadang beliau dikatakan keturunan Persia dan terkadang beliau disebut keturunan Turki. Akan tetapi, sesuai ajaran islam yang mendasarkan keturunan pada pihak ayah, maka lebih tepat beliau disebut keturunan Persia. Sebutan Al-Farabi sendiri diambil dari nama kota dimana beliau dilahirkan, yakni kota Farab.
Kendatipun Al-Farabi merupakan orang terkemuka dikalangan filosof muslim, ternyata informasi tentang dirinya sangat terbatas. Beliau tidak merekam liku-liku kehidupannya, begitu juga murid-muridnya. Menurut beberapa literatur, Al-Farabi dalam usia 40 tahun pergi ke Baghdad, sebagai pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan dunia dikala itu. Beliau belajar kaidah-kaidah Bahasa arab kepada Abu Bakar Al-Saraj dan belajar logika serta filsafat kepada orang Kristen yakni Abu Bisyr Mattius ibnu Yunus. Kemudian, beliau pindah ke Harran, pusat kebudayaan Yunani di Asia Kecil dan berguru kepada Yuhanna ibnu Jailan. Akan tetapi, tidak berapa lama beliau kembali ke Baghdad untuk memperdalam ilmu filsafat. Selama di Baghdad beliau banyak menggunakan waktunya untuk berdiskusi, mengajar, mengarang, dan mengulas buku-buku filsafat. Diantara muridnya yang terkenal adalah Yahya ibnu Adi, seorang filosof Kristen.
Pada tahun 330 H/ 945 M, beliau pindah ke Damaskus, Syria dan berkenalan dengan Saif Al-Daulah Al-Hamdani, Sultan Dinasti Hamdan di Aleppo. Sultan tampaknya sangat terkesan dengan kealiman dan keintelektualan Al-Farabi, sehingga beliau diberikan kedudukan yang baik dan diajak turut serta dalam suatu pertempuran untuk merebut kota Damaskus. Kemudian beliau menetap di kota ini sampai wafatnya pada tahun 337 H/ 950M pada usia 80 tahun.[3]
Mengenai tempat wafatnya Al-Farabi, Ibn Usaibi’ah menyebutkan bahwa Al-Farabi wafat di Mesir, hal ini dikarenakan Al-Farabi mengunjungi Mesir menjelang akhir hayatnya. Hal ini sangat mungkin, karena Mesir dan Syria mempunyai hubungan yang kuat disepanjang rentangan sejarah yang cukup panjang, dan kehidupan kebudayaan Mesir pada masa Thuluniyyah dan Ikhsyidiyyah yang memang mempunyai pesona yang luar biasa. Tetapi tersiarnya kabar tentang terbunuhnya Al-Farabi oleh beberapa perampok dalam perjalanannya antara Damaskus- Asqalan sebagaimana dikutip Al-Baihaqi adalah rekaan belaka. Hal ini dikarenakan Al-Farabi mencapai posisi yang sangat terpuji di Istana Sa’if al-Daulah, sampai-sampai sang Raja bersama para pengikut dekatnya mengantarkan jenazahnya ke pemakaman sebagai penghormatan atas kematian seorang sarjana terkemuka.[4]
Sebagaimana filosof Yunani, Al-Farabi menguasai berbagai disiplin ilmu. Keadaan ini didukung oleh ketekunan dan kerajinannya serta ketajaman otaknya. Berdasarkan karya tulisnya, filosof muslim keturunan Persia ini menguasai matematika, kimia, astronomi, musik, ilmu alam, logika, filsafat, bahasa, dan lain-lain. Khusus bahasa, menurut suatu riwayat, Al-farabi menguasai 70 bahasa. Menurut Ibrahim Madkur, riwayat ini lebih mendekati dongeng dibandingkan kenyataan yang sebenarnya. Agaknya penilaian Madkur ini dapat dibenarkan karena Bahasa yang berkembang dikala itu, termasuk Bahasa ibu Al-Farabi sendiri tidak akan cukup 70 macam.[5]
Al-Farabi adalah seorang tabib yang ternama, seorang ahli ilmu pasti dan seorang filosof yang ulung. Beliau juga terkenal sebagai seorang ahli dalam Bahasa-bahasa Yunani, Arab, Persia, Suria dan Turki. Beliau melebihi Al-Kindi, baik dalam memberi penjelasan dan tafsir umum maupun dalam menerjemahkan dan menusun kembali kitab-kitab filsafat Yunani. Dengan demikian, beliau dianggap sebagai komentator yang paling terpelajar dan tajam pada karya-karya Aristoteles.[6]
Al-Farabi benar-benar memahami filsafat Aristoteles, yang dijiluki al-Mu’alim al-Awwal (Guru Pertama), sihingga tidak mengherankan bila Ibnu Sina yang menyandang predikat al-Syeikh al-Ra’is (Kiyai Utama) mendapatkan kunci dalam memahami filsafat Aristoteles dari buku Al-Farabi yang berjudul fi Aghradhi ma ba’ad al-Thabi’at.
Al-Farabi dalam dunia intelektual islam mendapat kehormatan dengan julukan al-Mu’allim al-Sany (Guru Kedua). Penilaian ini dihubungkan dengan jasanya sebagai penafsir yang baik dari logika Aristoteles. Oemar Amin Hoesin berargumen, seolah-olah Aristoteles dalam dunia filsafat telah usai dan tugas kedua diemban Al-Farabi sebagai guru kedua. Agaknya kedua versi diatas dapat diterima karena filsafat Yunani dapat dikatakan telah lenyap dari peredaran dan Al-Farabi lah pelanjut dan pengembangnya, tetapi alasan logika lebih dominan.[7]
B.     Gagasan/ Pemikiran Al-Farabi
1.      Konsep Dasar Pendidikan Menurut Ibnu Al-Farabi
Menurut Al-Farabi pendidikan merupakan media untuk mendapatkan serangkaian nilai, pengetahuan, serta keterampilan praktis bagi individu dalam periode dan budaya tertentu guna membimbing individu menuju kesempurnaan. Karena manusia yang sempurna menurut Al-Farabi sebagaimana telah dipaparkan oleh Professor Ammar Al-Talbi dalam tulisannya yang berjudul “Al-Farabi’s Doctrine of Education: Between Philosophy and Sociological Theory”, adalah mereka yang telah mengetahui kebajikan secara teoritis dan menjalankannya dalam praktik keseharian.
Pendidikan menurut Al-Farabi harus menggabungkan antara teoritis dari belajar yang diaplikasikan dan tindakan praktis. Menurutnya, kesempurnaan manusia terletak pada tindakannya yang sesuai dengan teori yang dipahaminya. Ilmu tidak akan memiliki arti kecuali jika ilmu itu dapat diterapkan dalam kenyataan pada masyarakat. Karenanya, jika ilmu tidak diterapkan maka ilmu tidak akan berguna.
Penekanan pendidikan dalam pandangan Al-Farabi adalah akal budi. Ia menyarankan bahwa anak yang bertabiat tidak baik dapat diluruskan dengan cara penanaman pendidikan akhlak. Untuk anak yang tingkat intelegensinya rendah dapat dicerdaskan melalui metode yang diberikan secara berulang-ulang. Sedangkan untuk anak yang cerdas dan bertabiat baik, menurut Al-Farabi, hendaknya disikapi dengan penuh penghargaan. Karena bagaimanapun menurutnya, yang harus diprioritaskan bagi setiap anak adalah pembinaan akhlak. Sebab, akhlak merupakan modal dasar untuk segala macam disiplin ilmu lainnya.
Menurut Al-Farabi metode dalam mengajar ada dua macam, Pertama, untuk menimbulkan rasa keshalehan dan mengamalkan ilmu seperti metode yang meyakinkan, yaitu bahwa murid harus mengakuinya sebagai miliknya dan mengamalkannya secara spontan. Kedua, seorang guru harus menggunakan metode pemaksaan yang ditujukan untuk mereka yang tidak merasa memiliki perasaan sebagai penduduk dan mereka yang tidak memiliki kesadaran terhadap keberadaan dirinya.
Sedangkan tujuan pembelajaran menurut Al-Farabi yaitu sesuai dengan fungsi setiap ilmu, dan sesuai dengan partisipasinya dalam pendidikan manusia ; ilmu mantiq (logika) berfungsi untuk membangun akal dan menguatkan manusia; ilmu alam memandang  tubuh yang alamiah dan dalam pertumbuhannya, serta sebab-sebab kekuatanya; tujuan ilmu ketuhanan adalah memerangi prasangka yang jelek, yang menyangka bahwasanya Allah SWT memiliki kekurangan dalam perbuatan-Nya dan dalam eksistensi penciptaanya; ilmu kenegaraan membahas tentang pembagian kerja (jonb description) dan peraturan kekuasaan, serta tentang kerajaan dan etika, dengan tujuan utamanya adalah membahagiaakan masyarakat.
Terkait dengan berbagai tujuan tersebut, Al-Farabi membatasi pemahaman kurikulum dengan ilmu pembahasan utama, dan dalam setiap pembahasan terdapat tahapan dari berbagai ilmu, yaitu : pertama, ilmu speaking dan berbagai macamnya ; kedua, ilmu logika dengan berbagai macamnya; ketiga, ilmu pendidikan yang mencakup ilmu hitung, arsitek, ilmu debat, ilmu perbintangan, ilmu pembelajaran, musik,  dan yang lainnya; keempat, ilmu alam dengan berbagai macamnya dan ilmu ketuhanan dengan berbagai macamnya; dan kelima, ilmu kenegaraan dengan dengan berbagai macamnya, ilmu fiqih dan ilmu kalam.
2.      Rekonsiliasi Al-Farabi
Al-Farabi telah berhasil merekonsiliasikan beberapa ajaran filsafat sebelumnya, seperti Plato dan Aristoteles dan juga antara agama dan filsafat. Oleh karena itu, ia dikenal filosof sinkretisme yang mempercayai kesatuan filsafat.[8]
Al-Farabi berhasil menyusun dasar-dasar falsafat atas keyakinan tauhid menurut islam. Beliaulah yang mula-mula menyatakan bahwa tidak ada perbedaan antara filsafat Plato dengan filsafat Aristoteles, karena meskipun berlainan kedua jalan pikirannya, tetapi bersatu dalam tujuan dan hakekatnya.[9] Pendiriannya ini Nampak jelas pada karangan-karangannya, terutama dalam buku yang berjudul Al-Jam’u baina Ra’yai al-Hakimain (Penggabungan Pikiran Kedua Filosof, Plato dan Aristoteles).[10]
Cara Al-Farabi menyatukan kedua filosof diatas ialah dengan memajukan pemikiran masing-masing filosof yang cocok dengan pemikirannya. Seperti dalam membicarakan masalah ide yang menjadikan bahan polemik antara Aristoteles dan Plato. Filosof yang disebut pertama tidak dapat membenarkannya, karena menurutnya alam ide hanya ada dalam pikiran. Sedangkan filosof yang disebut kedua mengakui adanya dan berdiri sendiri.
Untuk mempertemukan kedua filosof ini, Al-Farabi menggunakan Interpretasi batini, yakni dengan menggunakan takwil bila ia menemui pertentangan pikiran antara keduanya. Kemudian ia tegaskan lebih lanjut, sebenarnya Aristoteles mengakui alam rohani yang terdapat diluar alam ini dan perkataannya yang mengingkari alam rohani tersebut masih dapat ditakwilkan. Jadi, kedua filosof tersebut sama-sama mengakui adanya ide-ide pada dzat Allah.
Sebenarnya, Al-Farabi telah keliru menganggap tidak terdapat perbedaan Antara Aristoteles dengan Plato. Letak kekeliruannya adalah ketika beliau menduga bahwa buku Theologia (al-Rububiyyat) merupakan karangan Aristoteles, padahal sesungguhnya buku tersebut adalah karya Plotinus, yang berisikan penetapan alam ide yang terletak bukan pada benda. Dengan demikian, pada hakikatnya Al-Farabi merekonsiliasikan antara Plato dan Plotinus, bukan antara Plato dan Aristoteles.[11]
Disamping itu, terlihat pula usaha Al-Farabi merekonsiliasikan antara agama dan filsafat. Filsafat dan agama baginya dua perkara yang bersatu padu, dan tidak dapat dipisahkan, karena keduanya mencari dan menuju kepada kebenaran, dan antara kebenaran tidak ada perbedaan. Beliau berpendapat bahwa filsafat dan agama berdasarkan atas kebenaran, yang ditinjau dari sudut yang berlainan. Masing-masing menempuh cara dan jalan tersendiri, filsafat menuju kepada kebenaran menempuh jalan yang berlainan dengan jalan yang ditempuh agama. Sementara agama menempuh jalan wahyu dan kebersihan diri, filsafat menempuh jalan pemikiran dan dasar logika, sementara filsafat membuahkan hakekat untuk suatu golongan ahli pikir, agama membuahkan kebenaran untuk seluruh manusia.[12]
Oleh karena itu, menurut Al-Farabi tidaklah berbeda Antara kebenaran yang disampaikan oleh para nabi dengan kebenaran yang dimajukan filosof, dan Antara ajaran islam dengan filsafat Yunani. Akan tetapi, hal ini tidak berarti Al-Farabi menerima kelebihan filsafat dari agama.[13]
3.      Pemikiran Ketuhanan
Al-Farabi dalam pembahasan tentang ketuhanan mengompromikan Antara filsafat Aristoteles dan Neo-Platonisme, yakni Al-Maujud al-Awwal (Wujud Pertama) sebagai sebab pertama bagi segala yang ada. Konsep ini tidak bertentangan dengan keesaan yang mutlak dalam ajaran islam.
Dalam membuktikan adanya Allah Al-Farabi mengemukakan dalil Wajib al-Wujud dan mumkin al-wujud. Menurutnya segala yang ada ini hanya dua kemungkinan dan tidak ada alternative yang ketiga, yakni wajib al-Wujud dan mumkin al-wujud.
Adapun yang dimaksud dengan wajib al-wujud adalah wujudnya tidak boleh tidak mesti ada, ada dengan sendirinya, karena natur-nya sendiri yang menghendaki wujudnya. Esensinya tidak dapat dipisahkan dari wujud, keduanya adalah sama dan satu. Ia adalah wujud yang sempurna dan adanya tanpa sebab dan wujudnya tidak terjadi karena lainnya. Ia ada selamanya dan tidak didahului oleh tiada. Jika wujud ini tidak ada, maka akan timbul kemustahilan karena wujud lain untuk adanya bergantung kepadanya. Wajib al-wujud inilah yang disebut dengan Allah. Sementara yang dimaksud dengan mumkin al-wujud ialah sesuatu yang sama Antara berwujud dan tidak.
Tentang sifat-sifat Allah Al-Farabi sejalan pendapatnya dengan Mu’azilah, yakni sifat Allah tidak berbeda dengan zat-Nya (substansi-Nya). Allah, bagi Al-Farabi adalah ‘Aql murni. Ia Esa adanya dan yang menjadi objek pemikiran-Nya hanya substansi-Nya. Ia tidak memerlukan sesuatu yang lain untuk memikirkan substansi-Nya, tetapi cukup substansi-Nya sendiri. Jadi Allah adalah ‘Aql, ‘Aqil, dan Ma’qul (Akal, substansi yang berpikir, dan substansi yang dipikirkan).
Tentang ilmu Allah, pemikiran Al-Farabi terpengaruh oleh Aristoteles yang mengatakan bahwa Allah tidak mengetahui dan tidak memikirkan alam. Pemikiran ini dikembangkan Al-Farabi dengan mengatakan bahwa Allah tidak mengetahui yang juz’iyyati (particular). Menurutnya, bahwa pengetahuan Allah tentang yang rinci tidak sama dengan pengetahuan manusia. Pengetahuan-Nya tentang juz’i tidak secara langsung, melainkan lewat kulli sebagai sebab bagi yang juz’i.
Al-Farabi juga mengemukakan ayat-ayat Al-Qur’an dalam rangka menyucikan Allah dari bersifat. Ayat-ayat tersebut ialah surat Asy-Syura: 42 dan surat As-Shaffat: 180.
Tentang asma al-husna, menurut Al-Farabi kita boleh saja menyebutkan nama-nama tersebut sebanyak yang kita inginkan tetapu nama tersebut tidak menunjukan adanya bagian-bagian pada dzat Allah atau sifat-sifat yang berbeda dari dzat-Nya.[14]
4.      Emanasi
Faktor yang mendorong Al-Farabi mengemukakan emanasi ini tampaknya Al-Farabi ingin menegaskan tentang keesaan Allah, bahkan melebihi Al-Kindi.
Emanasionisme Al-Farabi adalah cangkokan doktrin Plotinus yang dikombinasikan dengan system kosmologi Ptalomeus sehingga menimbulkan kesan bahwa Al-Farabi hanya mengalihbahasakan dari Bahasa sebelumnya kedalam Bahasa arab. Menurut Nurcholish Madjid, Al-Farabi mempelajari dan mengambil ramuan asing ini terutama karena paham ketuhanannya memberikan kesan tauhid.[15]
Emanasi melahirkan alam kadim dari segi zaman (taqaddum zamany), bukan dari segi dzat (taqaddum zaty). Karena alam dijadikan Allah secara emanasi sejak azali tanpa diselangi oleh waktu, namun ia sebagai hasil ciptaan, berarti ia baharu.
Struktur emanasi Al-Farabi dipengaruhi oleh temuan saintis saat itu, yakni Sembilan planet dan satu bumi. Karenanya, beliau membutuhkan sepuluh akal, setiap satu akal mengurusi satu planet termasuk bumi.[16]
5.      Pemikiran Kenabian
Filsafat kenabian Al-farabi erat kaitannya Antara nabi dan filosof dalam kesanggupannya untuk mengadakan komunikasi dengan akal fa’al. Motif lahirnya filsafat Al-Farabi ini disebabkan adanya pengingkaran terhadap eksistensi kenabian secara filosofis oleh Ahmad ibn Ishaq Al-Ruwandi.
Al-Farabi adalah filosof muslim pertama yang mengemukakan filsafat kenabian secara lengkap, sehingga hamper tidak ada penambahan oleh filosof-filosof sesudahnya. Filsafat ini didasarkan pada psikologi dan metafisika yang erat hubungannya dengan ilmu politik dan etika.
Menurut Al-Farabi, manusia dapat berhubungan dengan akal fa’al (Jibril) melalui dua cara, yakni penalaran atau renungan pemikiran dan imajinasi atau inspirasi (ilham). Cara pertama hanya dapat dilakukan oleh para filosof yang dapat menembus alam materi dan dapat mencapai cahaya ketuhanan, sedangkan cara kedua hanya dapat dilakukan oleh nabi.
Jadi ciri khas seorang nabi oleh Al-Farabi ialah mempunyai daya imajinasi yang kuat dan ketika berhubungan dengan akal fa’al ia dapat menerima visi dan kebenaran-kebenaran dalam bentuk wahyu. Wahyu tidak lain adalah limpahan dari Allah melalui akal fa’al (akal kesepuluh) yang dalam penjelasan Al-Farabi adalah Jibril. Sementara filosof dapat berkomunikasi dengan Allah melalui akal perolehan yang telah terlatih dan kuat daya tangkapnya sehingga sanggup menangkap hal-hal yang bersifat abstrak murni dari akal kesepuluh.
Oleh karena itu, setiap nabi adalah filosof dan tidak setiap filosof adalah nabi. Akan tetapi filosof tidak bisa menjadi nabi, yang selamanya nabi tetap manusia pilihan Allah.
Al-Farabi menekankan bahwa kebenaran wahyu tidak bertentangan dengan pengetahuan filsafat sebab Antara keduanya sama-sama mendapatkan dari sumber yang sama, yakni akal fa’al. demikian pula tentan mukjizat sebagai bukti kenabian, menurut Al-Farabi, dapat terjadi dan tidak bertentangan dengan hukum alam karena sumber hukum alam dan mukjizat sama-sama berasal dari akal kesepuluh sebagai pengatur dunia ini.[17]
6.      Pemikiran Kenegaraan
Al-Farabi dalam bukunya Ara’u Ahl al-Madinah al-Fadhilah (Negara Utama) memperbandingkan masyarakat dengan badan manusia.[18] Masyarakat yang sudah lengkap bagian-bagiannya diibaratkan sebagai organisme tubuh manusia dengan anggotanya yang lengkap. Masing-masing organ tubuh harus bekerja sesuai dengan fungsinya. Apabila satu organ tubuh sakit, organ tubuh yang lain akan merasakan penderitaan dan akan menjaganya. Demikian pula anggota masyarakat Negara Utama, yang terdiri dari warga yang berbeda kemampuan dan fungsinya, hidup saling membantu atau dengan kata lain senasib dan sepenanggungan. Masing masing harus diberikan pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan dan spesialisasi mereka. Dengan kata lain, saling membantu dan bekerjasama bukan hanya antar warga Negara, tetapi juga antar Negara dan warganya.[19]
Al-Farabi menegaskan bahwa Negara yang utama ialah Negara yang memperjuangkan kemakmuran dan kebahagiaan warga negaranya.[20]
Pokok filsafat kenegaraan Al-Farabi ialah autokrasi dengan seorang raja yang berkuasa mutlak mengatur Negara. Menurut beliau Negara yang utama ialah kota (Negara) yang warga-warganya tersusun menurut susunan alam besar (makrokosmos) atau menurut susunan alam kecil (mikrokosmos). Didalam Negara yang terpenting adalah kepala Negara. Dimisalkannya dengan hati, yaitu yang terpenting dalam diri manusia. Karena hati adalah unsur badan manusia yang paling sempurna, maka kepala Negara juga haruslah dipilih orang yang paling sempurna dari semua warga Negara.
Mengenai etika kenegaraan, Al-Farabi mengemukakan suatu ide yang mengemukakan bahwa dalam tiap keadaan ada unsur pertentangan. Hal itu seperti dalam alam, yang kuat berarti lebih sempurna dari yang lemah.[21]
7.      Pemikiran Jiwa
Bagi Al-Farabi jiwa manusia mempunyai daya-daya sebagai berikut:
a.       Daya al-Muharrikat (gerak), daya ini yang mendorong untuk makan, memelihara, dan berkembang.
b.      Daya al-Mudrikat (mengetahui), daya ini yang mendorong untuk merasa dan berimajinasi.
c.       Daya al-Nathiqat (berpikir), daya ini yang mendorong untuk berpikir secara teoritis dan praktis.
8.      Pemikiran/ Teori tentang Akal
Teori Al-Farabi tentang akal, didasarkan pada Aristoteles. Al-Farabi secara tegas menyatakan bahwa teorinya itu bertumpu pada bagian ketiga dari De Anima-nya Aristoteles, tetapi beliau sendiri mempunyai andil dalam teori ini. Konsepsinya tentang akal berbeda dari Aristoteles, karena teori itu hamper tercirikan dengan intelegensi-intelegensi yang terpisah, dan bertindak sebagai penghubung antara pengetahuan manusia dan wahyu. Dengan demikian, berbeda dari teori Alexander dari Aphrodisias dan al-Kindi, dan itu adalah hasil dari kecenderungan mistis Al-Farabi dan penyandarannya pada sistem Plotinus.
C.    Karya-karya Al-Farabi
Al-Farabi meninggalkan sejumlah besar tulisan yang penting. Karya Al-Farabi ini dapat dibagi menjadi dua, pertama mengenai bidang logika, dan kedua mengenai bidang lain. Karya-karya tentang logika menyangkut bagian-bagian berbeda dari organon-nya Aristoteles, baik yang berbentuk komentar maupun ulasan panjang. Kebanyakan tulisan ini masih berupa naskah. Sedangkan karya-karya kelompok kedua menyangkut berbagai cabang pengetahuan filsafat, fisika, matematika, metafisika, etika dan politik. Didalam kelompok ini, studi ilmiah yang sebenarnya tidak dilakukan, Al-Farabi malah tidak menyinggung masalah kedokteran dan pembahasannya tentang kimia, tetapi cenderung sekedar mempertahankan pendapat daripada bentuk penelitian dan analistis.[22]
Jika ditinjau dari ilmu pengetahuan, karya-karya Al-Farabi dapat ditinjau menjadi 6 bagian, yaitu:
1.      Logika
2.      Ilmu-ilmu Matematika
3.      Ilmu Alam
4.      Theologi
5.      Ilmu Politik dan Kenegaraan
6.      Bunga Rampai (Kutub Munawa’ah)
Karangan Al-Farabi tidak kurang dari 128 buah kitab, yang kebanyakan mengenai filsafat Yunani. Dalam karyanya Ihsan ul-Ulum (Ecyclopedia of Science), beliau memberikan suatu tinjauan umum dari segala sains. Buku ini terkenal di Barat sebagai De Scientiis dari terjemahan Latin oleh Gerard Cremona.
Sebagian besar karangan Al-Farabi terdiri dari ulasan dan penjelasan terhadap Aristoteles, Plato, dan Galenus dalam bidang-bidang logika, fisik, dan metafisika. Meskipun banyak tokoh filsafat yang diulas pemikirannya, namun beliau lebih terkenal sebagai pengulas Aristoteles.
Diantara karangan-karangannya ialah:
1.      Aghdlu ma Ba’da at-Thabi’ah (Intisari Buku Metafisika).
2.      Al-Jam’u baina Ra’yai al-Hakimain (Mempertemukan Pendapat Kedua Filosof; Plato dan Aristoteles).
3.      Tahsil As-Sa’adah (Mencari Kebahagiaan).
4.      ‘Uyun ul-Masail (Pokok-pokok Persoalan).
5.      Ara-u Ahl al-Madinah al-Fadhilah (Pikiran-pikiran Penduduk Kota Utama Negeri Utama).
6.      Ihsha’u al-Ulum (Statistik Ilmu).[23]
7.      Risalat fi Isbat al-Mufaraqat.
8.      Maqalat fi Ma’any al-‘Aql.
9.      Fushul al-Hukm.
10.  Al-Siyasat al-Madaniyyat.
11.  Risalat al-‘Aql dan lain-lain.[24]
Dalam buku Ihsha’u al-Ulum, Al-Farabi membicarakan macam-macam ilmu dan bagiannya, yaitu ilmu-ilmu Bahasa (ilm al-lisan), ilmu mantik, ilmu matematika (at-taalim), ilmu fisika (al-ilm at-tabi’), ilmu ketuhanan (al-ilm al-illahi), ilmu kekotaan, politik, ilmu fiqh (ilm al-fiqh), dan ilmu kalam. Nampaknya ilmu-ilmu tersebut telah dikemukakan oleh orang-orang sebelumnya. Hanya saja Al-Farabi menambahkan dua cabang ilmu lagi, yaitu ilmu fiqh dan ilmu kalam, sebagai ilmu-ilmu keislaman yang mendapat perhatian besar pada masanya.[25]
Ibn Khalikan berpendapat bahwa Al-Farabi menulis hampir semua bukunya di Baghdad dan Damaskus. Tidak terdapat tanda-tanda bahwa ia pernah menulis buku pada usia sebelum lima puluh tahun. Beberapa sarjana telah berusaha menulis daftar kronologis karya-karyanya, tetapi orang dapat menyangsikan nilai daftar seperti itu, karena seluruh karyanya ditulis pada tiga puluh tahun terakhir dari masa hidupnya ketika ia mulai menulis sebagai filosof yang sepenuhnya telah matang dan tentu tidak diperoleh suatu perubahan atau perkembangan dalam pemikiran atau doktrinnya selama periode ini.
Langgam Al-Farabi bersifat ringkas dan tepat. Beliau secara hati-hati memilih kata-kata dan pernyataan-pernyataannya, sebagaimana ketika beliau secara mendalam memikirkan pendapat-pendapat dan pemikiran-pemikirannya. Ungkapan-ungkapannya mempunyai arti yang menghunjam. Al-Farabi mempunyai langgam yang istimewa, siapapun yang terbiasa dengannya, akan mengakui hal ini. Beliau menghindari pengulangan dan penambahan yang berlebihan serta lebih senang dengan hal-hal yang ringkas.
Metode yang beliau pakai hampir sama dengan langgam yang dimilikinya. Beliau mengumpulkan dan menggeneralisasi, menyusun dan menyelaraskan, menganalisis untuk menulis, membagi dan membagi lagi agar terpusat dan terkelompokkan. Dalam beberapa tulisannya, pembagian dan penggolongan tampak hanya sebagai tujuan belaka.
Karya-karya Al-Farabi tersebar luas di Timur pada abad ke-4 dan 5 H/ ke-10 dan 11 M, dan mungkin mencapai Barat ketika sarjana-sarjana Andalusia menjadi pengikut Al-Farabi. Beberapa tulisannya juga telah diterjemahkan kedalam Bahasa Yunani dan Latin, serta telah mempengaruhi sarjana Yahudi dan Kristen. Karya-karya ini telah diterbitkan pada sepuluh tahun terakhir abad ke-13 H/ ke-19 M, dan beberapa diantaranya diterjemahkan kedalam berbagai Bahasa Eropa modern.[26]


BAB III
ANALISIS PEMIKIRAN DAN KARYA AL-FARABI

Menurut pendapat saya, pemikiran Al-Farabi mengenai pendidikan, sangat sesuai dengan konsep pendidikan yang berjalan saat ini, yakni dengan mengedepankan pendidikan akhlak atau sering disebut pendidikan karakter. Saya pun setuju dengan pendapat beliau, karena akhlak merupakan modal dasar untuk berbagai disiplin ilmu lainnya, maka dari itu akhlak peserta didik sangat perlu dibina. Secerdas apapun peserta didik, jika dia memiliki akhlak yang tidak baik, maka dia akan memanfaatkan kecerdasannya itu pada hal-hal yang negatif dan merugikan, baik bagi dirinya maupun orang lain.
Selain itu, menurut Al-Farabi pendidikan harus menggabungkan antara teoritis dari belajar yang diaplikasikan dan tindakan praktis atau dalam kata lain harus seimbang antara pemahaman dengan pengaplikasian. Mengenai hal ini pun saya sependapat dengan beliau, karena memang ilmu itu harus diamalkan/ diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, jika ilmu tidak diamalkan, maka ilmu tersebut tidak akan barokah dan dapat dikatakan tidak memiliki arti atau tidak berguna.
Selain dalam pendidikan secara umum, pemikiran Al-Farabi sangat kental dalam ilmu filsafat. Pemikirannya dalam bidang filsafat dipengaruhi oleh filsafat Aristoteles, Plato, dan Plotinus. Namun meskipun begitu, beliau telah berhasil mengembangkan dan memperdalamnya sehingga dapat dikatakan hasil filsafatnya sendiri. Beliau juga menciptakan filsafat sendiri yang belum dibicarakan oleh filosof Yunani. Dengan demikian, beliau telah berhasil menciptakan filsafat Islam yang mempunyai ciri khas sendiri. Filsafat Al-Farabi juga begitu kompleks, sehingga apa yang dibicarakan oleh filosof muslim sesudahnya hampir sudah pernah disinggung oleh Al-Farabi. Pemikiran Al-Farabi juga mempunyai gagasan-gagasan yang modern dan kontemporer, sehingga dapat juga diaplikasikan pada zaman sekarang ini.
Karya-karya Al-Farabi, cenderung sekedar mempertahankan pendapat daripada bentuk penelitian dan analistis, sehingga karya-karyanya kurang bersifat ilmiah. Namun meskipun begitu, karya-karyanya tersebut bersifat ringkas dan tepat sehingga dapat lebih mudah dipahami.
Al-Farabi memiliki keinginan serta kekuatan dalam berfilsafat, namun disamping itu Al-Farabi juga memiliki kelemahan dalam politik kenegaraan, hal ini disebabkan karena beliau lebih sibuk dalam urusan menimba ilmu pengetahuan untuk mengembangka ilmu-ilmunya. Maka dari itu, sebaiknya beliau lebih ikut serta dalam kegiatan kenegaraan. Karena sebagaimana kita ketahui bahwa kiita hidup dan tinggal dalam wilayah suatu Negara yang memiliki pemerintahan.
                                                         


BAB IV
PENUTUP
A.    Kesimpulan
1.      Nama lengkap Al-Farabi adalah Abu Nashr Muhammad ibnu Muhammad ibnu Tarkhan ibnu Auzalagh. Al-Farabi dilahirkan di Wasij, Distrik Farab, Turkistan pada tahun 257 H/ 870 M. Ayahnya seorang jendral berkebangsaan Persia dan ibunya berkebangsaan Turki. Dalam usia 40 tahun Al-Farabi pergi ke Baghdad, untuk belajar kaidah-kaidah Bahasa Arab dan belajar logika serta belajar filsafat. Kemudian, beliau pindah ke Harran, pusat kebudayaan Yunani di Asia Kecil dan berguru kepada Yuhanna ibnu Jailan. Akan tetapi, tidak berapa lama beliau kembali ke Baghdad untuk memperdalam ilmu filsafat. Pada tahun 330 H/ 945 M, beliau pindah ke Damaskus, Syria dan menetap di kota ini sampai wafatnya pada tahun 337 H/ 950M pada usia 80 tahun.
2.      Pemikiran pendidikan Al-Farabi lebih menekankan pada pendidikan akal budi. Pemikiran filsafat Al-Farabi terpengaruh oleh filsafat aristoteles, Plato, dan Plotinus, namun beliau telah berhasil mengembangkan dan memperdalamnya sehingga dapat dikatakan hasil pemikirannya sendiri. Dengan demikian beliau telah berhasil menciptakan filsafat islam yang mempunyai ciri khas tersendiri. Seperti dalam pemikiran-pemikiran yang telah dijelaskan diatas.
3.      Al-Farabi meninggalkan sejumlah besar tulisan yang penting. Karangan Al-Farabi tidak kurang dari 128 buah kitab, yang kebanyakan mengenai filsafat Yunani. Karya-karya Al-Farabi tersebar luas di Timur pada abad ke-4 dan 5 H/ ke-10 dan 11 M, dan mungkin mencapai Barat ketika sarjana-sarjana Andalusia menjadi pengikut Al-Farabi.

B.     Saran
Penulis sadar, dalam penulisan makalah ini masih terdapat banyak kekurangan. Maka dari itu, saya sebagai penulis sangat mengharapkan saran dan kritikan demi kesempurnaan penulisan makalah selanjutnya.


[1] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2010), hlm. 65.
[2] Sudarsono, Filsafat Islam, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1997), hlm. 30.       
[3] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2010), hlm. 65-66.
[4] M.M Syarif, Para Filosof Muslim, (Bandung: Penerbit Mizan, 1993), hlm. 58.
[5] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2010), hlm. 66.
[6] Sudarsono, Filsafat Islam, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1997), hlm. 31.
[7] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2010), hlm. 67.
[8] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2010), hlm. 68.
[9] Abubakar Aceh, Sejarah Filsafat Islam, (Sala: CV Ramadhani, 1982), hlm. 48.
[10] Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1991), hlm.83.
[11] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2010), hlm. 68-89.
[12] Abubakar Aceh, Sejarah Filsafat Islam, (Sala: CV Ramadhani, 1982), hlm. 48.
[13] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2010), hlm. 70.
[14] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2010), hlm. 70-74.
[15] Nurcholis Madjid, Khazanah Intelektual Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hlm.24.
[16] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2010), hlm. 77-78.
[17] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2010), hlm. 78-81.
[18] Poerwantana, dkk, Seluk-Beluk Filsafat Islam, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1993), hlm. 138.
[19] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2010), hlm. 83-84.
[20] Poerwantana, dkk, Seluk-Beluk Filsafat Islam, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1993), hlm. 138.
[21] Poerwantana, dkk, Seluk-Beluk Filsafat Islam, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1993), hlm. 139-140.
[22] M.M Syarif, Para Filosof Muslim, (Bandung: Penerbit Mizan, 1993), hlm. 58-59.
[23] Sudarsono, Filsafat Islam, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1997), hlm. 31-32.
[24] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2010), hlm. 68.
[25] Sudarsono, Filsafat Islam, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1997), hlm. 32.
[26] M.M Syarif, Para Filosof Muslim, (Bandung: Penerbit Mizan, 1993), hlm. 59-61.

MAKALAH PERADABAN ISLAM DINASTI UMAYAH PADA MASA ABDUL MALIK BIN MARWAN

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Islam merupakan agama yang mengatur berbagai macam dimensi kehidupan, seperti politik, kebudayaan, perekonomian, dan ilmu pengetahuan. Kaitannya dengan ilmu pengetahuan yang dikembangkan dari generasi ke generasi akan menghasilkan output sebuah tatanan islam yang berkelanjutan. Peradaban islam apabila tidak dilestarikan maka akan mengalami degradasi atau penurunan yang lama kelamaan akan mengalami kepunahan. Kaitannya dengan itu peradaban islam warisan Rasulullah SAW dari generasi ke generasi terus dikembangkan atau dilestarikan, tidak terkecuali pada zaman khalifah ke V Dinasti  Bani Umayyah, yaitu Abdul Malik bin Marwan(685-705M). Abdul Malik bin Marwan adalah Khalifah ke V dari Dinasti Bani Umayyah, yang secara keseluruhan Bani Umayyah berkuasa dalam kekhalifahannya selama 90 tahun. Dinasti Umayyah beribu kota di Damaskus. Abdul Malik bin Marwan merupakan putra dari Khalifah Marwan bin Hakam.
Pada masa pemerintahannya, tidak terjadi penaklukan dalam skala besar. Dia berkuasa kurang lebih 20 tahun yaitu sejak  tahun 685-705 M. Pada akhir pemerintahannya kira-kira 12 tahun adalah masa-masa makmur dan tentram. Untuk itu,dalam makalah ini pemakalah akan menguraikan lebih lanjut mengenai peradaban Islam pada masa Abdul Malik bin Marwan.

1.2 Rumusan Masalah
  1. Bagaimana Biografi Abdul Malik bin Marwan ?
  2. Bagaimana proses pengangkatan Abdul Malik menjadi Khalifah?
  3. Apa saja usaha –usaha yang dilakukan oleh Abdul Malik bin Mawran pada masa pemerintahnya ?
  4. Bagaimana sifat yang dimiliki Abdul Malik bin Marwan?
  5. Apa saja Jasa- jasa Abdul Malik bin Marwan pada masa pemerintahanya?

1.3 Tujuan Masalah
  1. Mengetahui bagaimana Biografi Abdul Malik bin Marwan ?
  2. Mengetahui bagaimana proses pengangkatan Abdul Malik menjadi Khalifah?
  3. Mengetahui apa saja usaha- usaha yang dilakukan Abdul Malik bin Marwan pada masa pemerintahanya?
  4. Mengetahui bagaimana sifat yang dimiliki Abdul Malik bin Marwan?
  5. Mengetahui bagaimana jasa- jasa Abdul Malik bin Marwan pada masa pemerintahanya?


BAB II
PEMAHASAN

2.1 Biografi Abdul Malik bin Marwan
Nama lengkap beliau yaitu Abdul Malik bin Marwan bin Al Hakam bin Abu Al ‘Ash binUmayah bin Abdu Syams bin Abdu Manaf. Ibunya adalah Aisyah binti Muawiyah bin Al Mughirah bin Abu Al ‘Ash bin Umayah. Silsilah ayah dan ibunya bertemu  pada Abu Al’Ash. Ibunya terkenal sebagai orang yang sangat baik prilaku dan sifat-sifatnya sehingga dari padanya terlahir pribahasa. Abdul Malik bin Marwan lahir di Madinah pada tahun 26 H, pada masa pemerintahan Utsman bin Affan. Tercatat, bahwa ia tumbuh dengan sangat cepat dan dan terkenal sebagai pemberani serta suka menolong. Begitu juga ia dikenal sebagai seorang penasihat, pujangga, bersifat spontan dan vocal dalam hak, yakni tidak merasa takut di cerca.
Dia pun dikenal sebagai orang yang hafal Al-Quran dan tercatat bahwa ia belajar ilmu-ilmu agama yakni, fiqih, tafsir, dan hadis kepada para guru dari kalangan para ulama Hijaz yang ada di Madinah. Ibnu Sa’ad telah meriwayatkan, bahwa penduduk madinah berkata : “Abdul Malik menghafal Al-Quran dari Utsman bin Affan dan mendengar (belajar) Hadits dari Abu Hurairah, Abu Sa’id Al Khudri, jabir bin Abdullah, dan dari para sahabat Rosulullah SAW yang lain. Dengan demikian tidaklah mengherankan, bilamana ia menjadi seorang ahli fiqih dan seorang ahli ilmu yang sangat mencinti ilmu. Begitu juga, ia pun seorang pujangga dan seorang kritikus syair yang ahli dalam membedakan syair yang baik dari yang jelek. Kemudian dia pun terkenal sebagai seorang yang memiliki klub tempat bertemu bab berdiskusi bersama para penyair dan pujangga untuk membahas tentang buku-buku kesusastraan, seperti kitab Al-Kamil karangan Al- Mubarrad, Kitab Al-Amali karangan Abu Ali, dab buku- buku kumpulan sastera yang lain-lain.
2.2. Pengangkatan Abdul Malik dan Kekhalifah
Abdul Malik menjadi khalifah setelah ayahnya Marwan bin Hakam meninggal pada tahun 65 H/684 M. Pada saat itu khalifah yang legal adalah Abdullah ibnuz-Zubair. Kemudian dia berhasil mengambil Irak dari tangan Abdullah ibnuz-Zubair dan menaklukkan Hijaz secara keseluruhan. Dia di angkat menjadi khalifah sejak tahun 73 H/692 M. Abdul Malik berkuasa kurang lebih 20 tahun yaitu sejak 685-705M/66-86H. Dalam masa pemerintahannya,tidak terjadi penaklukan dalam skala besar. Karena, dia di sibukkan dengan perang.
Abdul Malik bin Marwan menjabat khalifah kelima Dinasti Umayah pada usia 39 tahun. Dia dianggap khalifah perkasa, negarawan,berwibawa, yang mampu memulihkan kesatuan umat muslimin. Setelah selesai pengangkatan baiat di Mesjid Damaskus pada 65 Hijriyah, khalifah Abdul Malik bin Marwan naik mimbar dan menyampaikan pidato singkat namun tegas yang tercatat sejarah. Di antara isi pidato itu adalah “Aku bukan khalifah yang suka menyerah dan lemah, bukan juga seorang khalifah yang suka berunding, bukan juga seorang khalifah yang berakhlak rendah. Siapa yang nanti berkata begini dengan kepalanya, akan kujawab begini dengan pedangku.” Setelah ia turun dari mimbar, sejak saat itu wibawanya dirasakan oleh segenap hadirin. Mereka mendengarkan ucapannya dengan rasa hormat dan kepatuhan. Tak seorangpun yang menentang pengangkatan Abdul Malik itu, kecuali Amru bin Sa’id. Dan sebagai resiko dari tantanganya itu ia telah kehilangan kepalanya, diantara peristiwa yang pernah di hadapi Abdul Malik iailah pemberontakan Amru bin Sa’id yang ingin menjadi khalifah sesudah Marwan. Pada mulanya Marwan tampaknya ingin untuk mendahulukan Amru dari Khalid karena Khalid masih muda usianya. Sebab itu kita lihat amru telah berjuang seorang pahlawan untuk memperkokoh kekuasaan Marwan. Tetapi Marwan menipunya dan akhirnya dia mengangkat anaknya sebagai putra mahkotanya
Abdul Malik berpendapat bahwa adalah bijaksana untuk berminyak air kepada Amr. Sebab itu ia berpura-pura menjanjikan kepadanya untuk menjadi khalifah sesudahnya. Amru puas dengan janji Abdul Malik ini, tetapi ia ingin agar itu segera diumumkan dan di kokohkan, Amru semakin mendesak Abdul Malik dn akhirnya Abdul malik mengatur siasat. Diundangnya Amru untuk berkunjung kepadanya. Maka datanglah Amru bersama beberapa orang hamba sahaya dan pengikut-pengikutnya. Ketika Amru sampai keruangan dimana Abdul Malik duduk menanti kedatanganya, dia hanya sendiri. Waktu itulah Abdul Malik membunuh ‘Amru. Dan melemparkan kepala Amru kepada pengikutnya disertai dengan beberapa pundi- pundi berisi uang. Ketikaa mereka melihat kepala Amru, mereka menjadi putus asa untuk menolongnya, dan mereka lalu berpaling kepada pundi-pundi itu, merekapun memungutnya, kemudian pulang dengan mengantongi uang tersebut. Dengan demikian menjadi baiklah kembali suasana di Damaskus untuk Abdul Malik.
Sementara itu, posisi Khalifah Abdullah bin Zubair yang berkedudukan di wilayah Hijaz yang meliputi Makkah dan Madinah, semakin kuat. Ia berhasil mengamankan wilayah Irak dan Iran yang sempat dicemari aliran Syiah yang menyesatkan. Ia menempatkan saudaranya, Mush’ab bin Zubair untuk menjadi gubernur di wilayah itu. Di mata masyarakat, posisi Abdullah bin Zubair semakin kuat. Para jamaah haji yang datang dari berbagai penjuru, “terpaksa” berbaiat kepadanya saat mereka datang ke Makkah. Khalifah Abdul Malik tak bisa membiarkan hal itu. Ia pun mempersiapkan segalanya untuk menundukkan kekuasaan Abdullah bin Zubair.
Mengawali rencananya, Abdul Malik tak langsung menyerang pusat kekuasaan Abdullah bin Zubair di Makkah dan Madinah. Pasukan besarnya bergerak menaklukkan wilayah Irak, Iran, Khurasan dan Bukhara, yang merupakan sumber dana Abdullah bin Zubair. Mush'ab bin Zubair wafat dan jabatan gubernurnya diambil oleh Bashir bin Marwan, saudara Khalifah Abdul Malik bin Marwan. Usia gubernur ini memang masih muda. Ia didampingi oleh penasihat  terpandang yang dikenal sejarah Musa bin Nushair.Setelah berhasil merebut wilayah Irak dan sekitarnya, Khalifah Abdul Malik mengerahkan 3.000 tentara di bawah pimpinan Hajjaj bin Yusuf. Pasukan besar itu pun berangkat dan akhirnya tiba di Thaif, sekitar 120 kilometer dari Makkah. Pasukan Abdullah bin Zubair yang semula ditempatkan di bagian utara Madinah, dikerahkan ke Thaif. Pertempuran pun berlangsung. Pasukan Abdullah bin Zubair porak-poranda. Abdullah bin Zubair gugur tertusuk pedang. Nyawa putra sahabat Nabi dari kalangan Muhajirin yang pertama kali lahir di Madinah itu, menemui Rabb-nya setelah sekitar 9 tahun memerintah. Ia wafat pada Jumadil Awal 73 Hijriyah.
Pada tahun 77 Hijriyah, Abdul Malik bin Marwan menyerang Romawi untuk merebut Asia Kecil dan Armenia. Pertempuran cukup dahsyat terjadi sehingga menyebabkan 200.000 kaum Muslimin gugur. Pihak Romawi menderita kekalahan lebih dari itu. Namun pasukan Islam berhasil menguasai Mashaisha di bawah pimpinan Panglima Abdullah bin Abdul Malik.Bersamaan dengan itu, Khalifah Abdul Malik bin Marwan juga mengirim 40.000 pasukan berkuda menuju Afrika Utara di bawah pimpinan Hasan bin Nu’man yang dibantu oleh pasukan dari Mesir dan Libya. Melalui perjuangan cukup panjang, akhirnya pasukan itu bisa mengalahkan pasukan Romawi dan menduduki benteng Kartago. Pasukan Hasan bin Nu’man juga berhasil menghalau serangan suku Barbar di bawah pimpinan Ratu Kahina di wilayah Aljazair. Ratu Kahina selanjutnya dijatuhi hukuman mati.
Pada tahun 81 Hijriyah, sebuah armada laut siap berangkat dari pelabuhan Tunisia. Perjalanan pun dimulai. Daerah demi daerah berhasil dibebaskan. Ketika pasukan kaum Muslimin sedang merangkai kemenangan demi kemenangan itulah, Abdul Malik bin Marwan wafat. Ia mewariskan banyak hal dalam sejarah keemasan Islam. Pada masa pemerintahannya dibentuk Mahkamah Tinggi untuk mengadili para pejabat yang menyeleweng atau bertindak semena-mena terhadap rakyat. Selain itu, Abdul Malik juga mengganti bahasa resmi negara dengan bahasa Arab yang sebelumnya menggunakan bahasa Persia atau Romawi. Abdul Malik juga mendirikan bangunan seperti pabrik senjata dan kapal perang di Tunisia. Ia juga membangun Masjid Umar atau Qubbatush Shakra’ di Yerusalem dan memperluas Masjidil Haram di Makkah.
2.3 Usaha-usaha Abdul Malik bin Marwan
Beberapa usaha yang berhasil dilakukan oleh khalifah Abdul Malik bin Marwan antara lain meredam pemberontakan golongan syiah, pemberontakan Abdullah bin Zubair, dan pemberontakan golongan Khawarij.
  1.  Meredam pemberontakan golongan Syiah
Berawal dari pengingkaran perjanian yang dilakukan antara Muawiyah Hasan bin Ali agar penentuan kedudukan khalifah dilaksanakan dengan cara musyawarah dan balas dendam atas meninggalnya Hasan bin Ali maka golongan Syiah melkukan pemberontakan yang terjadi pada tahun 686 M. khalifah Abdul Malik bin Marwan yang memerintah ketika itu berupaya meredamnya.
Pasukan pemerintah kala itu berjumlah 30.000 tentara dibawah pimpinan Abdullah bin Zaid, sehingga dengan mudah dapat mematahkan serangan pasukan Syiah.
2.    Meredam pemberontakan Abdullah bin Zubair
Abdullah bin Zubair sudah sering mengadakan pemberontakan baik ketika pemerintahan dipegang oleh Khulafaur Rosyidin hingga pada pemerintahan Dinasti Umayyah. Khalifah Abdul Malik bin Marwan juga mengalami gangguan dan ancaman dari Abdullah bin Zubair ini. Dia mengadakan pemberontakan setelah mencermati bahwa keadaan umat islam dalam perpecahan dan Negara sedang kacau. Dalam menangani gangguan dan ancaman itu khalifah Abdul Malik bin Marwan mengerhakan tentara berjumlah 2.500 personil di bawah pimpinan Yusuf As-Saqafi. Pasukan Yusuf As-Saqafi kemudian mengepung kota mekah dan berhasil membunuh Abdullah bin Zubair sehingga pemberontakan dapat diredam.
3.    Meredamkan pemberontakan Golongan Khawarij
Golongan Khawarij mengalami kemajuan di irak dan melakukan pemberontakan disekitar jazirah Arab akan tetapi pasukan Dinasti Umayah berhasil menumpas pemberontakan golongan Khawarij. Pemimpin golongan Khawarij yang terkenal saat itu adalah Qtari ibnu Fujah dan Syahab ibnu Syar.
4.    menghadapi Amru bin Sa’id
pada tahun 70 H (690 M). seorang dari keluarga Abdul Malik bin Marwan yang bernama ‘Amru bin Sa’id mendurhakai khalifah. Pndurhakaan itu ditumpas dengan tipu muslihat saja, yaitu dengan mengangkat ‘Amru bin Sa’id menjadi putera mahkota. Akan tetapi tidak lama kemudian ia dipanggil menghadap, pengakuan itu dibatalkan dan Amru bin Sa’id dibunuh, keplanya dilemparkan kepada pengiringnya yang menunggu dibawah. Menyaksikan peristiwa yang mengerikan itu lascar Amru bin Sa’id kecil hati dan lari cerai berai. Dengan kematian Amru bin Sa’id ini selamatlah ia dari bahaya terakhir yang menggerogoti  kekuasaanya.
2.4    Sifat Abdul Malik bin Marwan
Asy Sya’b mensifati Abdul Malik bin Marwan dengan ungkapan sebagai berikut: saya tidak pernah berteman dengan seorang juga melainkan saya mendapatkan diri saya lebih unggul dari padanya kecuali Abdul Malik bin Marwan. Sungguh saya tidak mengingat pembicaraanya melainkan saya mendapatkan tambahan ilmu dari padanya. Sehingga saya tidak mendapatkan syair dari padanya melainkan dengan syairnya itu kulitas penyair diri saya pun bertambah. Abdul Malik bin Marwan adalah seorang petah lidah dan fasihat dalam berbicara. Dikatakan kepadanya: sungguh engkau cepat beruban. Maka olehnya dijawab: Frekuensi naik ke ata mimbar yang begitu sering dan perasaan takut salah dalam berkata-kata adalah penyebab aku cepat beruban. Kemudian kepadanya dikatakan: Wahai Amirul Mukminin!uban telah begitu cepat menimpa engkau. Maka olehnya dijawab: Bagaimana tidak, sedangkan aku setiap jum’at harus memeras otak untuk berbicara di depan orang-orang.
Abdul Malik terkenal sebagai seorang yang dikarunia tekad yang kuat dan tajam dalam nalarnya. Al-Aini berkata: Muawiyah adalah seseorang yang dianggap sangat lembut dan Abdul Malik adalah seseorang yang sangat kuat tekadnya. Abdul Malik bin Marwan semasa di Madinah adalah sebagai Hakim dan sebagai seorang mufti sesudah Zaid bin Tsabitpada tahun 43 H.
Penyusun kitab Al- ‘Aqd telah meriwayatkan, bahwasanya Abdul Malik bin Marwan suatu hari berpidato di depan orang-orang, seraya berkata: Wahai oramg-orang! Demi Alloh! Sesungguhnya aku bukan khalifah yang lemah yakni Utsman bin Affan, Aku bukan seorang khalifah yang suka menjilat yakni Muawiyah, dan aku ini bukan pula seorang khalifah yang plin-plan yakni Yazid bin Muawiyah. Barangsiapa mengatakan sesuatu berdasarkan akalnya, maka kami mengatakan sesuatu berdasarkan pedang kami. Sesudah itu ia turun, suatu ketika ia juga berpidato di atas mimbar: Wahai orang-orang! Sesungguhnya Alloh telah mengundangkan beberapa peraturan (hukum) dan dia juga telah mengundangkan beberapa keharusan. Maka selama kalian masih terus bertambah sampai kami sepakat sedangkan kalian berada di ujung peadang. Sesudah itu kemudian ia turun.
Dari apa yang dikemukakan oleh Al-Mas’udi tampak bahwa Abdul Malik adalah seorang yang berhiaskan diri dengan sifat-sifat yang terpuji. Sebahagian diantara orang-orang yang biasa ada di sisinya menyebutkan, bahwa pada suatu hari ia berkata: Aku ingin menyendiri. Ketika orang yang diajak bicara itu hendak pergi, berkatalah Abdul Malik kepadanya: Dengan catatan engkau harus mematuhi tiga syarat: “ engkau jangan memuji diriku sebab aku lebih tahu perihal diriku dari pada engkau, engkau jangan menggunjing aku di depan siapapun juga sehingga aku tidak mendengar gunjingan yang dialamatkan kepadaku bersumber darimu, dan engkau jangan berdusta sehingga aku tidak melihat pendusta”. Kemudian yang diajak bicara itu berkata: Apakah sekarang engkau mengijinkan aku untuk pergi? Dia menjawab: silahkan, bila engkau mau.
2.5    Jasa-jasa Abdul Malik bin Marwan
Keberhasilan Abdul Malik bin Marwan mempertahankan keutuhan wilayah kekuasaan dinasti bani umayah, membawa dampak positif bagi kemajuan dinasti ini. Sebab kendala atau hambatan terpenting didalam usaha mempertahankan dan mengembangkan kekuasaanya, telah dapat diatasi dengan baik. Dengan demikian, mudah baginya untuk mengeluarkan kebijakan politik untuk membangun negeri. Selama masa pemerintahanya, khalifah Abdul Malik bin Marwan melakukan beberapa pembaharuan untuk memperlancar administrasi pemerintahan. Diantara jasa dan pembaharuan yang dilakukan adalahMenjadikan bahasa Arab menjadi bahasa resmi Negara.
  1. Kebijakan ini dikeluarkan karena bahasa yang dipakai untuk kegiatan administrasi pemerintahan didaeran taklukan pada masa-masa sebelumnya, bukan bahasa arab. Seperti diketahui bahwa pada masa nabi dan para sahabat dan masa- masa awal dinasti bani Umayah seluruh dokumen yang berkaitan dengan perikehidupan dicatat dalam bahasa Arab.Setelah bangsa Persia, Syiria dan Mesir bergabung dalam kekuasaan pemerintahan Islam, Khalifah Umar bin Al-Khatab mempertahankan dokumen yang berkaitan dengan negeri tersebut tetap dicatat dalam bahasa mereka masing-masing. Akibatnya, departemen keaungan negeri-negeri tersebut dikuasai oleh pribumi non muslim yang memahami bahasa mereka. Ketika Abdul Malik bin Marwan berkuasa, ia menghapuskan bahasa mereka dan menetapkan bahasa Arab sebagai bahasa resmi pemerintahan, kebijakan ini pertama kali diterapkan bahasa resmi pemerintahan. Kebijakan ini pertama kali diterapkan di Syiria dan Irak, kemudian Mesir dan Persia. Hal sepadan juga menyebutkan bahwa, ketika bahasa Arab menjadi bahasa percakapan orang-orang non-Arab, bahasa Arab mendapat masukan-masukan kata baru. Kata-kata baru ini diambil dari kata-kata wilayah yang ditaklukkan. Sebagai contoh, kata “kubah” dan “menara”. Kedua kata tersebut masuk kedalam kosakata bahasa Arab ketika orang-orang Arab melihat bangunan-bangunan itu. Hal yang lebih menarik lagi bahasa Arab sendiri ternyata memiliki kelenturan menerima kosakata kata baru. Dengan demikian bahasa Arab menjadi sangat kaya dengan kosakata dan istilah.
  2. Mengganti Mata Uang.Kebijakan lain yang dikeluarkan Abdul Malik bin Marwan adalah penggantian mata uang. Ia mengeluarkan mata uang logam Arab. Sebelumnya, pada masa Nabi Muhammad saw., dan Khalifah Abu bakar mata uang yang dipakai sebagai alat tukar atau alat bayar adalah mata uang romawi dan persia. Mata uang ini pada masa pemerintahan sesudahnya, khususnya pada masa khalifah Umar bin Khattab telah banyak yang rusak. Inilah salah satu sebab mengapa Abdul Malik bin Marwan melakukan pembaharuan dalam bidang mata uang. Ia mengeluarkan jenis mata uang baru yang bisa dibilang sebagai mata uang resmi pemerintahan islam. Mata uang ini terbuat dari emas (Dinar), dan perak (Dirham) dan perunggu (Fals atau Fuls).Yaitu, mata uang yang satu sisinya bertuliskan kalimat “Laailaha Illallah” dan sisi lainnya tertulis nama khalifah. Mata uang Islam yang baru ini menghilangkan symbolis Kristen dan Zoroaster. Untuk kepentingan itu, khalifah Abdul malik bin Marwan mendirikan pabrik percetakan uang di Damaskus
  3. Pembaharuan Ragam Tulisan Bahasa Arab.Kebijakan Abdul Malik bin Marwan lainya adalah pembaharuan dalam ragam tulisan bahasa Arab. Hal ini dilakukan karena berdasarkan penilaiannya terdapat dua kelemahan didalam bahasa Arab. Pertama, bahasa arab hanya mengandung huruf konsonan (huruf mati), yang dapat diucapkan dalam beberapa bunyi Vokal. Kenyataannya ini menyulitkan bagi masyarakat muslim yang bukan berasal dari bahasa Arab didalam memahami dan mengucapakan bahasa Arab. Kedua, adalah beberapa huruf arab mempunyai kesamaan bentuk, seperti antara huruf ( د dan ذ )dan lainya. Hajjaj bin Yusuf salah seorang gubernur Abdul malik yang mahir di dalam seni menulis arab, memperkenalkan tanda vokal dan menerapkan tanda-tanda titik untuk membedakan beberapa huruf yang sama bentuknya.Pembaharuan dilakukan khalifah Abdul Malik bin Marwan dan Gubernur Hajjaj bin Yusuf ini menjadikan bahasa Arab lebih sempurna dan sekaligus menghilangkan kesulitan bagi pembaca luas dikalangan non Arab.
  4. Pembaharuan Dalam Bidang Keuangan Hingga pada masa pemerintahan Abdul Malik, umat islam hanya berkewajiban membayar zakat dan bebas dari kharaj dan jizyah. Hal ini mendorong orang non-muslim memeluk agama Islam. Dengan cara ini, mereka terbebas dari pembayaran Kharaj dan jizyah. Setelah itu, mereka meninggalkan tanah pertaniannya guna mencari nafkah di kota-kota besar sebagai tentara.Kenyataan ini menimbulkan masalah bagi perekonomian negara. Karena pada satu sisi perpindahan agama mengakibatkan berkurangnya sumber pendapatan negara dari sektor pajak. Pada sisi lain, bertambahnya militer Islam dari kelompok Mawali memerlukan dana subsidi yang makin besar. Untuk mengatasi permasalahan ini, khalifah Abdul Malik mengembalikan beberapa militer Islam kepada profesinya semula, yakni sebagai petani dan menetapkan kepadanya untuk membayar sejumlah kewajiban mereka sebelum mereka masuk Islam, yakni sebesar beban kharraj dan jizyah. Keputusan khalifah Abdul Malik ini tentu saja ditentang keras oleh kelompok Mawali. Karena ketidakpuasan ini, pada akhirnya mereka menyokong gerakan propaganda Abbasiyah untuk menggulingkan dinasti Umayah.
  5. Pengembangan Sistem Pos Ketika Abdul Malik berkuasa,ia berusaha mengembangkan system pos yang telah dibangun pada masa Mawiyah bin Abu Sufyan.Sistem pos ini menghubungkan kota-kota propinsi dengan pemerintahan pusat. Para petugas pos mengendarai kuda dalam menjalankan tugasnya, khususnya tugas menyampaikan informasi penting dari pemerintahan pusat ke pemerintahan propinsi.Selain itu Khalifah juga mendirikan beberapa kota baru, diantara kota terpenting adalah Al-Wasith di antara rendah Irak. Pendirian kota ini dimaksudkan untuk mengendalikan timbulnya gerakan pengacau di wilayah irak.
  6. Membentuk Mahkamah Agung Kebijakan lain yang menjadi jasa peniting dari peninggalan pemerintahan khalifah Abdul Mallik adalah mendirikan lembaga Mahkamah Agung.Lembaga ini didirikan untuk mengadili para pejabat tinggi negara yang melakukan penyelewengan atau tindakan yang merugikan bangsa dan Negara atau bertindak sewenang-wenang terhadap rakyat.
  7. Mendirikan Bangunan-Bangunan PentingKeberhasilan lain yang menjadi jasa dari peninggalan Khalifah Abdul Malik adalah menjadikan bangunan-bangunan penting yang sangat dibutuhkan didalam memperlancar roda pemerintahan dan kekuasaan militer bani Umayah. Pada masanya, telah dibangun pabrik-pabrik senjata dan pabrik kapal perang di Tunisia. Membangun Kubah baru (Qubbah Al-Sakhra) di Yerussalem. Yang hingga kini masih terpelihara dengan baik dan masih utuh.
  8.  Kerajinan Kerajinan pada masa Abdul Malik mulai dirintis pembuatan tiraz atau semacam bordiran yakni cap resmi yang di cetak pada pakaian khalifah dan para pembesar pemerintahan.
  9. Membangun Sarana dan Prasarana Abdul Malik juga mendirikan bangunan seperti pabrik senjata dan kapal perang di Tunisia. Ia juga membangun Masjid Umar atau Qubbatush Shakra’ di Yerusalem dan memperluas Masjidil Haram di Makkah.
  10. Perluasan wilayah pemerintahan Perluasan wilayah (ekspansi) politik Islam diluar semenanjung Arabia yang terhenti dimasa khalifah Ali, kini diteruskan oleh dinasti bani umayyah, terutama dimasa khalifah Abdul Malik bin Marwan dan al-Walid bin Abdul Malik. Ekspansi  pada masa ini terbagi kepada dua arah, ke barat yang meliputi wilayah Afrika Utara, Spanyol dan Perancis. Dan ke timur yang meliputi wilayah Asia Tengah dan India. Ekspansi ke barat telah dimulai sejak masa pemerintahan Muawiyah. Ia mengutus Uqbah bin Nafi’ untuk menaklukkan daerah-daerah Afrika utara yang telah lama dikuasai romawi. Ia berhasil mengusai tunisia, dan di tahun 670 M. Ia menjadikan kota Qairuwan sebagai ibu kota dan pusat kebudayaan Islam. Namun, wilayah itu kemudian kembali dikuasai  bangsa barbar, baru pada masa Abdul Malik bin Marwan berhasil dikuasai kembali berkat pasukan yang dipimpin Hasan bin Nu’man. Setelah Hasan meninggal pada 708 M, jabatan gubernur digantikan oleh panglima Musa bin Nusair. Ia meluaskan kekuasaannya dengan menaklukkan Aljazair, Maroko, sampai ke pantai samudra Atlantik. Ekspedesinya juga berhasil merebut pulau Majorka, Minorka, dan Ivoka. Penaklukan militer di zaman Umayah mencakup tiga front penting yaitu : Pertama, front melawan bangsa Romawi di Asia kecil dengan sasaran utama pengepungan ke ibu kota Konstantinopel, dan penyerangan ke pulau-pulau di Laut Tengah. Kedua, front Afrika Utara. Selain menundukkan daerah hitam Afrika, pasukan muslim juga menyeberangi selat Gibraltar, lalu masuk ke Spanyol. Ketiga, front timur menghadapi wilayah yang amat luas, sehingga operasi ke jalur ini dibagi menjadi dua arah. Yang satu menuju utara ke daerah-daerah di seberang sungai Jihun (Amu Dariyah). Sedangkan yang lainnya ke arah selatan menyusuru Sind, wilayah india bagian barat. Pada masa pemerintahan Muawiyah diraih kemajuan besar dalam perluasan wilayah, meskipun pada beberapa tempat masih bersifat rintisan. Peristiwa paling mencolok keberaniannya mengepung kota Konstantinopel melalui suatu ekspedisi yang dipusatkan di kota pelabuhan Dardanela, setelah terlebih dahulu menduduki pulau-pulau di Laut Tengah seperti Rodhes, Kreta, Cyprus, Sicilia dan sebuah pulau yang bernama award, tidak jauh dari ibu kota Romawi Timur itu. Di belahan timur, Muawiyah berhasil menaklukan Khurrasan sampai ke sungai Oxus dan Afganistan. Ekspansi ke timur yang telah dirintis oleh Muawiyah, lalu disempurnakan oleh khalifah Abdul Malik bin Marwan. Dibawah komando Gubernur Irak Hajjaj ibn Yusuf, tentara kaum muslimin menyeberangi sungai Ammu Darya dan menundukkan Balkh, Bukhara, Khawarizm, Fergana dan Samarkand. Pasukan islam juga melalui Makran masuk ke Balukhistan, Sind dan Punjab sampai ke Multan, pada waktu itu Islam menancapkan kakinya untuk pertama kalinya di bumi India.
Jasa-jasa lain kepemimpinan Abdul Malik bin Marwan
  1. Mempertahankan keberlangsungan Dinasti Umayah.
  2. Menciptakan kesejahteraan rakyat melalui perbaikan administrasi Negara.
  3. Menyempurnakan mushaf Al- Quran.
  4. Menguasai wilayah-wilayah yang berada dalam cengkraman non muslim.
  5. Menata administrasi Negara dalam rangka mengumpulkan dan meneliti dokumen-dokumen penting milik Negara.
  6. Menunjuk orang-orang yang berkompeten untuk menduduki jabatan gubernur dan penguasa di daerah-daerah yang dianggap penting.
  7. Meredam gangguan dan ancaman dari kelompok orang-orang yang mendorong kewibawaan Negara.
Dalam sejarah, Abdul Malik dikenal dengan “Abdul Muluk” atau ayah para raja atau khalifah. Dijuluki demikian karena keempat anaknya sempat menjadi khalifah Bani Umayyah menggantikannya. Mereka itu adalah Walid, Sulaiman, Yazid, dan Hisyam. Abdul Malik bin Marwan meninggal dunia pada pertengahan bulan Syawal tahun 86 Hijriyah dalam usia 60 tahun. Ia meninggalkan karya besar bagi sejarah Islam. Masa pemerintahannya 21 tahun, dan 8 tahun dari masa tersebut menghadapi sengketa dengan Khalifah Abdullah ibn Zubair.

BAB III
PENUTUP

3.1 kritisi
Menurut saya Dinasti Umayah pada masa kekhalifahan Abdul Malik bin Marwan ini mempunyai kelebihan dan kekurangan diantaranya yaitu Kekurangan.
Abdul Malik adalah seorang khalifah yang mengingkari janjinya yang menjanjikan kepada ‘Amru ibnu Sa’id untuk menjadi khalifah sesudahnya tetapi kenyataanya kekhalifahan itu di turunkan kepada anaknya dan akhirnya ‘Amru ibnu sa’id tewas di bunuh oleh Abdul Malik di karenakan ‘Amru ibnu Sa’id terus mendesak Abdul Malik agar janji itu segera di umumkan dan dikokohkan. Dan dia juga selalu melarang orang berbicara di depan khalifah serta apa yang di ucapkanya harus di patuhi dan ketika dia memutuskan suatu perkara maka ia akan selalu menyandang pedang sebagai bukti ancaman harus menaatinya.
Kelebihan:
Abdul Malik adalah orang pertama kali yang membuat mata uang dinar dan menuliskan di atasnya ayat-ayat Al-Qur’an dan masih banyak lagi kelebihan-kelebihan beliau yang sudah di jelaskan dalan jasa-jasa pada masa kekhalifahanya.
Di samping kekurangan dan kelebihannya ada juga ibrah yang dapat di ambil bagi kita dari kepemimpinan beliau yaitu di antaranya:
  1. Semangat juang yang dimiliki Abdul Malik begitu kuat untuk memertahankan suatu Negara, wilayah, suku, dan kekuasaanya seperti pada penyelamatan kekhalifahan Umayah yang pada saat itu sedang hancur
  2. Abdul malik sangat memperhatikan kelangsungan kesejanteran hidup orang banyak seperti contohnya: memperbaiki fasilitas Negara yang bertujuan untuk memakmurkan rakyat.
  3. Memudahkan kita semua untuk membaca kitab suci dengan menyempurnakan mushaf Al-Qur’an dan tidak hanya itu beliau juga selalu bersemangat dalam menyebarkan agama islam.
  4. Itulah beberapa ibrah yang dapat kita ambil manfaatnya.


3.2. Kesimpulan
Abdul Malik bin Marwan merupakan putra dari khalifah Marwan bin Hakam. Nama lengkap beliau adalah Abdul Malik bin Marwan bin Al Hakam bin Abu Al ‘Ash binUmayah bin Abdu Syams bin Abdu Manaf. Beliau  lahir di Madinah pada tahun 26 H, pada masa pemerintahan Utsman bin Affan. Abdul Malik bin Marwan menjabat khalifah kelima Dinasti Umayah pada usia 39 tahun. Dia dianggap khalifah perkasa, negarawan,berwibawa, yang mampu memulihkan kesatuan umat muslimin. Abdul Malik berkuasa kurang lebih 21 tahun yaitu sejak 685-705M/66-86H. Dalam masa pemerintahannya,tidak terjadi penaklukan dalam skala besar. Karena, dia di sibukkan dengan perang.
Adapun  beberapa usaha yang berhasil dilakukan oleh khalifah Abdul Malik bin Marwan antara lain: meredam pemberontakan golongan syiah, pemberontakan Abdullah bin Zubair, dan pemberontakan golongan Khawarij. khalifah Abdul Malik bin Marwan melakukan beberapa pembaharuan untuk memperlancar administrasi pemerintahan. Diantara jasa dan pembaharuan yang dilakukan adalah
  1. Menjadikan bahasa Arab menjadi bahasa resmi Negara
  2. Mengganti mata Uang
  3. Pembaharuan Ragam Tulisan Bahasa Arab.
  4. Pembaharuan Dalam Bidang Keuangan
  5. Pengembangan sistem pos
  6. Membentuk Mahkamah Agung
  7. Mempertahankan keberlangsungan Dinasti Umayah
Itulah beberapa usaha- usaha yang dilakukan oleh Abdul Malik bin Marwan pada masa pemerintahannya.
3.3    Saran dan Kritik
Penulis menyadari makalah ini banyak kekurangan baik dari segi materi maupun dari segi penulisan, Saya mengharapkan kritik dan saran dari pembaca yang membangun demi perbaikan makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi Saya khususnya dan umumnya bagi para pembaca. Amin.

DAFTAR PUSTAKA
Shalati,Ahmad.1987.SejarahKebudayaanIslam.Jakarta:PustakaAl-Husna.
Badri,Yatim.1993.SejarahPeradabanIslam.DirasahIslamiyahII.Jakarta:RajaGrafindoPersada.
Syalabi,A.1988.SejarahdanKebudayaanIslam2.Jakarta:PustakaAl-Husna.
Amin,HusyaduAhmad.1995.SeratusTokohdalamSejarahIslam.Bandung:MakhtabahMadbouli,Kairo,Mesir.
https://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/11/04/22/lk1d8h-daulah-umayyah-abdul-malik-bin-marwan-685705-m-ayah-para-khalifah

PROPOSAL BISNIS “TANSUKE EDAS” PRAKTIKUM INKUBATOR BISNIS DAN KEUANGAN

  PROPOSAL BISNIS “TANSUKE EDAS” PRAKTIKUM INKUBATOR BISNIS DAN KEUANGAN     Diajukan untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Pr...