BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-Farabi merupakan filosof kedua setelah Aristoteles. Dimana dalam
kehidupannya, Al-Farabi selalu menimba ilmu pengetahuan baik ilmu agama maupun
umum. Pendidikan bagi Al-Farabi adalah sesuatu yang pantas untuk diperjuangkan.
Dalam usaha ingin memperbaiki keadaan negerinya beliau melahirkan suatu ide
tentang pendidikan yang didasarkan oleh filsafat Plato dan Aristoteles. Dengan
kegigihannya dalam berbagai ilmu, Al-Farabi mampu disebut dengan ahli filsafat.
Dimana filsafat Al-Farabi lebih islami dan sesuai dengan Al-Qur’an.
Al-Farabi juga sangat menginginkan bangsanya dapat bergulat dalam hidup,
sehingga membawanya pada kemampuan untuk melihat realitas yang sesungguhnya.
Oleh karena itu, beliau membuat suatu pemikiran konsep pendidikan dan
pemikiran-pemikiran lainnya seperti rekonsiliasi Al-Farabi, pemikiran
ketuhanan, pemikiran kenabian, pemikiran kenegaraan, pemikiran tentang jiwa,
pemikiran akal dan emanasi.
Untuk lebih jelasnya mengenai hal-hal diatas, maka dalam makalah ini
penulis akan mengulas mengenai riwayat hidup (biografi), pemikiran/ gagasan,
serta karya-karya dari Al-Farabi.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana riwayat hidup Al-Farabi?
2. Bagaimana gagasan/ pemikiran Al-Farabi?
3. Apa saja karya-karya Al-Farabi?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui riwayat hidup Al-Farabi.
2. Untuk mengetahui gagasan/ pemikiran Al-Farabi
3. Untuk mengetahui karya-karya Al-Farabi.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Riwayat Hidup Al-Farabi
Nama lengkap Al-Farabi adalah Abu Nashr Muhammad ibnu Muhammad ibnu
Tarkhan ibnu Auzalagh. Beliau dilahirkan di Wasij, Distrik Farab, Turkistan
pada tahun 257 H/ 870 M. Ayahnya seorang jendral berkebangsaan Persia dan
ibunya berkebangsaan Turki. Oleh sebab itu, terkadang beliau dikatakan
keturunan Persia dan terkadang beliau disebut keturunan Turki. Akan tetapi,
sesuai ajaran islam yang mendasarkan keturunan pada pihak ayah, maka lebih
tepat beliau disebut keturunan Persia.
Sebutan Al-Farabi sendiri diambil dari nama kota dimana beliau dilahirkan,
yakni kota Farab.
Kendatipun Al-Farabi merupakan orang terkemuka dikalangan filosof
muslim, ternyata informasi tentang dirinya sangat terbatas. Beliau tidak
merekam liku-liku kehidupannya, begitu juga murid-muridnya. Menurut beberapa
literatur, Al-Farabi dalam usia 40 tahun pergi ke Baghdad, sebagai pusat
kebudayaan dan ilmu pengetahuan dunia dikala itu. Beliau belajar kaidah-kaidah
Bahasa arab kepada Abu Bakar Al-Saraj dan belajar logika serta filsafat kepada
orang Kristen yakni Abu Bisyr Mattius ibnu Yunus. Kemudian, beliau pindah ke
Harran, pusat kebudayaan Yunani di Asia Kecil dan berguru kepada Yuhanna ibnu
Jailan. Akan tetapi, tidak berapa lama beliau kembali ke Baghdad untuk
memperdalam ilmu filsafat. Selama di Baghdad beliau banyak menggunakan waktunya
untuk berdiskusi, mengajar, mengarang, dan mengulas buku-buku filsafat.
Diantara muridnya yang terkenal adalah Yahya ibnu Adi, seorang filosof Kristen.
Pada tahun 330 H/ 945 M, beliau pindah ke Damaskus, Syria dan berkenalan
dengan Saif Al-Daulah Al-Hamdani, Sultan Dinasti Hamdan di Aleppo. Sultan
tampaknya sangat terkesan dengan kealiman dan keintelektualan Al-Farabi,
sehingga beliau diberikan kedudukan yang baik dan diajak turut serta dalam
suatu pertempuran untuk merebut kota Damaskus. Kemudian beliau menetap di kota
ini sampai wafatnya pada tahun 337 H/ 950M pada usia 80 tahun.[3]
Mengenai tempat wafatnya Al-Farabi, Ibn Usaibi’ah menyebutkan bahwa
Al-Farabi wafat di Mesir, hal ini dikarenakan Al-Farabi mengunjungi Mesir
menjelang akhir hayatnya. Hal ini sangat mungkin, karena Mesir dan Syria
mempunyai hubungan yang kuat disepanjang rentangan sejarah yang cukup panjang,
dan kehidupan kebudayaan Mesir pada masa Thuluniyyah dan Ikhsyidiyyah yang
memang mempunyai pesona yang luar biasa. Tetapi tersiarnya kabar tentang
terbunuhnya Al-Farabi oleh beberapa perampok dalam perjalanannya antara
Damaskus- Asqalan sebagaimana dikutip Al-Baihaqi adalah rekaan belaka. Hal ini
dikarenakan Al-Farabi mencapai posisi yang sangat terpuji di Istana Sa’if
al-Daulah, sampai-sampai sang Raja bersama para pengikut dekatnya mengantarkan
jenazahnya ke pemakaman sebagai penghormatan atas kematian seorang sarjana
terkemuka.[4]
Sebagaimana filosof Yunani, Al-Farabi menguasai berbagai disiplin ilmu. Keadaan
ini didukung oleh ketekunan dan kerajinannya serta ketajaman otaknya.
Berdasarkan karya tulisnya, filosof muslim keturunan Persia ini menguasai matematika,
kimia, astronomi, musik, ilmu alam, logika, filsafat, bahasa, dan lain-lain.
Khusus bahasa, menurut suatu riwayat, Al-farabi menguasai 70 bahasa. Menurut
Ibrahim Madkur, riwayat ini lebih mendekati dongeng dibandingkan kenyataan yang
sebenarnya. Agaknya penilaian Madkur ini dapat dibenarkan karena Bahasa yang
berkembang dikala itu, termasuk Bahasa ibu Al-Farabi sendiri tidak akan cukup
70 macam.[5]
Al-Farabi adalah seorang tabib yang ternama, seorang ahli ilmu pasti dan
seorang filosof yang ulung. Beliau juga terkenal sebagai seorang ahli dalam
Bahasa-bahasa Yunani, Arab, Persia, Suria dan Turki. Beliau melebihi Al-Kindi,
baik dalam memberi penjelasan dan tafsir umum maupun dalam menerjemahkan dan
menusun kembali kitab-kitab filsafat Yunani. Dengan demikian, beliau dianggap
sebagai komentator yang paling terpelajar dan tajam pada karya-karya
Aristoteles.[6]
Al-Farabi benar-benar memahami filsafat Aristoteles, yang dijiluki al-Mu’alim
al-Awwal (Guru Pertama), sihingga tidak mengherankan bila Ibnu Sina yang
menyandang predikat al-Syeikh al-Ra’is (Kiyai Utama) mendapatkan kunci
dalam memahami filsafat Aristoteles dari buku Al-Farabi yang berjudul fi
Aghradhi ma ba’ad al-Thabi’at.
Al-Farabi dalam dunia intelektual islam mendapat kehormatan dengan
julukan al-Mu’allim al-Sany (Guru Kedua). Penilaian ini dihubungkan dengan
jasanya sebagai penafsir yang baik dari logika Aristoteles. Oemar Amin Hoesin
berargumen, seolah-olah Aristoteles dalam dunia filsafat telah usai dan tugas
kedua diemban Al-Farabi sebagai guru kedua. Agaknya kedua versi diatas dapat
diterima karena filsafat Yunani dapat dikatakan telah lenyap dari peredaran dan
Al-Farabi lah pelanjut dan pengembangnya, tetapi alasan logika lebih dominan.[7]
B. Gagasan/ Pemikiran Al-Farabi
1. Konsep Dasar Pendidikan Menurut Ibnu Al-Farabi
Menurut Al-Farabi pendidikan merupakan
media untuk mendapatkan serangkaian nilai, pengetahuan, serta keterampilan
praktis bagi individu dalam periode dan budaya tertentu guna membimbing
individu menuju kesempurnaan. Karena manusia yang sempurna menurut Al-Farabi
sebagaimana telah dipaparkan oleh Professor Ammar Al-Talbi dalam tulisannya
yang berjudul “Al-Farabi’s Doctrine of Education: Between Philosophy and
Sociological Theory”, adalah mereka yang telah mengetahui kebajikan secara
teoritis dan menjalankannya dalam praktik keseharian.
Pendidikan menurut Al-Farabi harus
menggabungkan antara teoritis dari belajar yang diaplikasikan dan tindakan
praktis. Menurutnya, kesempurnaan manusia terletak pada tindakannya yang sesuai
dengan teori yang dipahaminya. Ilmu tidak akan memiliki arti kecuali jika ilmu
itu dapat diterapkan dalam kenyataan pada masyarakat. Karenanya, jika ilmu
tidak diterapkan maka ilmu tidak akan berguna.
Penekanan pendidikan dalam pandangan
Al-Farabi adalah akal budi. Ia menyarankan bahwa anak yang bertabiat tidak baik
dapat diluruskan dengan cara penanaman pendidikan akhlak. Untuk anak yang
tingkat intelegensinya rendah dapat dicerdaskan melalui metode yang diberikan
secara berulang-ulang. Sedangkan untuk anak yang cerdas dan bertabiat baik,
menurut Al-Farabi, hendaknya disikapi dengan penuh penghargaan. Karena
bagaimanapun menurutnya, yang harus diprioritaskan bagi setiap anak adalah
pembinaan akhlak. Sebab, akhlak merupakan modal dasar untuk segala macam
disiplin ilmu lainnya.
Menurut Al-Farabi metode dalam mengajar ada
dua macam, Pertama, untuk menimbulkan rasa keshalehan dan mengamalkan
ilmu seperti metode yang meyakinkan, yaitu bahwa murid harus mengakuinya sebagai
miliknya dan mengamalkannya secara spontan. Kedua, seorang guru harus
menggunakan metode pemaksaan yang ditujukan untuk mereka yang tidak merasa
memiliki perasaan sebagai penduduk dan mereka yang tidak memiliki kesadaran
terhadap keberadaan dirinya.
Sedangkan tujuan pembelajaran menurut
Al-Farabi yaitu sesuai dengan fungsi setiap ilmu, dan sesuai dengan
partisipasinya dalam pendidikan manusia ; ilmu mantiq (logika) berfungsi untuk
membangun akal dan menguatkan manusia; ilmu alam memandang tubuh yang alamiah dan dalam pertumbuhannya,
serta sebab-sebab kekuatanya; tujuan ilmu ketuhanan adalah memerangi prasangka
yang jelek, yang menyangka bahwasanya Allah SWT memiliki kekurangan dalam
perbuatan-Nya dan dalam eksistensi penciptaanya; ilmu kenegaraan membahas
tentang pembagian kerja (jonb description) dan peraturan kekuasaan, serta
tentang kerajaan dan etika, dengan tujuan utamanya adalah membahagiaakan
masyarakat.
Terkait dengan berbagai tujuan tersebut,
Al-Farabi membatasi pemahaman kurikulum dengan ilmu pembahasan utama, dan dalam
setiap pembahasan terdapat tahapan dari berbagai ilmu, yaitu : pertama, ilmu
speaking dan berbagai macamnya ; kedua, ilmu logika dengan berbagai macamnya;
ketiga, ilmu pendidikan yang mencakup ilmu hitung, arsitek, ilmu debat, ilmu
perbintangan, ilmu pembelajaran, musik,
dan yang lainnya; keempat, ilmu alam dengan berbagai macamnya dan ilmu
ketuhanan dengan berbagai macamnya; dan kelima, ilmu kenegaraan dengan dengan
berbagai macamnya, ilmu fiqih dan ilmu kalam.
2. Rekonsiliasi Al-Farabi
Al-Farabi telah berhasil merekonsiliasikan
beberapa ajaran filsafat sebelumnya, seperti Plato dan Aristoteles dan juga antara
agama dan filsafat. Oleh karena itu, ia dikenal filosof sinkretisme yang
mempercayai kesatuan filsafat.[8]
Al-Farabi berhasil menyusun dasar-dasar
falsafat atas keyakinan tauhid menurut islam. Beliaulah yang mula-mula
menyatakan bahwa tidak ada perbedaan antara filsafat Plato dengan filsafat
Aristoteles, karena meskipun berlainan kedua jalan pikirannya, tetapi bersatu
dalam tujuan dan hakekatnya.[9]
Pendiriannya ini Nampak jelas pada karangan-karangannya, terutama dalam buku
yang berjudul Al-Jam’u baina Ra’yai al-Hakimain (Penggabungan Pikiran
Kedua Filosof, Plato dan Aristoteles).[10]
Cara Al-Farabi menyatukan kedua filosof
diatas ialah dengan memajukan pemikiran masing-masing filosof yang cocok dengan
pemikirannya. Seperti dalam membicarakan masalah ide yang menjadikan bahan
polemik antara Aristoteles dan Plato. Filosof yang disebut pertama tidak dapat
membenarkannya, karena menurutnya alam ide hanya ada dalam pikiran. Sedangkan
filosof yang disebut kedua mengakui adanya dan berdiri sendiri.
Untuk mempertemukan kedua filosof ini,
Al-Farabi menggunakan Interpretasi batini, yakni dengan menggunakan
takwil bila ia menemui pertentangan pikiran antara keduanya. Kemudian ia
tegaskan lebih lanjut, sebenarnya Aristoteles mengakui alam rohani yang
terdapat diluar alam ini dan perkataannya yang mengingkari alam rohani tersebut
masih dapat ditakwilkan. Jadi, kedua filosof tersebut sama-sama mengakui adanya
ide-ide pada dzat Allah.
Sebenarnya, Al-Farabi telah keliru
menganggap tidak terdapat perbedaan Antara Aristoteles dengan Plato. Letak
kekeliruannya adalah ketika beliau menduga bahwa buku Theologia
(al-Rububiyyat) merupakan karangan Aristoteles, padahal sesungguhnya buku
tersebut adalah karya Plotinus, yang berisikan penetapan alam ide yang terletak
bukan pada benda. Dengan demikian, pada hakikatnya Al-Farabi merekonsiliasikan
antara Plato dan Plotinus, bukan antara Plato dan Aristoteles.[11]
Disamping itu, terlihat pula usaha
Al-Farabi merekonsiliasikan antara agama dan filsafat. Filsafat dan agama
baginya dua perkara yang bersatu padu, dan tidak dapat dipisahkan, karena
keduanya mencari dan menuju kepada kebenaran, dan antara kebenaran tidak ada
perbedaan. Beliau berpendapat bahwa filsafat dan agama berdasarkan atas
kebenaran, yang ditinjau dari sudut yang berlainan. Masing-masing menempuh cara
dan jalan tersendiri, filsafat menuju kepada kebenaran menempuh jalan yang
berlainan dengan jalan yang ditempuh agama. Sementara agama menempuh jalan
wahyu dan kebersihan diri, filsafat menempuh jalan pemikiran dan dasar logika,
sementara filsafat membuahkan hakekat untuk suatu golongan ahli pikir, agama
membuahkan kebenaran untuk seluruh manusia.[12]
Oleh karena itu, menurut Al-Farabi tidaklah
berbeda Antara kebenaran yang disampaikan oleh para nabi dengan kebenaran yang
dimajukan filosof, dan Antara ajaran islam dengan filsafat Yunani. Akan tetapi,
hal ini tidak berarti Al-Farabi menerima kelebihan filsafat dari agama.[13]
3. Pemikiran Ketuhanan
Al-Farabi dalam pembahasan tentang
ketuhanan mengompromikan Antara filsafat Aristoteles dan Neo-Platonisme, yakni Al-Maujud
al-Awwal (Wujud Pertama) sebagai sebab pertama bagi segala yang ada. Konsep
ini tidak bertentangan dengan keesaan yang mutlak dalam ajaran islam.
Dalam membuktikan adanya Allah Al-Farabi
mengemukakan dalil Wajib al-Wujud dan mumkin al-wujud. Menurutnya
segala yang ada ini hanya dua kemungkinan dan tidak ada alternative yang
ketiga, yakni wajib al-Wujud dan mumkin al-wujud.
Adapun yang dimaksud dengan wajib
al-wujud adalah wujudnya tidak boleh tidak mesti ada, ada dengan
sendirinya, karena natur-nya sendiri yang menghendaki wujudnya. Esensinya tidak
dapat dipisahkan dari wujud, keduanya adalah sama dan satu. Ia adalah wujud
yang sempurna dan adanya tanpa sebab dan wujudnya tidak terjadi karena lainnya.
Ia ada selamanya dan tidak didahului oleh tiada. Jika wujud ini tidak ada, maka
akan timbul kemustahilan karena wujud lain untuk adanya bergantung kepadanya. Wajib
al-wujud inilah yang disebut dengan Allah. Sementara yang dimaksud dengan mumkin
al-wujud ialah sesuatu yang sama Antara berwujud dan tidak.
Tentang sifat-sifat Allah Al-Farabi sejalan
pendapatnya dengan Mu’azilah, yakni sifat Allah tidak berbeda dengan zat-Nya
(substansi-Nya). Allah, bagi Al-Farabi adalah ‘Aql murni. Ia Esa adanya
dan yang menjadi objek pemikiran-Nya hanya substansi-Nya. Ia tidak memerlukan
sesuatu yang lain untuk memikirkan substansi-Nya, tetapi cukup substansi-Nya
sendiri. Jadi Allah adalah ‘Aql, ‘Aqil, dan Ma’qul (Akal,
substansi yang berpikir, dan substansi yang dipikirkan).
Tentang ilmu Allah, pemikiran Al-Farabi
terpengaruh oleh Aristoteles yang mengatakan bahwa Allah tidak mengetahui dan
tidak memikirkan alam. Pemikiran ini dikembangkan Al-Farabi dengan mengatakan
bahwa Allah tidak mengetahui yang juz’iyyati (particular). Menurutnya,
bahwa pengetahuan Allah tentang yang rinci tidak sama dengan pengetahuan
manusia. Pengetahuan-Nya tentang juz’i tidak secara langsung, melainkan
lewat kulli sebagai sebab bagi yang juz’i.
Al-Farabi juga mengemukakan ayat-ayat
Al-Qur’an dalam rangka menyucikan Allah dari bersifat. Ayat-ayat tersebut ialah
surat Asy-Syura: 42 dan surat As-Shaffat: 180.
Tentang asma al-husna, menurut
Al-Farabi kita boleh saja menyebutkan nama-nama tersebut sebanyak yang kita
inginkan tetapu nama tersebut tidak menunjukan adanya bagian-bagian pada dzat
Allah atau sifat-sifat yang berbeda dari dzat-Nya.[14]
4. Emanasi
Faktor yang mendorong Al-Farabi
mengemukakan emanasi ini tampaknya Al-Farabi ingin menegaskan tentang keesaan
Allah, bahkan melebihi Al-Kindi.
Emanasionisme Al-Farabi adalah cangkokan
doktrin Plotinus yang dikombinasikan dengan system kosmologi Ptalomeus sehingga
menimbulkan kesan bahwa Al-Farabi hanya mengalihbahasakan dari Bahasa
sebelumnya kedalam Bahasa arab. Menurut Nurcholish Madjid, Al-Farabi
mempelajari dan mengambil ramuan asing ini terutama karena paham ketuhanannya
memberikan kesan tauhid.[15]
Emanasi melahirkan alam kadim dari segi
zaman (taqaddum zamany), bukan dari segi dzat (taqaddum zaty).
Karena alam dijadikan Allah secara emanasi sejak azali tanpa diselangi oleh
waktu, namun ia sebagai hasil ciptaan, berarti ia baharu.
Struktur emanasi Al-Farabi dipengaruhi oleh
temuan saintis saat itu, yakni Sembilan planet dan satu bumi. Karenanya, beliau
membutuhkan sepuluh akal, setiap satu akal mengurusi satu planet termasuk bumi.[16]
5. Pemikiran Kenabian
Filsafat kenabian Al-farabi erat kaitannya
Antara nabi dan filosof dalam kesanggupannya untuk mengadakan komunikasi dengan
akal fa’al. Motif lahirnya filsafat Al-Farabi ini disebabkan adanya pengingkaran
terhadap eksistensi kenabian secara filosofis oleh Ahmad ibn Ishaq Al-Ruwandi.
Al-Farabi adalah filosof muslim pertama
yang mengemukakan filsafat kenabian secara lengkap, sehingga hamper tidak ada
penambahan oleh filosof-filosof sesudahnya. Filsafat ini didasarkan pada
psikologi dan metafisika yang erat hubungannya dengan ilmu politik dan etika.
Menurut Al-Farabi, manusia dapat
berhubungan dengan akal fa’al (Jibril) melalui dua cara, yakni penalaran
atau renungan pemikiran dan imajinasi atau inspirasi (ilham). Cara pertama
hanya dapat dilakukan oleh para filosof yang dapat menembus alam materi dan
dapat mencapai cahaya ketuhanan, sedangkan cara kedua hanya dapat dilakukan
oleh nabi.
Jadi ciri khas seorang nabi oleh Al-Farabi
ialah mempunyai daya imajinasi yang kuat dan ketika berhubungan dengan akal fa’al
ia dapat menerima visi dan kebenaran-kebenaran dalam bentuk wahyu. Wahyu
tidak lain adalah limpahan dari Allah melalui akal fa’al (akal kesepuluh) yang
dalam penjelasan Al-Farabi adalah Jibril. Sementara filosof dapat berkomunikasi
dengan Allah melalui akal perolehan yang telah terlatih dan kuat daya
tangkapnya sehingga sanggup menangkap hal-hal yang bersifat abstrak murni dari
akal kesepuluh.
Oleh karena itu, setiap nabi adalah filosof
dan tidak setiap filosof adalah nabi. Akan tetapi filosof tidak bisa menjadi
nabi, yang selamanya nabi tetap manusia pilihan Allah.
Al-Farabi menekankan bahwa kebenaran wahyu
tidak bertentangan dengan pengetahuan filsafat sebab Antara keduanya sama-sama
mendapatkan dari sumber yang sama, yakni akal fa’al. demikian pula tentan
mukjizat sebagai bukti kenabian, menurut Al-Farabi, dapat terjadi dan tidak
bertentangan dengan hukum alam karena sumber hukum alam dan mukjizat sama-sama
berasal dari akal kesepuluh sebagai pengatur dunia ini.[17]
6. Pemikiran Kenegaraan
Al-Farabi dalam bukunya Ara’u Ahl
al-Madinah al-Fadhilah (Negara Utama) memperbandingkan masyarakat dengan
badan manusia.[18]
Masyarakat yang sudah lengkap bagian-bagiannya diibaratkan sebagai organisme
tubuh manusia dengan anggotanya yang lengkap. Masing-masing organ tubuh harus
bekerja sesuai dengan fungsinya. Apabila satu organ tubuh sakit, organ tubuh
yang lain akan merasakan penderitaan dan akan menjaganya. Demikian pula anggota
masyarakat Negara Utama, yang terdiri dari warga yang berbeda kemampuan dan
fungsinya, hidup saling membantu atau dengan kata lain senasib dan
sepenanggungan. Masing masing harus diberikan pekerjaan yang sesuai dengan
kemampuan dan spesialisasi mereka. Dengan kata lain, saling membantu dan
bekerjasama bukan hanya antar warga Negara, tetapi juga antar Negara dan
warganya.[19]
Al-Farabi menegaskan bahwa Negara yang
utama ialah Negara yang memperjuangkan kemakmuran dan kebahagiaan warga
negaranya.[20]
Pokok filsafat kenegaraan Al-Farabi ialah
autokrasi dengan seorang raja yang berkuasa mutlak mengatur Negara. Menurut
beliau Negara yang utama ialah kota (Negara) yang warga-warganya tersusun
menurut susunan alam besar (makrokosmos) atau menurut susunan alam kecil
(mikrokosmos). Didalam Negara yang terpenting adalah kepala Negara.
Dimisalkannya dengan hati, yaitu yang terpenting dalam diri manusia. Karena
hati adalah unsur badan manusia yang paling sempurna, maka kepala Negara juga
haruslah dipilih orang yang paling sempurna dari semua warga Negara.
Mengenai etika kenegaraan, Al-Farabi
mengemukakan suatu ide yang mengemukakan bahwa dalam tiap keadaan ada unsur
pertentangan. Hal itu seperti dalam alam, yang kuat berarti lebih sempurna dari
yang lemah.[21]
7. Pemikiran Jiwa
Bagi Al-Farabi jiwa manusia mempunyai
daya-daya sebagai berikut:
a. Daya al-Muharrikat (gerak), daya ini yang mendorong untuk makan,
memelihara, dan berkembang.
b. Daya al-Mudrikat (mengetahui), daya ini yang mendorong untuk
merasa dan berimajinasi.
c. Daya al-Nathiqat (berpikir), daya ini yang mendorong untuk
berpikir secara teoritis dan praktis.
8. Pemikiran/ Teori tentang Akal
Teori Al-Farabi tentang akal, didasarkan
pada Aristoteles. Al-Farabi secara tegas menyatakan bahwa teorinya itu bertumpu
pada bagian ketiga dari De Anima-nya Aristoteles, tetapi beliau sendiri
mempunyai andil dalam teori ini. Konsepsinya tentang akal berbeda dari
Aristoteles, karena teori itu hamper tercirikan dengan intelegensi-intelegensi
yang terpisah, dan bertindak sebagai penghubung antara pengetahuan manusia dan
wahyu. Dengan demikian, berbeda dari teori Alexander dari Aphrodisias dan
al-Kindi, dan itu adalah hasil dari kecenderungan mistis Al-Farabi dan
penyandarannya pada sistem Plotinus.
C. Karya-karya Al-Farabi
Al-Farabi meninggalkan sejumlah besar tulisan yang penting. Karya
Al-Farabi ini dapat dibagi menjadi dua, pertama mengenai bidang logika, dan kedua
mengenai bidang lain. Karya-karya tentang logika menyangkut bagian-bagian
berbeda dari organon-nya Aristoteles, baik yang berbentuk komentar
maupun ulasan panjang. Kebanyakan tulisan ini masih berupa naskah. Sedangkan
karya-karya kelompok kedua menyangkut berbagai cabang pengetahuan filsafat,
fisika, matematika, metafisika, etika dan politik. Didalam kelompok ini, studi
ilmiah yang sebenarnya tidak dilakukan, Al-Farabi malah tidak menyinggung
masalah kedokteran dan pembahasannya tentang kimia, tetapi cenderung sekedar
mempertahankan pendapat daripada bentuk penelitian dan analistis.[22]
Jika ditinjau dari ilmu pengetahuan, karya-karya Al-Farabi dapat
ditinjau menjadi 6 bagian, yaitu:
1. Logika
2. Ilmu-ilmu Matematika
3. Ilmu Alam
4. Theologi
5. Ilmu Politik dan Kenegaraan
6. Bunga Rampai (Kutub Munawa’ah)
Karangan Al-Farabi tidak kurang dari 128 buah kitab, yang kebanyakan
mengenai filsafat Yunani. Dalam karyanya Ihsan ul-Ulum (Ecyclopedia of
Science), beliau memberikan suatu tinjauan umum dari segala sains. Buku ini
terkenal di Barat sebagai De Scientiis dari terjemahan Latin oleh Gerard
Cremona.
Sebagian besar karangan Al-Farabi terdiri dari ulasan dan penjelasan
terhadap Aristoteles, Plato, dan Galenus dalam bidang-bidang logika, fisik, dan
metafisika. Meskipun banyak tokoh filsafat yang diulas pemikirannya, namun
beliau lebih terkenal sebagai pengulas Aristoteles.
Diantara karangan-karangannya ialah:
1. Aghdlu ma Ba’da at-Thabi’ah (Intisari Buku Metafisika).
2. Al-Jam’u baina Ra’yai al-Hakimain (Mempertemukan Pendapat Kedua Filosof;
Plato dan Aristoteles).
3. Tahsil As-Sa’adah (Mencari Kebahagiaan).
4. ‘Uyun ul-Masail (Pokok-pokok Persoalan).
5. Ara-u Ahl al-Madinah al-Fadhilah (Pikiran-pikiran Penduduk Kota Utama
Negeri Utama).
6. Ihsha’u al-Ulum (Statistik Ilmu).[23]
7. Risalat fi Isbat al-Mufaraqat.
8. Maqalat fi Ma’any al-‘Aql.
9. Fushul al-Hukm.
10. Al-Siyasat al-Madaniyyat.
11. Risalat al-‘Aql dan lain-lain.[24]
Dalam buku Ihsha’u al-Ulum, Al-Farabi membicarakan macam-macam ilmu dan
bagiannya, yaitu ilmu-ilmu Bahasa (ilm al-lisan), ilmu mantik, ilmu matematika
(at-taalim), ilmu fisika (al-ilm at-tabi’), ilmu ketuhanan (al-ilm al-illahi),
ilmu kekotaan, politik, ilmu fiqh (ilm al-fiqh), dan ilmu kalam. Nampaknya
ilmu-ilmu tersebut telah dikemukakan oleh orang-orang sebelumnya. Hanya saja
Al-Farabi menambahkan dua cabang ilmu lagi, yaitu ilmu fiqh dan ilmu kalam,
sebagai ilmu-ilmu keislaman yang mendapat perhatian besar pada masanya.[25]
Ibn Khalikan berpendapat bahwa Al-Farabi menulis hampir semua bukunya di
Baghdad dan Damaskus. Tidak terdapat tanda-tanda bahwa ia pernah menulis buku
pada usia sebelum lima puluh tahun. Beberapa sarjana telah berusaha menulis
daftar kronologis karya-karyanya, tetapi orang dapat menyangsikan nilai daftar
seperti itu, karena seluruh karyanya ditulis pada tiga puluh tahun terakhir
dari masa hidupnya ketika ia mulai menulis sebagai filosof yang sepenuhnya
telah matang dan tentu tidak diperoleh suatu perubahan atau perkembangan dalam
pemikiran atau doktrinnya selama periode ini.
Langgam Al-Farabi bersifat ringkas dan tepat. Beliau secara hati-hati
memilih kata-kata dan pernyataan-pernyataannya, sebagaimana ketika beliau
secara mendalam memikirkan pendapat-pendapat dan pemikiran-pemikirannya.
Ungkapan-ungkapannya mempunyai arti yang menghunjam. Al-Farabi mempunyai
langgam yang istimewa, siapapun yang terbiasa dengannya, akan mengakui hal ini.
Beliau menghindari pengulangan dan penambahan yang berlebihan serta lebih
senang dengan hal-hal yang ringkas.
Metode yang beliau pakai hampir sama dengan langgam yang dimilikinya.
Beliau mengumpulkan dan menggeneralisasi, menyusun dan menyelaraskan,
menganalisis untuk menulis, membagi dan membagi lagi agar terpusat dan
terkelompokkan. Dalam beberapa tulisannya, pembagian dan penggolongan tampak hanya
sebagai tujuan belaka.
Karya-karya Al-Farabi tersebar luas di Timur pada abad ke-4 dan 5 H/
ke-10 dan 11 M, dan mungkin mencapai Barat ketika sarjana-sarjana Andalusia
menjadi pengikut Al-Farabi. Beberapa tulisannya juga telah diterjemahkan
kedalam Bahasa Yunani dan Latin, serta telah mempengaruhi sarjana Yahudi dan
Kristen. Karya-karya ini telah diterbitkan pada sepuluh tahun terakhir abad
ke-13 H/ ke-19 M, dan beberapa diantaranya diterjemahkan kedalam berbagai
Bahasa Eropa modern.[26]
BAB III
ANALISIS PEMIKIRAN DAN KARYA AL-FARABI
Menurut
pendapat saya, pemikiran Al-Farabi mengenai pendidikan, sangat sesuai dengan konsep
pendidikan yang berjalan saat ini, yakni dengan mengedepankan pendidikan akhlak
atau sering disebut pendidikan karakter. Saya pun setuju dengan pendapat
beliau, karena akhlak merupakan modal dasar untuk berbagai disiplin ilmu
lainnya, maka dari itu akhlak peserta didik sangat perlu dibina. Secerdas
apapun peserta didik, jika dia memiliki akhlak yang tidak baik, maka dia akan
memanfaatkan kecerdasannya itu pada hal-hal yang negatif dan merugikan, baik
bagi dirinya maupun orang lain.
Selain itu,
menurut Al-Farabi pendidikan harus menggabungkan antara teoritis dari belajar
yang diaplikasikan dan tindakan praktis atau dalam kata lain harus seimbang antara
pemahaman dengan pengaplikasian. Mengenai hal ini pun saya sependapat dengan
beliau, karena memang ilmu itu harus diamalkan/ diaplikasikan dalam kehidupan
sehari-hari, jika ilmu tidak diamalkan, maka ilmu tersebut tidak akan barokah
dan dapat dikatakan tidak memiliki arti atau tidak berguna.
Selain dalam
pendidikan secara umum, pemikiran Al-Farabi sangat kental dalam ilmu filsafat.
Pemikirannya dalam bidang filsafat dipengaruhi oleh filsafat Aristoteles,
Plato, dan Plotinus. Namun meskipun begitu, beliau telah berhasil mengembangkan
dan memperdalamnya sehingga dapat dikatakan hasil filsafatnya sendiri. Beliau
juga menciptakan filsafat sendiri yang belum dibicarakan oleh filosof Yunani.
Dengan demikian, beliau telah berhasil menciptakan filsafat Islam yang
mempunyai ciri khas sendiri. Filsafat Al-Farabi juga begitu kompleks, sehingga
apa yang dibicarakan oleh filosof muslim sesudahnya hampir sudah pernah
disinggung oleh Al-Farabi. Pemikiran Al-Farabi juga mempunyai gagasan-gagasan
yang modern dan kontemporer, sehingga dapat juga diaplikasikan pada zaman
sekarang ini.
Karya-karya
Al-Farabi, cenderung sekedar mempertahankan pendapat daripada bentuk penelitian
dan analistis, sehingga karya-karyanya kurang bersifat ilmiah. Namun meskipun
begitu, karya-karyanya tersebut bersifat ringkas dan tepat sehingga dapat lebih
mudah dipahami.
Al-Farabi
memiliki keinginan serta kekuatan dalam berfilsafat, namun disamping itu
Al-Farabi juga memiliki kelemahan dalam politik kenegaraan, hal ini disebabkan
karena beliau lebih sibuk dalam urusan menimba ilmu pengetahuan untuk
mengembangka ilmu-ilmunya. Maka dari itu, sebaiknya beliau lebih ikut serta
dalam kegiatan kenegaraan. Karena sebagaimana kita ketahui bahwa kiita hidup
dan tinggal dalam wilayah suatu Negara yang memiliki pemerintahan.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Nama lengkap Al-Farabi adalah Abu Nashr Muhammad ibnu Muhammad ibnu
Tarkhan ibnu Auzalagh. Al-Farabi dilahirkan di Wasij, Distrik Farab, Turkistan
pada tahun 257 H/ 870 M. Ayahnya seorang jendral berkebangsaan Persia dan
ibunya berkebangsaan Turki. Dalam usia 40 tahun Al-Farabi pergi ke Baghdad,
untuk belajar kaidah-kaidah Bahasa Arab dan belajar logika serta belajar
filsafat. Kemudian, beliau pindah ke Harran, pusat kebudayaan Yunani di Asia
Kecil dan berguru kepada Yuhanna ibnu Jailan. Akan tetapi, tidak berapa lama
beliau kembali ke Baghdad untuk memperdalam ilmu filsafat. Pada tahun 330 H/
945 M, beliau pindah ke Damaskus, Syria dan menetap di kota ini sampai wafatnya
pada tahun 337 H/ 950M pada usia 80 tahun.
2. Pemikiran pendidikan Al-Farabi lebih menekankan pada pendidikan akal
budi. Pemikiran filsafat Al-Farabi terpengaruh oleh filsafat aristoteles,
Plato, dan Plotinus, namun beliau telah berhasil mengembangkan dan
memperdalamnya sehingga dapat dikatakan hasil pemikirannya sendiri. Dengan
demikian beliau telah berhasil menciptakan filsafat islam yang mempunyai ciri
khas tersendiri. Seperti dalam pemikiran-pemikiran yang telah dijelaskan
diatas.
3. Al-Farabi meninggalkan sejumlah besar tulisan yang penting. Karangan
Al-Farabi tidak kurang dari 128 buah kitab, yang kebanyakan mengenai filsafat
Yunani. Karya-karya Al-Farabi tersebar luas di Timur pada abad ke-4 dan 5 H/
ke-10 dan 11 M, dan mungkin mencapai Barat ketika sarjana-sarjana Andalusia
menjadi pengikut Al-Farabi.
B. Saran
Penulis sadar, dalam penulisan makalah ini masih terdapat banyak kekurangan.
Maka dari itu, saya sebagai penulis sangat mengharapkan saran dan kritikan demi
kesempurnaan penulisan makalah selanjutnya.
[1] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta:
PT Rajagrafindo Persada, 2010), hlm. 65.
[3] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta:
PT Rajagrafindo Persada, 2010), hlm. 65-66.
[5] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta:
PT Rajagrafindo Persada, 2010), hlm. 66.
[7] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta:
PT Rajagrafindo Persada, 2010), hlm. 67.
[8] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta:
PT Rajagrafindo Persada, 2010), hlm. 68.
[11] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta:
PT Rajagrafindo Persada, 2010), hlm. 68-89.
[13] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta:
PT Rajagrafindo Persada, 2010), hlm. 70.
[14] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta:
PT Rajagrafindo Persada, 2010), hlm. 70-74.
[16] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta:
PT Rajagrafindo Persada, 2010), hlm. 77-78.
[17] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta:
PT Rajagrafindo Persada, 2010), hlm. 78-81.
[19] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta:
PT Rajagrafindo Persada, 2010), hlm. 83-84.
[21] Poerwantana, dkk, Seluk-Beluk Filsafat Islam, (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 1993), hlm. 139-140.
[24] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta:
PT Rajagrafindo Persada, 2010), hlm. 68.
If you're attempting to lose fat then you have to start using this totally brand new personalized keto plan.
ReplyDeleteTo produce this keto diet, certified nutritionists, fitness trainers, and top chefs have joined together to develop keto meal plans that are effective, suitable, money-efficient, and delicious.
Since their first launch in 2019, 100's of people have already completely transformed their figure and health with the benefits a professional keto plan can provide.
Speaking of benefits: clicking this link, you'll discover 8 scientifically-confirmed ones provided by the keto plan.