Makalah Tokoh Islam Al-Farabi

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Al-Farabi merupakan filosof kedua setelah Aristoteles. Dimana dalam kehidupannya, Al-Farabi selalu menimba ilmu pengetahuan baik ilmu agama maupun umum. Pendidikan bagi Al-Farabi adalah sesuatu yang pantas untuk diperjuangkan. Dalam usaha ingin memperbaiki keadaan negerinya beliau melahirkan suatu ide tentang pendidikan yang didasarkan oleh filsafat Plato dan Aristoteles. Dengan kegigihannya dalam berbagai ilmu, Al-Farabi mampu disebut dengan ahli filsafat. Dimana filsafat Al-Farabi lebih islami dan sesuai dengan Al-Qur’an.
Al-Farabi juga sangat menginginkan bangsanya dapat bergulat dalam hidup, sehingga membawanya pada kemampuan untuk melihat realitas yang sesungguhnya. Oleh karena itu, beliau membuat suatu pemikiran konsep pendidikan dan pemikiran-pemikiran lainnya seperti rekonsiliasi Al-Farabi, pemikiran ketuhanan, pemikiran kenabian, pemikiran kenegaraan, pemikiran tentang jiwa, pemikiran akal dan emanasi.
Untuk lebih jelasnya mengenai hal-hal diatas, maka dalam makalah ini penulis akan mengulas mengenai riwayat hidup (biografi), pemikiran/ gagasan, serta karya-karya dari Al-Farabi.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana riwayat hidup Al-Farabi?
2.      Bagaimana gagasan/ pemikiran Al-Farabi?
3.      Apa saja karya-karya Al-Farabi?
C.    Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui riwayat hidup Al-Farabi.
2.      Untuk mengetahui gagasan/ pemikiran Al-Farabi
3.      Untuk mengetahui karya-karya Al-Farabi.


BAB II              
PEMBAHASAN
A.    Riwayat Hidup Al-Farabi
Nama lengkap Al-Farabi adalah Abu Nashr Muhammad ibnu Muhammad ibnu Tarkhan ibnu Auzalagh. Beliau dilahirkan di Wasij, Distrik Farab, Turkistan pada tahun 257 H/ 870 M. Ayahnya seorang jendral berkebangsaan Persia dan ibunya berkebangsaan Turki. Oleh sebab itu, terkadang beliau dikatakan keturunan Persia dan terkadang beliau disebut keturunan Turki. Akan tetapi, sesuai ajaran islam yang mendasarkan keturunan pada pihak ayah, maka lebih tepat beliau disebut keturunan Persia. Sebutan Al-Farabi sendiri diambil dari nama kota dimana beliau dilahirkan, yakni kota Farab.
Kendatipun Al-Farabi merupakan orang terkemuka dikalangan filosof muslim, ternyata informasi tentang dirinya sangat terbatas. Beliau tidak merekam liku-liku kehidupannya, begitu juga murid-muridnya. Menurut beberapa literatur, Al-Farabi dalam usia 40 tahun pergi ke Baghdad, sebagai pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan dunia dikala itu. Beliau belajar kaidah-kaidah Bahasa arab kepada Abu Bakar Al-Saraj dan belajar logika serta filsafat kepada orang Kristen yakni Abu Bisyr Mattius ibnu Yunus. Kemudian, beliau pindah ke Harran, pusat kebudayaan Yunani di Asia Kecil dan berguru kepada Yuhanna ibnu Jailan. Akan tetapi, tidak berapa lama beliau kembali ke Baghdad untuk memperdalam ilmu filsafat. Selama di Baghdad beliau banyak menggunakan waktunya untuk berdiskusi, mengajar, mengarang, dan mengulas buku-buku filsafat. Diantara muridnya yang terkenal adalah Yahya ibnu Adi, seorang filosof Kristen.
Pada tahun 330 H/ 945 M, beliau pindah ke Damaskus, Syria dan berkenalan dengan Saif Al-Daulah Al-Hamdani, Sultan Dinasti Hamdan di Aleppo. Sultan tampaknya sangat terkesan dengan kealiman dan keintelektualan Al-Farabi, sehingga beliau diberikan kedudukan yang baik dan diajak turut serta dalam suatu pertempuran untuk merebut kota Damaskus. Kemudian beliau menetap di kota ini sampai wafatnya pada tahun 337 H/ 950M pada usia 80 tahun.[3]
Mengenai tempat wafatnya Al-Farabi, Ibn Usaibi’ah menyebutkan bahwa Al-Farabi wafat di Mesir, hal ini dikarenakan Al-Farabi mengunjungi Mesir menjelang akhir hayatnya. Hal ini sangat mungkin, karena Mesir dan Syria mempunyai hubungan yang kuat disepanjang rentangan sejarah yang cukup panjang, dan kehidupan kebudayaan Mesir pada masa Thuluniyyah dan Ikhsyidiyyah yang memang mempunyai pesona yang luar biasa. Tetapi tersiarnya kabar tentang terbunuhnya Al-Farabi oleh beberapa perampok dalam perjalanannya antara Damaskus- Asqalan sebagaimana dikutip Al-Baihaqi adalah rekaan belaka. Hal ini dikarenakan Al-Farabi mencapai posisi yang sangat terpuji di Istana Sa’if al-Daulah, sampai-sampai sang Raja bersama para pengikut dekatnya mengantarkan jenazahnya ke pemakaman sebagai penghormatan atas kematian seorang sarjana terkemuka.[4]
Sebagaimana filosof Yunani, Al-Farabi menguasai berbagai disiplin ilmu. Keadaan ini didukung oleh ketekunan dan kerajinannya serta ketajaman otaknya. Berdasarkan karya tulisnya, filosof muslim keturunan Persia ini menguasai matematika, kimia, astronomi, musik, ilmu alam, logika, filsafat, bahasa, dan lain-lain. Khusus bahasa, menurut suatu riwayat, Al-farabi menguasai 70 bahasa. Menurut Ibrahim Madkur, riwayat ini lebih mendekati dongeng dibandingkan kenyataan yang sebenarnya. Agaknya penilaian Madkur ini dapat dibenarkan karena Bahasa yang berkembang dikala itu, termasuk Bahasa ibu Al-Farabi sendiri tidak akan cukup 70 macam.[5]
Al-Farabi adalah seorang tabib yang ternama, seorang ahli ilmu pasti dan seorang filosof yang ulung. Beliau juga terkenal sebagai seorang ahli dalam Bahasa-bahasa Yunani, Arab, Persia, Suria dan Turki. Beliau melebihi Al-Kindi, baik dalam memberi penjelasan dan tafsir umum maupun dalam menerjemahkan dan menusun kembali kitab-kitab filsafat Yunani. Dengan demikian, beliau dianggap sebagai komentator yang paling terpelajar dan tajam pada karya-karya Aristoteles.[6]
Al-Farabi benar-benar memahami filsafat Aristoteles, yang dijiluki al-Mu’alim al-Awwal (Guru Pertama), sihingga tidak mengherankan bila Ibnu Sina yang menyandang predikat al-Syeikh al-Ra’is (Kiyai Utama) mendapatkan kunci dalam memahami filsafat Aristoteles dari buku Al-Farabi yang berjudul fi Aghradhi ma ba’ad al-Thabi’at.
Al-Farabi dalam dunia intelektual islam mendapat kehormatan dengan julukan al-Mu’allim al-Sany (Guru Kedua). Penilaian ini dihubungkan dengan jasanya sebagai penafsir yang baik dari logika Aristoteles. Oemar Amin Hoesin berargumen, seolah-olah Aristoteles dalam dunia filsafat telah usai dan tugas kedua diemban Al-Farabi sebagai guru kedua. Agaknya kedua versi diatas dapat diterima karena filsafat Yunani dapat dikatakan telah lenyap dari peredaran dan Al-Farabi lah pelanjut dan pengembangnya, tetapi alasan logika lebih dominan.[7]
B.     Gagasan/ Pemikiran Al-Farabi
1.      Konsep Dasar Pendidikan Menurut Ibnu Al-Farabi
Menurut Al-Farabi pendidikan merupakan media untuk mendapatkan serangkaian nilai, pengetahuan, serta keterampilan praktis bagi individu dalam periode dan budaya tertentu guna membimbing individu menuju kesempurnaan. Karena manusia yang sempurna menurut Al-Farabi sebagaimana telah dipaparkan oleh Professor Ammar Al-Talbi dalam tulisannya yang berjudul “Al-Farabi’s Doctrine of Education: Between Philosophy and Sociological Theory”, adalah mereka yang telah mengetahui kebajikan secara teoritis dan menjalankannya dalam praktik keseharian.
Pendidikan menurut Al-Farabi harus menggabungkan antara teoritis dari belajar yang diaplikasikan dan tindakan praktis. Menurutnya, kesempurnaan manusia terletak pada tindakannya yang sesuai dengan teori yang dipahaminya. Ilmu tidak akan memiliki arti kecuali jika ilmu itu dapat diterapkan dalam kenyataan pada masyarakat. Karenanya, jika ilmu tidak diterapkan maka ilmu tidak akan berguna.
Penekanan pendidikan dalam pandangan Al-Farabi adalah akal budi. Ia menyarankan bahwa anak yang bertabiat tidak baik dapat diluruskan dengan cara penanaman pendidikan akhlak. Untuk anak yang tingkat intelegensinya rendah dapat dicerdaskan melalui metode yang diberikan secara berulang-ulang. Sedangkan untuk anak yang cerdas dan bertabiat baik, menurut Al-Farabi, hendaknya disikapi dengan penuh penghargaan. Karena bagaimanapun menurutnya, yang harus diprioritaskan bagi setiap anak adalah pembinaan akhlak. Sebab, akhlak merupakan modal dasar untuk segala macam disiplin ilmu lainnya.
Menurut Al-Farabi metode dalam mengajar ada dua macam, Pertama, untuk menimbulkan rasa keshalehan dan mengamalkan ilmu seperti metode yang meyakinkan, yaitu bahwa murid harus mengakuinya sebagai miliknya dan mengamalkannya secara spontan. Kedua, seorang guru harus menggunakan metode pemaksaan yang ditujukan untuk mereka yang tidak merasa memiliki perasaan sebagai penduduk dan mereka yang tidak memiliki kesadaran terhadap keberadaan dirinya.
Sedangkan tujuan pembelajaran menurut Al-Farabi yaitu sesuai dengan fungsi setiap ilmu, dan sesuai dengan partisipasinya dalam pendidikan manusia ; ilmu mantiq (logika) berfungsi untuk membangun akal dan menguatkan manusia; ilmu alam memandang  tubuh yang alamiah dan dalam pertumbuhannya, serta sebab-sebab kekuatanya; tujuan ilmu ketuhanan adalah memerangi prasangka yang jelek, yang menyangka bahwasanya Allah SWT memiliki kekurangan dalam perbuatan-Nya dan dalam eksistensi penciptaanya; ilmu kenegaraan membahas tentang pembagian kerja (jonb description) dan peraturan kekuasaan, serta tentang kerajaan dan etika, dengan tujuan utamanya adalah membahagiaakan masyarakat.
Terkait dengan berbagai tujuan tersebut, Al-Farabi membatasi pemahaman kurikulum dengan ilmu pembahasan utama, dan dalam setiap pembahasan terdapat tahapan dari berbagai ilmu, yaitu : pertama, ilmu speaking dan berbagai macamnya ; kedua, ilmu logika dengan berbagai macamnya; ketiga, ilmu pendidikan yang mencakup ilmu hitung, arsitek, ilmu debat, ilmu perbintangan, ilmu pembelajaran, musik,  dan yang lainnya; keempat, ilmu alam dengan berbagai macamnya dan ilmu ketuhanan dengan berbagai macamnya; dan kelima, ilmu kenegaraan dengan dengan berbagai macamnya, ilmu fiqih dan ilmu kalam.
2.      Rekonsiliasi Al-Farabi
Al-Farabi telah berhasil merekonsiliasikan beberapa ajaran filsafat sebelumnya, seperti Plato dan Aristoteles dan juga antara agama dan filsafat. Oleh karena itu, ia dikenal filosof sinkretisme yang mempercayai kesatuan filsafat.[8]
Al-Farabi berhasil menyusun dasar-dasar falsafat atas keyakinan tauhid menurut islam. Beliaulah yang mula-mula menyatakan bahwa tidak ada perbedaan antara filsafat Plato dengan filsafat Aristoteles, karena meskipun berlainan kedua jalan pikirannya, tetapi bersatu dalam tujuan dan hakekatnya.[9] Pendiriannya ini Nampak jelas pada karangan-karangannya, terutama dalam buku yang berjudul Al-Jam’u baina Ra’yai al-Hakimain (Penggabungan Pikiran Kedua Filosof, Plato dan Aristoteles).[10]
Cara Al-Farabi menyatukan kedua filosof diatas ialah dengan memajukan pemikiran masing-masing filosof yang cocok dengan pemikirannya. Seperti dalam membicarakan masalah ide yang menjadikan bahan polemik antara Aristoteles dan Plato. Filosof yang disebut pertama tidak dapat membenarkannya, karena menurutnya alam ide hanya ada dalam pikiran. Sedangkan filosof yang disebut kedua mengakui adanya dan berdiri sendiri.
Untuk mempertemukan kedua filosof ini, Al-Farabi menggunakan Interpretasi batini, yakni dengan menggunakan takwil bila ia menemui pertentangan pikiran antara keduanya. Kemudian ia tegaskan lebih lanjut, sebenarnya Aristoteles mengakui alam rohani yang terdapat diluar alam ini dan perkataannya yang mengingkari alam rohani tersebut masih dapat ditakwilkan. Jadi, kedua filosof tersebut sama-sama mengakui adanya ide-ide pada dzat Allah.
Sebenarnya, Al-Farabi telah keliru menganggap tidak terdapat perbedaan Antara Aristoteles dengan Plato. Letak kekeliruannya adalah ketika beliau menduga bahwa buku Theologia (al-Rububiyyat) merupakan karangan Aristoteles, padahal sesungguhnya buku tersebut adalah karya Plotinus, yang berisikan penetapan alam ide yang terletak bukan pada benda. Dengan demikian, pada hakikatnya Al-Farabi merekonsiliasikan antara Plato dan Plotinus, bukan antara Plato dan Aristoteles.[11]
Disamping itu, terlihat pula usaha Al-Farabi merekonsiliasikan antara agama dan filsafat. Filsafat dan agama baginya dua perkara yang bersatu padu, dan tidak dapat dipisahkan, karena keduanya mencari dan menuju kepada kebenaran, dan antara kebenaran tidak ada perbedaan. Beliau berpendapat bahwa filsafat dan agama berdasarkan atas kebenaran, yang ditinjau dari sudut yang berlainan. Masing-masing menempuh cara dan jalan tersendiri, filsafat menuju kepada kebenaran menempuh jalan yang berlainan dengan jalan yang ditempuh agama. Sementara agama menempuh jalan wahyu dan kebersihan diri, filsafat menempuh jalan pemikiran dan dasar logika, sementara filsafat membuahkan hakekat untuk suatu golongan ahli pikir, agama membuahkan kebenaran untuk seluruh manusia.[12]
Oleh karena itu, menurut Al-Farabi tidaklah berbeda Antara kebenaran yang disampaikan oleh para nabi dengan kebenaran yang dimajukan filosof, dan Antara ajaran islam dengan filsafat Yunani. Akan tetapi, hal ini tidak berarti Al-Farabi menerima kelebihan filsafat dari agama.[13]
3.      Pemikiran Ketuhanan
Al-Farabi dalam pembahasan tentang ketuhanan mengompromikan Antara filsafat Aristoteles dan Neo-Platonisme, yakni Al-Maujud al-Awwal (Wujud Pertama) sebagai sebab pertama bagi segala yang ada. Konsep ini tidak bertentangan dengan keesaan yang mutlak dalam ajaran islam.
Dalam membuktikan adanya Allah Al-Farabi mengemukakan dalil Wajib al-Wujud dan mumkin al-wujud. Menurutnya segala yang ada ini hanya dua kemungkinan dan tidak ada alternative yang ketiga, yakni wajib al-Wujud dan mumkin al-wujud.
Adapun yang dimaksud dengan wajib al-wujud adalah wujudnya tidak boleh tidak mesti ada, ada dengan sendirinya, karena natur-nya sendiri yang menghendaki wujudnya. Esensinya tidak dapat dipisahkan dari wujud, keduanya adalah sama dan satu. Ia adalah wujud yang sempurna dan adanya tanpa sebab dan wujudnya tidak terjadi karena lainnya. Ia ada selamanya dan tidak didahului oleh tiada. Jika wujud ini tidak ada, maka akan timbul kemustahilan karena wujud lain untuk adanya bergantung kepadanya. Wajib al-wujud inilah yang disebut dengan Allah. Sementara yang dimaksud dengan mumkin al-wujud ialah sesuatu yang sama Antara berwujud dan tidak.
Tentang sifat-sifat Allah Al-Farabi sejalan pendapatnya dengan Mu’azilah, yakni sifat Allah tidak berbeda dengan zat-Nya (substansi-Nya). Allah, bagi Al-Farabi adalah ‘Aql murni. Ia Esa adanya dan yang menjadi objek pemikiran-Nya hanya substansi-Nya. Ia tidak memerlukan sesuatu yang lain untuk memikirkan substansi-Nya, tetapi cukup substansi-Nya sendiri. Jadi Allah adalah ‘Aql, ‘Aqil, dan Ma’qul (Akal, substansi yang berpikir, dan substansi yang dipikirkan).
Tentang ilmu Allah, pemikiran Al-Farabi terpengaruh oleh Aristoteles yang mengatakan bahwa Allah tidak mengetahui dan tidak memikirkan alam. Pemikiran ini dikembangkan Al-Farabi dengan mengatakan bahwa Allah tidak mengetahui yang juz’iyyati (particular). Menurutnya, bahwa pengetahuan Allah tentang yang rinci tidak sama dengan pengetahuan manusia. Pengetahuan-Nya tentang juz’i tidak secara langsung, melainkan lewat kulli sebagai sebab bagi yang juz’i.
Al-Farabi juga mengemukakan ayat-ayat Al-Qur’an dalam rangka menyucikan Allah dari bersifat. Ayat-ayat tersebut ialah surat Asy-Syura: 42 dan surat As-Shaffat: 180.
Tentang asma al-husna, menurut Al-Farabi kita boleh saja menyebutkan nama-nama tersebut sebanyak yang kita inginkan tetapu nama tersebut tidak menunjukan adanya bagian-bagian pada dzat Allah atau sifat-sifat yang berbeda dari dzat-Nya.[14]
4.      Emanasi
Faktor yang mendorong Al-Farabi mengemukakan emanasi ini tampaknya Al-Farabi ingin menegaskan tentang keesaan Allah, bahkan melebihi Al-Kindi.
Emanasionisme Al-Farabi adalah cangkokan doktrin Plotinus yang dikombinasikan dengan system kosmologi Ptalomeus sehingga menimbulkan kesan bahwa Al-Farabi hanya mengalihbahasakan dari Bahasa sebelumnya kedalam Bahasa arab. Menurut Nurcholish Madjid, Al-Farabi mempelajari dan mengambil ramuan asing ini terutama karena paham ketuhanannya memberikan kesan tauhid.[15]
Emanasi melahirkan alam kadim dari segi zaman (taqaddum zamany), bukan dari segi dzat (taqaddum zaty). Karena alam dijadikan Allah secara emanasi sejak azali tanpa diselangi oleh waktu, namun ia sebagai hasil ciptaan, berarti ia baharu.
Struktur emanasi Al-Farabi dipengaruhi oleh temuan saintis saat itu, yakni Sembilan planet dan satu bumi. Karenanya, beliau membutuhkan sepuluh akal, setiap satu akal mengurusi satu planet termasuk bumi.[16]
5.      Pemikiran Kenabian
Filsafat kenabian Al-farabi erat kaitannya Antara nabi dan filosof dalam kesanggupannya untuk mengadakan komunikasi dengan akal fa’al. Motif lahirnya filsafat Al-Farabi ini disebabkan adanya pengingkaran terhadap eksistensi kenabian secara filosofis oleh Ahmad ibn Ishaq Al-Ruwandi.
Al-Farabi adalah filosof muslim pertama yang mengemukakan filsafat kenabian secara lengkap, sehingga hamper tidak ada penambahan oleh filosof-filosof sesudahnya. Filsafat ini didasarkan pada psikologi dan metafisika yang erat hubungannya dengan ilmu politik dan etika.
Menurut Al-Farabi, manusia dapat berhubungan dengan akal fa’al (Jibril) melalui dua cara, yakni penalaran atau renungan pemikiran dan imajinasi atau inspirasi (ilham). Cara pertama hanya dapat dilakukan oleh para filosof yang dapat menembus alam materi dan dapat mencapai cahaya ketuhanan, sedangkan cara kedua hanya dapat dilakukan oleh nabi.
Jadi ciri khas seorang nabi oleh Al-Farabi ialah mempunyai daya imajinasi yang kuat dan ketika berhubungan dengan akal fa’al ia dapat menerima visi dan kebenaran-kebenaran dalam bentuk wahyu. Wahyu tidak lain adalah limpahan dari Allah melalui akal fa’al (akal kesepuluh) yang dalam penjelasan Al-Farabi adalah Jibril. Sementara filosof dapat berkomunikasi dengan Allah melalui akal perolehan yang telah terlatih dan kuat daya tangkapnya sehingga sanggup menangkap hal-hal yang bersifat abstrak murni dari akal kesepuluh.
Oleh karena itu, setiap nabi adalah filosof dan tidak setiap filosof adalah nabi. Akan tetapi filosof tidak bisa menjadi nabi, yang selamanya nabi tetap manusia pilihan Allah.
Al-Farabi menekankan bahwa kebenaran wahyu tidak bertentangan dengan pengetahuan filsafat sebab Antara keduanya sama-sama mendapatkan dari sumber yang sama, yakni akal fa’al. demikian pula tentan mukjizat sebagai bukti kenabian, menurut Al-Farabi, dapat terjadi dan tidak bertentangan dengan hukum alam karena sumber hukum alam dan mukjizat sama-sama berasal dari akal kesepuluh sebagai pengatur dunia ini.[17]
6.      Pemikiran Kenegaraan
Al-Farabi dalam bukunya Ara’u Ahl al-Madinah al-Fadhilah (Negara Utama) memperbandingkan masyarakat dengan badan manusia.[18] Masyarakat yang sudah lengkap bagian-bagiannya diibaratkan sebagai organisme tubuh manusia dengan anggotanya yang lengkap. Masing-masing organ tubuh harus bekerja sesuai dengan fungsinya. Apabila satu organ tubuh sakit, organ tubuh yang lain akan merasakan penderitaan dan akan menjaganya. Demikian pula anggota masyarakat Negara Utama, yang terdiri dari warga yang berbeda kemampuan dan fungsinya, hidup saling membantu atau dengan kata lain senasib dan sepenanggungan. Masing masing harus diberikan pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan dan spesialisasi mereka. Dengan kata lain, saling membantu dan bekerjasama bukan hanya antar warga Negara, tetapi juga antar Negara dan warganya.[19]
Al-Farabi menegaskan bahwa Negara yang utama ialah Negara yang memperjuangkan kemakmuran dan kebahagiaan warga negaranya.[20]
Pokok filsafat kenegaraan Al-Farabi ialah autokrasi dengan seorang raja yang berkuasa mutlak mengatur Negara. Menurut beliau Negara yang utama ialah kota (Negara) yang warga-warganya tersusun menurut susunan alam besar (makrokosmos) atau menurut susunan alam kecil (mikrokosmos). Didalam Negara yang terpenting adalah kepala Negara. Dimisalkannya dengan hati, yaitu yang terpenting dalam diri manusia. Karena hati adalah unsur badan manusia yang paling sempurna, maka kepala Negara juga haruslah dipilih orang yang paling sempurna dari semua warga Negara.
Mengenai etika kenegaraan, Al-Farabi mengemukakan suatu ide yang mengemukakan bahwa dalam tiap keadaan ada unsur pertentangan. Hal itu seperti dalam alam, yang kuat berarti lebih sempurna dari yang lemah.[21]
7.      Pemikiran Jiwa
Bagi Al-Farabi jiwa manusia mempunyai daya-daya sebagai berikut:
a.       Daya al-Muharrikat (gerak), daya ini yang mendorong untuk makan, memelihara, dan berkembang.
b.      Daya al-Mudrikat (mengetahui), daya ini yang mendorong untuk merasa dan berimajinasi.
c.       Daya al-Nathiqat (berpikir), daya ini yang mendorong untuk berpikir secara teoritis dan praktis.
8.      Pemikiran/ Teori tentang Akal
Teori Al-Farabi tentang akal, didasarkan pada Aristoteles. Al-Farabi secara tegas menyatakan bahwa teorinya itu bertumpu pada bagian ketiga dari De Anima-nya Aristoteles, tetapi beliau sendiri mempunyai andil dalam teori ini. Konsepsinya tentang akal berbeda dari Aristoteles, karena teori itu hamper tercirikan dengan intelegensi-intelegensi yang terpisah, dan bertindak sebagai penghubung antara pengetahuan manusia dan wahyu. Dengan demikian, berbeda dari teori Alexander dari Aphrodisias dan al-Kindi, dan itu adalah hasil dari kecenderungan mistis Al-Farabi dan penyandarannya pada sistem Plotinus.
C.    Karya-karya Al-Farabi
Al-Farabi meninggalkan sejumlah besar tulisan yang penting. Karya Al-Farabi ini dapat dibagi menjadi dua, pertama mengenai bidang logika, dan kedua mengenai bidang lain. Karya-karya tentang logika menyangkut bagian-bagian berbeda dari organon-nya Aristoteles, baik yang berbentuk komentar maupun ulasan panjang. Kebanyakan tulisan ini masih berupa naskah. Sedangkan karya-karya kelompok kedua menyangkut berbagai cabang pengetahuan filsafat, fisika, matematika, metafisika, etika dan politik. Didalam kelompok ini, studi ilmiah yang sebenarnya tidak dilakukan, Al-Farabi malah tidak menyinggung masalah kedokteran dan pembahasannya tentang kimia, tetapi cenderung sekedar mempertahankan pendapat daripada bentuk penelitian dan analistis.[22]
Jika ditinjau dari ilmu pengetahuan, karya-karya Al-Farabi dapat ditinjau menjadi 6 bagian, yaitu:
1.      Logika
2.      Ilmu-ilmu Matematika
3.      Ilmu Alam
4.      Theologi
5.      Ilmu Politik dan Kenegaraan
6.      Bunga Rampai (Kutub Munawa’ah)
Karangan Al-Farabi tidak kurang dari 128 buah kitab, yang kebanyakan mengenai filsafat Yunani. Dalam karyanya Ihsan ul-Ulum (Ecyclopedia of Science), beliau memberikan suatu tinjauan umum dari segala sains. Buku ini terkenal di Barat sebagai De Scientiis dari terjemahan Latin oleh Gerard Cremona.
Sebagian besar karangan Al-Farabi terdiri dari ulasan dan penjelasan terhadap Aristoteles, Plato, dan Galenus dalam bidang-bidang logika, fisik, dan metafisika. Meskipun banyak tokoh filsafat yang diulas pemikirannya, namun beliau lebih terkenal sebagai pengulas Aristoteles.
Diantara karangan-karangannya ialah:
1.      Aghdlu ma Ba’da at-Thabi’ah (Intisari Buku Metafisika).
2.      Al-Jam’u baina Ra’yai al-Hakimain (Mempertemukan Pendapat Kedua Filosof; Plato dan Aristoteles).
3.      Tahsil As-Sa’adah (Mencari Kebahagiaan).
4.      ‘Uyun ul-Masail (Pokok-pokok Persoalan).
5.      Ara-u Ahl al-Madinah al-Fadhilah (Pikiran-pikiran Penduduk Kota Utama Negeri Utama).
6.      Ihsha’u al-Ulum (Statistik Ilmu).[23]
7.      Risalat fi Isbat al-Mufaraqat.
8.      Maqalat fi Ma’any al-‘Aql.
9.      Fushul al-Hukm.
10.  Al-Siyasat al-Madaniyyat.
11.  Risalat al-‘Aql dan lain-lain.[24]
Dalam buku Ihsha’u al-Ulum, Al-Farabi membicarakan macam-macam ilmu dan bagiannya, yaitu ilmu-ilmu Bahasa (ilm al-lisan), ilmu mantik, ilmu matematika (at-taalim), ilmu fisika (al-ilm at-tabi’), ilmu ketuhanan (al-ilm al-illahi), ilmu kekotaan, politik, ilmu fiqh (ilm al-fiqh), dan ilmu kalam. Nampaknya ilmu-ilmu tersebut telah dikemukakan oleh orang-orang sebelumnya. Hanya saja Al-Farabi menambahkan dua cabang ilmu lagi, yaitu ilmu fiqh dan ilmu kalam, sebagai ilmu-ilmu keislaman yang mendapat perhatian besar pada masanya.[25]
Ibn Khalikan berpendapat bahwa Al-Farabi menulis hampir semua bukunya di Baghdad dan Damaskus. Tidak terdapat tanda-tanda bahwa ia pernah menulis buku pada usia sebelum lima puluh tahun. Beberapa sarjana telah berusaha menulis daftar kronologis karya-karyanya, tetapi orang dapat menyangsikan nilai daftar seperti itu, karena seluruh karyanya ditulis pada tiga puluh tahun terakhir dari masa hidupnya ketika ia mulai menulis sebagai filosof yang sepenuhnya telah matang dan tentu tidak diperoleh suatu perubahan atau perkembangan dalam pemikiran atau doktrinnya selama periode ini.
Langgam Al-Farabi bersifat ringkas dan tepat. Beliau secara hati-hati memilih kata-kata dan pernyataan-pernyataannya, sebagaimana ketika beliau secara mendalam memikirkan pendapat-pendapat dan pemikiran-pemikirannya. Ungkapan-ungkapannya mempunyai arti yang menghunjam. Al-Farabi mempunyai langgam yang istimewa, siapapun yang terbiasa dengannya, akan mengakui hal ini. Beliau menghindari pengulangan dan penambahan yang berlebihan serta lebih senang dengan hal-hal yang ringkas.
Metode yang beliau pakai hampir sama dengan langgam yang dimilikinya. Beliau mengumpulkan dan menggeneralisasi, menyusun dan menyelaraskan, menganalisis untuk menulis, membagi dan membagi lagi agar terpusat dan terkelompokkan. Dalam beberapa tulisannya, pembagian dan penggolongan tampak hanya sebagai tujuan belaka.
Karya-karya Al-Farabi tersebar luas di Timur pada abad ke-4 dan 5 H/ ke-10 dan 11 M, dan mungkin mencapai Barat ketika sarjana-sarjana Andalusia menjadi pengikut Al-Farabi. Beberapa tulisannya juga telah diterjemahkan kedalam Bahasa Yunani dan Latin, serta telah mempengaruhi sarjana Yahudi dan Kristen. Karya-karya ini telah diterbitkan pada sepuluh tahun terakhir abad ke-13 H/ ke-19 M, dan beberapa diantaranya diterjemahkan kedalam berbagai Bahasa Eropa modern.[26]


BAB III
ANALISIS PEMIKIRAN DAN KARYA AL-FARABI

Menurut pendapat saya, pemikiran Al-Farabi mengenai pendidikan, sangat sesuai dengan konsep pendidikan yang berjalan saat ini, yakni dengan mengedepankan pendidikan akhlak atau sering disebut pendidikan karakter. Saya pun setuju dengan pendapat beliau, karena akhlak merupakan modal dasar untuk berbagai disiplin ilmu lainnya, maka dari itu akhlak peserta didik sangat perlu dibina. Secerdas apapun peserta didik, jika dia memiliki akhlak yang tidak baik, maka dia akan memanfaatkan kecerdasannya itu pada hal-hal yang negatif dan merugikan, baik bagi dirinya maupun orang lain.
Selain itu, menurut Al-Farabi pendidikan harus menggabungkan antara teoritis dari belajar yang diaplikasikan dan tindakan praktis atau dalam kata lain harus seimbang antara pemahaman dengan pengaplikasian. Mengenai hal ini pun saya sependapat dengan beliau, karena memang ilmu itu harus diamalkan/ diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, jika ilmu tidak diamalkan, maka ilmu tersebut tidak akan barokah dan dapat dikatakan tidak memiliki arti atau tidak berguna.
Selain dalam pendidikan secara umum, pemikiran Al-Farabi sangat kental dalam ilmu filsafat. Pemikirannya dalam bidang filsafat dipengaruhi oleh filsafat Aristoteles, Plato, dan Plotinus. Namun meskipun begitu, beliau telah berhasil mengembangkan dan memperdalamnya sehingga dapat dikatakan hasil filsafatnya sendiri. Beliau juga menciptakan filsafat sendiri yang belum dibicarakan oleh filosof Yunani. Dengan demikian, beliau telah berhasil menciptakan filsafat Islam yang mempunyai ciri khas sendiri. Filsafat Al-Farabi juga begitu kompleks, sehingga apa yang dibicarakan oleh filosof muslim sesudahnya hampir sudah pernah disinggung oleh Al-Farabi. Pemikiran Al-Farabi juga mempunyai gagasan-gagasan yang modern dan kontemporer, sehingga dapat juga diaplikasikan pada zaman sekarang ini.
Karya-karya Al-Farabi, cenderung sekedar mempertahankan pendapat daripada bentuk penelitian dan analistis, sehingga karya-karyanya kurang bersifat ilmiah. Namun meskipun begitu, karya-karyanya tersebut bersifat ringkas dan tepat sehingga dapat lebih mudah dipahami.
Al-Farabi memiliki keinginan serta kekuatan dalam berfilsafat, namun disamping itu Al-Farabi juga memiliki kelemahan dalam politik kenegaraan, hal ini disebabkan karena beliau lebih sibuk dalam urusan menimba ilmu pengetahuan untuk mengembangka ilmu-ilmunya. Maka dari itu, sebaiknya beliau lebih ikut serta dalam kegiatan kenegaraan. Karena sebagaimana kita ketahui bahwa kiita hidup dan tinggal dalam wilayah suatu Negara yang memiliki pemerintahan.
                                                         


BAB IV
PENUTUP
A.    Kesimpulan
1.      Nama lengkap Al-Farabi adalah Abu Nashr Muhammad ibnu Muhammad ibnu Tarkhan ibnu Auzalagh. Al-Farabi dilahirkan di Wasij, Distrik Farab, Turkistan pada tahun 257 H/ 870 M. Ayahnya seorang jendral berkebangsaan Persia dan ibunya berkebangsaan Turki. Dalam usia 40 tahun Al-Farabi pergi ke Baghdad, untuk belajar kaidah-kaidah Bahasa Arab dan belajar logika serta belajar filsafat. Kemudian, beliau pindah ke Harran, pusat kebudayaan Yunani di Asia Kecil dan berguru kepada Yuhanna ibnu Jailan. Akan tetapi, tidak berapa lama beliau kembali ke Baghdad untuk memperdalam ilmu filsafat. Pada tahun 330 H/ 945 M, beliau pindah ke Damaskus, Syria dan menetap di kota ini sampai wafatnya pada tahun 337 H/ 950M pada usia 80 tahun.
2.      Pemikiran pendidikan Al-Farabi lebih menekankan pada pendidikan akal budi. Pemikiran filsafat Al-Farabi terpengaruh oleh filsafat aristoteles, Plato, dan Plotinus, namun beliau telah berhasil mengembangkan dan memperdalamnya sehingga dapat dikatakan hasil pemikirannya sendiri. Dengan demikian beliau telah berhasil menciptakan filsafat islam yang mempunyai ciri khas tersendiri. Seperti dalam pemikiran-pemikiran yang telah dijelaskan diatas.
3.      Al-Farabi meninggalkan sejumlah besar tulisan yang penting. Karangan Al-Farabi tidak kurang dari 128 buah kitab, yang kebanyakan mengenai filsafat Yunani. Karya-karya Al-Farabi tersebar luas di Timur pada abad ke-4 dan 5 H/ ke-10 dan 11 M, dan mungkin mencapai Barat ketika sarjana-sarjana Andalusia menjadi pengikut Al-Farabi.

B.     Saran
Penulis sadar, dalam penulisan makalah ini masih terdapat banyak kekurangan. Maka dari itu, saya sebagai penulis sangat mengharapkan saran dan kritikan demi kesempurnaan penulisan makalah selanjutnya.


[1] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2010), hlm. 65.
[2] Sudarsono, Filsafat Islam, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1997), hlm. 30.       
[3] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2010), hlm. 65-66.
[4] M.M Syarif, Para Filosof Muslim, (Bandung: Penerbit Mizan, 1993), hlm. 58.
[5] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2010), hlm. 66.
[6] Sudarsono, Filsafat Islam, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1997), hlm. 31.
[7] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2010), hlm. 67.
[8] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2010), hlm. 68.
[9] Abubakar Aceh, Sejarah Filsafat Islam, (Sala: CV Ramadhani, 1982), hlm. 48.
[10] Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1991), hlm.83.
[11] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2010), hlm. 68-89.
[12] Abubakar Aceh, Sejarah Filsafat Islam, (Sala: CV Ramadhani, 1982), hlm. 48.
[13] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2010), hlm. 70.
[14] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2010), hlm. 70-74.
[15] Nurcholis Madjid, Khazanah Intelektual Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hlm.24.
[16] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2010), hlm. 77-78.
[17] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2010), hlm. 78-81.
[18] Poerwantana, dkk, Seluk-Beluk Filsafat Islam, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1993), hlm. 138.
[19] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2010), hlm. 83-84.
[20] Poerwantana, dkk, Seluk-Beluk Filsafat Islam, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1993), hlm. 138.
[21] Poerwantana, dkk, Seluk-Beluk Filsafat Islam, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1993), hlm. 139-140.
[22] M.M Syarif, Para Filosof Muslim, (Bandung: Penerbit Mizan, 1993), hlm. 58-59.
[23] Sudarsono, Filsafat Islam, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1997), hlm. 31-32.
[24] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2010), hlm. 68.
[25] Sudarsono, Filsafat Islam, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1997), hlm. 32.
[26] M.M Syarif, Para Filosof Muslim, (Bandung: Penerbit Mizan, 1993), hlm. 59-61.

MAKALAH PERADABAN ISLAM DINASTI UMAYAH PADA MASA ABDUL MALIK BIN MARWAN

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Islam merupakan agama yang mengatur berbagai macam dimensi kehidupan, seperti politik, kebudayaan, perekonomian, dan ilmu pengetahuan. Kaitannya dengan ilmu pengetahuan yang dikembangkan dari generasi ke generasi akan menghasilkan output sebuah tatanan islam yang berkelanjutan. Peradaban islam apabila tidak dilestarikan maka akan mengalami degradasi atau penurunan yang lama kelamaan akan mengalami kepunahan. Kaitannya dengan itu peradaban islam warisan Rasulullah SAW dari generasi ke generasi terus dikembangkan atau dilestarikan, tidak terkecuali pada zaman khalifah ke V Dinasti  Bani Umayyah, yaitu Abdul Malik bin Marwan(685-705M). Abdul Malik bin Marwan adalah Khalifah ke V dari Dinasti Bani Umayyah, yang secara keseluruhan Bani Umayyah berkuasa dalam kekhalifahannya selama 90 tahun. Dinasti Umayyah beribu kota di Damaskus. Abdul Malik bin Marwan merupakan putra dari Khalifah Marwan bin Hakam.
Pada masa pemerintahannya, tidak terjadi penaklukan dalam skala besar. Dia berkuasa kurang lebih 20 tahun yaitu sejak  tahun 685-705 M. Pada akhir pemerintahannya kira-kira 12 tahun adalah masa-masa makmur dan tentram. Untuk itu,dalam makalah ini pemakalah akan menguraikan lebih lanjut mengenai peradaban Islam pada masa Abdul Malik bin Marwan.

1.2 Rumusan Masalah
  1. Bagaimana Biografi Abdul Malik bin Marwan ?
  2. Bagaimana proses pengangkatan Abdul Malik menjadi Khalifah?
  3. Apa saja usaha –usaha yang dilakukan oleh Abdul Malik bin Mawran pada masa pemerintahnya ?
  4. Bagaimana sifat yang dimiliki Abdul Malik bin Marwan?
  5. Apa saja Jasa- jasa Abdul Malik bin Marwan pada masa pemerintahanya?

1.3 Tujuan Masalah
  1. Mengetahui bagaimana Biografi Abdul Malik bin Marwan ?
  2. Mengetahui bagaimana proses pengangkatan Abdul Malik menjadi Khalifah?
  3. Mengetahui apa saja usaha- usaha yang dilakukan Abdul Malik bin Marwan pada masa pemerintahanya?
  4. Mengetahui bagaimana sifat yang dimiliki Abdul Malik bin Marwan?
  5. Mengetahui bagaimana jasa- jasa Abdul Malik bin Marwan pada masa pemerintahanya?


BAB II
PEMAHASAN

2.1 Biografi Abdul Malik bin Marwan
Nama lengkap beliau yaitu Abdul Malik bin Marwan bin Al Hakam bin Abu Al ‘Ash binUmayah bin Abdu Syams bin Abdu Manaf. Ibunya adalah Aisyah binti Muawiyah bin Al Mughirah bin Abu Al ‘Ash bin Umayah. Silsilah ayah dan ibunya bertemu  pada Abu Al’Ash. Ibunya terkenal sebagai orang yang sangat baik prilaku dan sifat-sifatnya sehingga dari padanya terlahir pribahasa. Abdul Malik bin Marwan lahir di Madinah pada tahun 26 H, pada masa pemerintahan Utsman bin Affan. Tercatat, bahwa ia tumbuh dengan sangat cepat dan dan terkenal sebagai pemberani serta suka menolong. Begitu juga ia dikenal sebagai seorang penasihat, pujangga, bersifat spontan dan vocal dalam hak, yakni tidak merasa takut di cerca.
Dia pun dikenal sebagai orang yang hafal Al-Quran dan tercatat bahwa ia belajar ilmu-ilmu agama yakni, fiqih, tafsir, dan hadis kepada para guru dari kalangan para ulama Hijaz yang ada di Madinah. Ibnu Sa’ad telah meriwayatkan, bahwa penduduk madinah berkata : “Abdul Malik menghafal Al-Quran dari Utsman bin Affan dan mendengar (belajar) Hadits dari Abu Hurairah, Abu Sa’id Al Khudri, jabir bin Abdullah, dan dari para sahabat Rosulullah SAW yang lain. Dengan demikian tidaklah mengherankan, bilamana ia menjadi seorang ahli fiqih dan seorang ahli ilmu yang sangat mencinti ilmu. Begitu juga, ia pun seorang pujangga dan seorang kritikus syair yang ahli dalam membedakan syair yang baik dari yang jelek. Kemudian dia pun terkenal sebagai seorang yang memiliki klub tempat bertemu bab berdiskusi bersama para penyair dan pujangga untuk membahas tentang buku-buku kesusastraan, seperti kitab Al-Kamil karangan Al- Mubarrad, Kitab Al-Amali karangan Abu Ali, dab buku- buku kumpulan sastera yang lain-lain.
2.2. Pengangkatan Abdul Malik dan Kekhalifah
Abdul Malik menjadi khalifah setelah ayahnya Marwan bin Hakam meninggal pada tahun 65 H/684 M. Pada saat itu khalifah yang legal adalah Abdullah ibnuz-Zubair. Kemudian dia berhasil mengambil Irak dari tangan Abdullah ibnuz-Zubair dan menaklukkan Hijaz secara keseluruhan. Dia di angkat menjadi khalifah sejak tahun 73 H/692 M. Abdul Malik berkuasa kurang lebih 20 tahun yaitu sejak 685-705M/66-86H. Dalam masa pemerintahannya,tidak terjadi penaklukan dalam skala besar. Karena, dia di sibukkan dengan perang.
Abdul Malik bin Marwan menjabat khalifah kelima Dinasti Umayah pada usia 39 tahun. Dia dianggap khalifah perkasa, negarawan,berwibawa, yang mampu memulihkan kesatuan umat muslimin. Setelah selesai pengangkatan baiat di Mesjid Damaskus pada 65 Hijriyah, khalifah Abdul Malik bin Marwan naik mimbar dan menyampaikan pidato singkat namun tegas yang tercatat sejarah. Di antara isi pidato itu adalah “Aku bukan khalifah yang suka menyerah dan lemah, bukan juga seorang khalifah yang suka berunding, bukan juga seorang khalifah yang berakhlak rendah. Siapa yang nanti berkata begini dengan kepalanya, akan kujawab begini dengan pedangku.” Setelah ia turun dari mimbar, sejak saat itu wibawanya dirasakan oleh segenap hadirin. Mereka mendengarkan ucapannya dengan rasa hormat dan kepatuhan. Tak seorangpun yang menentang pengangkatan Abdul Malik itu, kecuali Amru bin Sa’id. Dan sebagai resiko dari tantanganya itu ia telah kehilangan kepalanya, diantara peristiwa yang pernah di hadapi Abdul Malik iailah pemberontakan Amru bin Sa’id yang ingin menjadi khalifah sesudah Marwan. Pada mulanya Marwan tampaknya ingin untuk mendahulukan Amru dari Khalid karena Khalid masih muda usianya. Sebab itu kita lihat amru telah berjuang seorang pahlawan untuk memperkokoh kekuasaan Marwan. Tetapi Marwan menipunya dan akhirnya dia mengangkat anaknya sebagai putra mahkotanya
Abdul Malik berpendapat bahwa adalah bijaksana untuk berminyak air kepada Amr. Sebab itu ia berpura-pura menjanjikan kepadanya untuk menjadi khalifah sesudahnya. Amru puas dengan janji Abdul Malik ini, tetapi ia ingin agar itu segera diumumkan dan di kokohkan, Amru semakin mendesak Abdul Malik dn akhirnya Abdul malik mengatur siasat. Diundangnya Amru untuk berkunjung kepadanya. Maka datanglah Amru bersama beberapa orang hamba sahaya dan pengikut-pengikutnya. Ketika Amru sampai keruangan dimana Abdul Malik duduk menanti kedatanganya, dia hanya sendiri. Waktu itulah Abdul Malik membunuh ‘Amru. Dan melemparkan kepala Amru kepada pengikutnya disertai dengan beberapa pundi- pundi berisi uang. Ketikaa mereka melihat kepala Amru, mereka menjadi putus asa untuk menolongnya, dan mereka lalu berpaling kepada pundi-pundi itu, merekapun memungutnya, kemudian pulang dengan mengantongi uang tersebut. Dengan demikian menjadi baiklah kembali suasana di Damaskus untuk Abdul Malik.
Sementara itu, posisi Khalifah Abdullah bin Zubair yang berkedudukan di wilayah Hijaz yang meliputi Makkah dan Madinah, semakin kuat. Ia berhasil mengamankan wilayah Irak dan Iran yang sempat dicemari aliran Syiah yang menyesatkan. Ia menempatkan saudaranya, Mush’ab bin Zubair untuk menjadi gubernur di wilayah itu. Di mata masyarakat, posisi Abdullah bin Zubair semakin kuat. Para jamaah haji yang datang dari berbagai penjuru, “terpaksa” berbaiat kepadanya saat mereka datang ke Makkah. Khalifah Abdul Malik tak bisa membiarkan hal itu. Ia pun mempersiapkan segalanya untuk menundukkan kekuasaan Abdullah bin Zubair.
Mengawali rencananya, Abdul Malik tak langsung menyerang pusat kekuasaan Abdullah bin Zubair di Makkah dan Madinah. Pasukan besarnya bergerak menaklukkan wilayah Irak, Iran, Khurasan dan Bukhara, yang merupakan sumber dana Abdullah bin Zubair. Mush'ab bin Zubair wafat dan jabatan gubernurnya diambil oleh Bashir bin Marwan, saudara Khalifah Abdul Malik bin Marwan. Usia gubernur ini memang masih muda. Ia didampingi oleh penasihat  terpandang yang dikenal sejarah Musa bin Nushair.Setelah berhasil merebut wilayah Irak dan sekitarnya, Khalifah Abdul Malik mengerahkan 3.000 tentara di bawah pimpinan Hajjaj bin Yusuf. Pasukan besar itu pun berangkat dan akhirnya tiba di Thaif, sekitar 120 kilometer dari Makkah. Pasukan Abdullah bin Zubair yang semula ditempatkan di bagian utara Madinah, dikerahkan ke Thaif. Pertempuran pun berlangsung. Pasukan Abdullah bin Zubair porak-poranda. Abdullah bin Zubair gugur tertusuk pedang. Nyawa putra sahabat Nabi dari kalangan Muhajirin yang pertama kali lahir di Madinah itu, menemui Rabb-nya setelah sekitar 9 tahun memerintah. Ia wafat pada Jumadil Awal 73 Hijriyah.
Pada tahun 77 Hijriyah, Abdul Malik bin Marwan menyerang Romawi untuk merebut Asia Kecil dan Armenia. Pertempuran cukup dahsyat terjadi sehingga menyebabkan 200.000 kaum Muslimin gugur. Pihak Romawi menderita kekalahan lebih dari itu. Namun pasukan Islam berhasil menguasai Mashaisha di bawah pimpinan Panglima Abdullah bin Abdul Malik.Bersamaan dengan itu, Khalifah Abdul Malik bin Marwan juga mengirim 40.000 pasukan berkuda menuju Afrika Utara di bawah pimpinan Hasan bin Nu’man yang dibantu oleh pasukan dari Mesir dan Libya. Melalui perjuangan cukup panjang, akhirnya pasukan itu bisa mengalahkan pasukan Romawi dan menduduki benteng Kartago. Pasukan Hasan bin Nu’man juga berhasil menghalau serangan suku Barbar di bawah pimpinan Ratu Kahina di wilayah Aljazair. Ratu Kahina selanjutnya dijatuhi hukuman mati.
Pada tahun 81 Hijriyah, sebuah armada laut siap berangkat dari pelabuhan Tunisia. Perjalanan pun dimulai. Daerah demi daerah berhasil dibebaskan. Ketika pasukan kaum Muslimin sedang merangkai kemenangan demi kemenangan itulah, Abdul Malik bin Marwan wafat. Ia mewariskan banyak hal dalam sejarah keemasan Islam. Pada masa pemerintahannya dibentuk Mahkamah Tinggi untuk mengadili para pejabat yang menyeleweng atau bertindak semena-mena terhadap rakyat. Selain itu, Abdul Malik juga mengganti bahasa resmi negara dengan bahasa Arab yang sebelumnya menggunakan bahasa Persia atau Romawi. Abdul Malik juga mendirikan bangunan seperti pabrik senjata dan kapal perang di Tunisia. Ia juga membangun Masjid Umar atau Qubbatush Shakra’ di Yerusalem dan memperluas Masjidil Haram di Makkah.
2.3 Usaha-usaha Abdul Malik bin Marwan
Beberapa usaha yang berhasil dilakukan oleh khalifah Abdul Malik bin Marwan antara lain meredam pemberontakan golongan syiah, pemberontakan Abdullah bin Zubair, dan pemberontakan golongan Khawarij.
  1.  Meredam pemberontakan golongan Syiah
Berawal dari pengingkaran perjanian yang dilakukan antara Muawiyah Hasan bin Ali agar penentuan kedudukan khalifah dilaksanakan dengan cara musyawarah dan balas dendam atas meninggalnya Hasan bin Ali maka golongan Syiah melkukan pemberontakan yang terjadi pada tahun 686 M. khalifah Abdul Malik bin Marwan yang memerintah ketika itu berupaya meredamnya.
Pasukan pemerintah kala itu berjumlah 30.000 tentara dibawah pimpinan Abdullah bin Zaid, sehingga dengan mudah dapat mematahkan serangan pasukan Syiah.
2.    Meredam pemberontakan Abdullah bin Zubair
Abdullah bin Zubair sudah sering mengadakan pemberontakan baik ketika pemerintahan dipegang oleh Khulafaur Rosyidin hingga pada pemerintahan Dinasti Umayyah. Khalifah Abdul Malik bin Marwan juga mengalami gangguan dan ancaman dari Abdullah bin Zubair ini. Dia mengadakan pemberontakan setelah mencermati bahwa keadaan umat islam dalam perpecahan dan Negara sedang kacau. Dalam menangani gangguan dan ancaman itu khalifah Abdul Malik bin Marwan mengerhakan tentara berjumlah 2.500 personil di bawah pimpinan Yusuf As-Saqafi. Pasukan Yusuf As-Saqafi kemudian mengepung kota mekah dan berhasil membunuh Abdullah bin Zubair sehingga pemberontakan dapat diredam.
3.    Meredamkan pemberontakan Golongan Khawarij
Golongan Khawarij mengalami kemajuan di irak dan melakukan pemberontakan disekitar jazirah Arab akan tetapi pasukan Dinasti Umayah berhasil menumpas pemberontakan golongan Khawarij. Pemimpin golongan Khawarij yang terkenal saat itu adalah Qtari ibnu Fujah dan Syahab ibnu Syar.
4.    menghadapi Amru bin Sa’id
pada tahun 70 H (690 M). seorang dari keluarga Abdul Malik bin Marwan yang bernama ‘Amru bin Sa’id mendurhakai khalifah. Pndurhakaan itu ditumpas dengan tipu muslihat saja, yaitu dengan mengangkat ‘Amru bin Sa’id menjadi putera mahkota. Akan tetapi tidak lama kemudian ia dipanggil menghadap, pengakuan itu dibatalkan dan Amru bin Sa’id dibunuh, keplanya dilemparkan kepada pengiringnya yang menunggu dibawah. Menyaksikan peristiwa yang mengerikan itu lascar Amru bin Sa’id kecil hati dan lari cerai berai. Dengan kematian Amru bin Sa’id ini selamatlah ia dari bahaya terakhir yang menggerogoti  kekuasaanya.
2.4    Sifat Abdul Malik bin Marwan
Asy Sya’b mensifati Abdul Malik bin Marwan dengan ungkapan sebagai berikut: saya tidak pernah berteman dengan seorang juga melainkan saya mendapatkan diri saya lebih unggul dari padanya kecuali Abdul Malik bin Marwan. Sungguh saya tidak mengingat pembicaraanya melainkan saya mendapatkan tambahan ilmu dari padanya. Sehingga saya tidak mendapatkan syair dari padanya melainkan dengan syairnya itu kulitas penyair diri saya pun bertambah. Abdul Malik bin Marwan adalah seorang petah lidah dan fasihat dalam berbicara. Dikatakan kepadanya: sungguh engkau cepat beruban. Maka olehnya dijawab: Frekuensi naik ke ata mimbar yang begitu sering dan perasaan takut salah dalam berkata-kata adalah penyebab aku cepat beruban. Kemudian kepadanya dikatakan: Wahai Amirul Mukminin!uban telah begitu cepat menimpa engkau. Maka olehnya dijawab: Bagaimana tidak, sedangkan aku setiap jum’at harus memeras otak untuk berbicara di depan orang-orang.
Abdul Malik terkenal sebagai seorang yang dikarunia tekad yang kuat dan tajam dalam nalarnya. Al-Aini berkata: Muawiyah adalah seseorang yang dianggap sangat lembut dan Abdul Malik adalah seseorang yang sangat kuat tekadnya. Abdul Malik bin Marwan semasa di Madinah adalah sebagai Hakim dan sebagai seorang mufti sesudah Zaid bin Tsabitpada tahun 43 H.
Penyusun kitab Al- ‘Aqd telah meriwayatkan, bahwasanya Abdul Malik bin Marwan suatu hari berpidato di depan orang-orang, seraya berkata: Wahai oramg-orang! Demi Alloh! Sesungguhnya aku bukan khalifah yang lemah yakni Utsman bin Affan, Aku bukan seorang khalifah yang suka menjilat yakni Muawiyah, dan aku ini bukan pula seorang khalifah yang plin-plan yakni Yazid bin Muawiyah. Barangsiapa mengatakan sesuatu berdasarkan akalnya, maka kami mengatakan sesuatu berdasarkan pedang kami. Sesudah itu ia turun, suatu ketika ia juga berpidato di atas mimbar: Wahai orang-orang! Sesungguhnya Alloh telah mengundangkan beberapa peraturan (hukum) dan dia juga telah mengundangkan beberapa keharusan. Maka selama kalian masih terus bertambah sampai kami sepakat sedangkan kalian berada di ujung peadang. Sesudah itu kemudian ia turun.
Dari apa yang dikemukakan oleh Al-Mas’udi tampak bahwa Abdul Malik adalah seorang yang berhiaskan diri dengan sifat-sifat yang terpuji. Sebahagian diantara orang-orang yang biasa ada di sisinya menyebutkan, bahwa pada suatu hari ia berkata: Aku ingin menyendiri. Ketika orang yang diajak bicara itu hendak pergi, berkatalah Abdul Malik kepadanya: Dengan catatan engkau harus mematuhi tiga syarat: “ engkau jangan memuji diriku sebab aku lebih tahu perihal diriku dari pada engkau, engkau jangan menggunjing aku di depan siapapun juga sehingga aku tidak mendengar gunjingan yang dialamatkan kepadaku bersumber darimu, dan engkau jangan berdusta sehingga aku tidak melihat pendusta”. Kemudian yang diajak bicara itu berkata: Apakah sekarang engkau mengijinkan aku untuk pergi? Dia menjawab: silahkan, bila engkau mau.
2.5    Jasa-jasa Abdul Malik bin Marwan
Keberhasilan Abdul Malik bin Marwan mempertahankan keutuhan wilayah kekuasaan dinasti bani umayah, membawa dampak positif bagi kemajuan dinasti ini. Sebab kendala atau hambatan terpenting didalam usaha mempertahankan dan mengembangkan kekuasaanya, telah dapat diatasi dengan baik. Dengan demikian, mudah baginya untuk mengeluarkan kebijakan politik untuk membangun negeri. Selama masa pemerintahanya, khalifah Abdul Malik bin Marwan melakukan beberapa pembaharuan untuk memperlancar administrasi pemerintahan. Diantara jasa dan pembaharuan yang dilakukan adalahMenjadikan bahasa Arab menjadi bahasa resmi Negara.
  1. Kebijakan ini dikeluarkan karena bahasa yang dipakai untuk kegiatan administrasi pemerintahan didaeran taklukan pada masa-masa sebelumnya, bukan bahasa arab. Seperti diketahui bahwa pada masa nabi dan para sahabat dan masa- masa awal dinasti bani Umayah seluruh dokumen yang berkaitan dengan perikehidupan dicatat dalam bahasa Arab.Setelah bangsa Persia, Syiria dan Mesir bergabung dalam kekuasaan pemerintahan Islam, Khalifah Umar bin Al-Khatab mempertahankan dokumen yang berkaitan dengan negeri tersebut tetap dicatat dalam bahasa mereka masing-masing. Akibatnya, departemen keaungan negeri-negeri tersebut dikuasai oleh pribumi non muslim yang memahami bahasa mereka. Ketika Abdul Malik bin Marwan berkuasa, ia menghapuskan bahasa mereka dan menetapkan bahasa Arab sebagai bahasa resmi pemerintahan, kebijakan ini pertama kali diterapkan bahasa resmi pemerintahan. Kebijakan ini pertama kali diterapkan di Syiria dan Irak, kemudian Mesir dan Persia. Hal sepadan juga menyebutkan bahwa, ketika bahasa Arab menjadi bahasa percakapan orang-orang non-Arab, bahasa Arab mendapat masukan-masukan kata baru. Kata-kata baru ini diambil dari kata-kata wilayah yang ditaklukkan. Sebagai contoh, kata “kubah” dan “menara”. Kedua kata tersebut masuk kedalam kosakata bahasa Arab ketika orang-orang Arab melihat bangunan-bangunan itu. Hal yang lebih menarik lagi bahasa Arab sendiri ternyata memiliki kelenturan menerima kosakata kata baru. Dengan demikian bahasa Arab menjadi sangat kaya dengan kosakata dan istilah.
  2. Mengganti Mata Uang.Kebijakan lain yang dikeluarkan Abdul Malik bin Marwan adalah penggantian mata uang. Ia mengeluarkan mata uang logam Arab. Sebelumnya, pada masa Nabi Muhammad saw., dan Khalifah Abu bakar mata uang yang dipakai sebagai alat tukar atau alat bayar adalah mata uang romawi dan persia. Mata uang ini pada masa pemerintahan sesudahnya, khususnya pada masa khalifah Umar bin Khattab telah banyak yang rusak. Inilah salah satu sebab mengapa Abdul Malik bin Marwan melakukan pembaharuan dalam bidang mata uang. Ia mengeluarkan jenis mata uang baru yang bisa dibilang sebagai mata uang resmi pemerintahan islam. Mata uang ini terbuat dari emas (Dinar), dan perak (Dirham) dan perunggu (Fals atau Fuls).Yaitu, mata uang yang satu sisinya bertuliskan kalimat “Laailaha Illallah” dan sisi lainnya tertulis nama khalifah. Mata uang Islam yang baru ini menghilangkan symbolis Kristen dan Zoroaster. Untuk kepentingan itu, khalifah Abdul malik bin Marwan mendirikan pabrik percetakan uang di Damaskus
  3. Pembaharuan Ragam Tulisan Bahasa Arab.Kebijakan Abdul Malik bin Marwan lainya adalah pembaharuan dalam ragam tulisan bahasa Arab. Hal ini dilakukan karena berdasarkan penilaiannya terdapat dua kelemahan didalam bahasa Arab. Pertama, bahasa arab hanya mengandung huruf konsonan (huruf mati), yang dapat diucapkan dalam beberapa bunyi Vokal. Kenyataannya ini menyulitkan bagi masyarakat muslim yang bukan berasal dari bahasa Arab didalam memahami dan mengucapakan bahasa Arab. Kedua, adalah beberapa huruf arab mempunyai kesamaan bentuk, seperti antara huruf ( د dan ذ )dan lainya. Hajjaj bin Yusuf salah seorang gubernur Abdul malik yang mahir di dalam seni menulis arab, memperkenalkan tanda vokal dan menerapkan tanda-tanda titik untuk membedakan beberapa huruf yang sama bentuknya.Pembaharuan dilakukan khalifah Abdul Malik bin Marwan dan Gubernur Hajjaj bin Yusuf ini menjadikan bahasa Arab lebih sempurna dan sekaligus menghilangkan kesulitan bagi pembaca luas dikalangan non Arab.
  4. Pembaharuan Dalam Bidang Keuangan Hingga pada masa pemerintahan Abdul Malik, umat islam hanya berkewajiban membayar zakat dan bebas dari kharaj dan jizyah. Hal ini mendorong orang non-muslim memeluk agama Islam. Dengan cara ini, mereka terbebas dari pembayaran Kharaj dan jizyah. Setelah itu, mereka meninggalkan tanah pertaniannya guna mencari nafkah di kota-kota besar sebagai tentara.Kenyataan ini menimbulkan masalah bagi perekonomian negara. Karena pada satu sisi perpindahan agama mengakibatkan berkurangnya sumber pendapatan negara dari sektor pajak. Pada sisi lain, bertambahnya militer Islam dari kelompok Mawali memerlukan dana subsidi yang makin besar. Untuk mengatasi permasalahan ini, khalifah Abdul Malik mengembalikan beberapa militer Islam kepada profesinya semula, yakni sebagai petani dan menetapkan kepadanya untuk membayar sejumlah kewajiban mereka sebelum mereka masuk Islam, yakni sebesar beban kharraj dan jizyah. Keputusan khalifah Abdul Malik ini tentu saja ditentang keras oleh kelompok Mawali. Karena ketidakpuasan ini, pada akhirnya mereka menyokong gerakan propaganda Abbasiyah untuk menggulingkan dinasti Umayah.
  5. Pengembangan Sistem Pos Ketika Abdul Malik berkuasa,ia berusaha mengembangkan system pos yang telah dibangun pada masa Mawiyah bin Abu Sufyan.Sistem pos ini menghubungkan kota-kota propinsi dengan pemerintahan pusat. Para petugas pos mengendarai kuda dalam menjalankan tugasnya, khususnya tugas menyampaikan informasi penting dari pemerintahan pusat ke pemerintahan propinsi.Selain itu Khalifah juga mendirikan beberapa kota baru, diantara kota terpenting adalah Al-Wasith di antara rendah Irak. Pendirian kota ini dimaksudkan untuk mengendalikan timbulnya gerakan pengacau di wilayah irak.
  6. Membentuk Mahkamah Agung Kebijakan lain yang menjadi jasa peniting dari peninggalan pemerintahan khalifah Abdul Mallik adalah mendirikan lembaga Mahkamah Agung.Lembaga ini didirikan untuk mengadili para pejabat tinggi negara yang melakukan penyelewengan atau tindakan yang merugikan bangsa dan Negara atau bertindak sewenang-wenang terhadap rakyat.
  7. Mendirikan Bangunan-Bangunan PentingKeberhasilan lain yang menjadi jasa dari peninggalan Khalifah Abdul Malik adalah menjadikan bangunan-bangunan penting yang sangat dibutuhkan didalam memperlancar roda pemerintahan dan kekuasaan militer bani Umayah. Pada masanya, telah dibangun pabrik-pabrik senjata dan pabrik kapal perang di Tunisia. Membangun Kubah baru (Qubbah Al-Sakhra) di Yerussalem. Yang hingga kini masih terpelihara dengan baik dan masih utuh.
  8.  Kerajinan Kerajinan pada masa Abdul Malik mulai dirintis pembuatan tiraz atau semacam bordiran yakni cap resmi yang di cetak pada pakaian khalifah dan para pembesar pemerintahan.
  9. Membangun Sarana dan Prasarana Abdul Malik juga mendirikan bangunan seperti pabrik senjata dan kapal perang di Tunisia. Ia juga membangun Masjid Umar atau Qubbatush Shakra’ di Yerusalem dan memperluas Masjidil Haram di Makkah.
  10. Perluasan wilayah pemerintahan Perluasan wilayah (ekspansi) politik Islam diluar semenanjung Arabia yang terhenti dimasa khalifah Ali, kini diteruskan oleh dinasti bani umayyah, terutama dimasa khalifah Abdul Malik bin Marwan dan al-Walid bin Abdul Malik. Ekspansi  pada masa ini terbagi kepada dua arah, ke barat yang meliputi wilayah Afrika Utara, Spanyol dan Perancis. Dan ke timur yang meliputi wilayah Asia Tengah dan India. Ekspansi ke barat telah dimulai sejak masa pemerintahan Muawiyah. Ia mengutus Uqbah bin Nafi’ untuk menaklukkan daerah-daerah Afrika utara yang telah lama dikuasai romawi. Ia berhasil mengusai tunisia, dan di tahun 670 M. Ia menjadikan kota Qairuwan sebagai ibu kota dan pusat kebudayaan Islam. Namun, wilayah itu kemudian kembali dikuasai  bangsa barbar, baru pada masa Abdul Malik bin Marwan berhasil dikuasai kembali berkat pasukan yang dipimpin Hasan bin Nu’man. Setelah Hasan meninggal pada 708 M, jabatan gubernur digantikan oleh panglima Musa bin Nusair. Ia meluaskan kekuasaannya dengan menaklukkan Aljazair, Maroko, sampai ke pantai samudra Atlantik. Ekspedesinya juga berhasil merebut pulau Majorka, Minorka, dan Ivoka. Penaklukan militer di zaman Umayah mencakup tiga front penting yaitu : Pertama, front melawan bangsa Romawi di Asia kecil dengan sasaran utama pengepungan ke ibu kota Konstantinopel, dan penyerangan ke pulau-pulau di Laut Tengah. Kedua, front Afrika Utara. Selain menundukkan daerah hitam Afrika, pasukan muslim juga menyeberangi selat Gibraltar, lalu masuk ke Spanyol. Ketiga, front timur menghadapi wilayah yang amat luas, sehingga operasi ke jalur ini dibagi menjadi dua arah. Yang satu menuju utara ke daerah-daerah di seberang sungai Jihun (Amu Dariyah). Sedangkan yang lainnya ke arah selatan menyusuru Sind, wilayah india bagian barat. Pada masa pemerintahan Muawiyah diraih kemajuan besar dalam perluasan wilayah, meskipun pada beberapa tempat masih bersifat rintisan. Peristiwa paling mencolok keberaniannya mengepung kota Konstantinopel melalui suatu ekspedisi yang dipusatkan di kota pelabuhan Dardanela, setelah terlebih dahulu menduduki pulau-pulau di Laut Tengah seperti Rodhes, Kreta, Cyprus, Sicilia dan sebuah pulau yang bernama award, tidak jauh dari ibu kota Romawi Timur itu. Di belahan timur, Muawiyah berhasil menaklukan Khurrasan sampai ke sungai Oxus dan Afganistan. Ekspansi ke timur yang telah dirintis oleh Muawiyah, lalu disempurnakan oleh khalifah Abdul Malik bin Marwan. Dibawah komando Gubernur Irak Hajjaj ibn Yusuf, tentara kaum muslimin menyeberangi sungai Ammu Darya dan menundukkan Balkh, Bukhara, Khawarizm, Fergana dan Samarkand. Pasukan islam juga melalui Makran masuk ke Balukhistan, Sind dan Punjab sampai ke Multan, pada waktu itu Islam menancapkan kakinya untuk pertama kalinya di bumi India.
Jasa-jasa lain kepemimpinan Abdul Malik bin Marwan
  1. Mempertahankan keberlangsungan Dinasti Umayah.
  2. Menciptakan kesejahteraan rakyat melalui perbaikan administrasi Negara.
  3. Menyempurnakan mushaf Al- Quran.
  4. Menguasai wilayah-wilayah yang berada dalam cengkraman non muslim.
  5. Menata administrasi Negara dalam rangka mengumpulkan dan meneliti dokumen-dokumen penting milik Negara.
  6. Menunjuk orang-orang yang berkompeten untuk menduduki jabatan gubernur dan penguasa di daerah-daerah yang dianggap penting.
  7. Meredam gangguan dan ancaman dari kelompok orang-orang yang mendorong kewibawaan Negara.
Dalam sejarah, Abdul Malik dikenal dengan “Abdul Muluk” atau ayah para raja atau khalifah. Dijuluki demikian karena keempat anaknya sempat menjadi khalifah Bani Umayyah menggantikannya. Mereka itu adalah Walid, Sulaiman, Yazid, dan Hisyam. Abdul Malik bin Marwan meninggal dunia pada pertengahan bulan Syawal tahun 86 Hijriyah dalam usia 60 tahun. Ia meninggalkan karya besar bagi sejarah Islam. Masa pemerintahannya 21 tahun, dan 8 tahun dari masa tersebut menghadapi sengketa dengan Khalifah Abdullah ibn Zubair.

BAB III
PENUTUP

3.1 kritisi
Menurut saya Dinasti Umayah pada masa kekhalifahan Abdul Malik bin Marwan ini mempunyai kelebihan dan kekurangan diantaranya yaitu Kekurangan.
Abdul Malik adalah seorang khalifah yang mengingkari janjinya yang menjanjikan kepada ‘Amru ibnu Sa’id untuk menjadi khalifah sesudahnya tetapi kenyataanya kekhalifahan itu di turunkan kepada anaknya dan akhirnya ‘Amru ibnu sa’id tewas di bunuh oleh Abdul Malik di karenakan ‘Amru ibnu Sa’id terus mendesak Abdul Malik agar janji itu segera di umumkan dan dikokohkan. Dan dia juga selalu melarang orang berbicara di depan khalifah serta apa yang di ucapkanya harus di patuhi dan ketika dia memutuskan suatu perkara maka ia akan selalu menyandang pedang sebagai bukti ancaman harus menaatinya.
Kelebihan:
Abdul Malik adalah orang pertama kali yang membuat mata uang dinar dan menuliskan di atasnya ayat-ayat Al-Qur’an dan masih banyak lagi kelebihan-kelebihan beliau yang sudah di jelaskan dalan jasa-jasa pada masa kekhalifahanya.
Di samping kekurangan dan kelebihannya ada juga ibrah yang dapat di ambil bagi kita dari kepemimpinan beliau yaitu di antaranya:
  1. Semangat juang yang dimiliki Abdul Malik begitu kuat untuk memertahankan suatu Negara, wilayah, suku, dan kekuasaanya seperti pada penyelamatan kekhalifahan Umayah yang pada saat itu sedang hancur
  2. Abdul malik sangat memperhatikan kelangsungan kesejanteran hidup orang banyak seperti contohnya: memperbaiki fasilitas Negara yang bertujuan untuk memakmurkan rakyat.
  3. Memudahkan kita semua untuk membaca kitab suci dengan menyempurnakan mushaf Al-Qur’an dan tidak hanya itu beliau juga selalu bersemangat dalam menyebarkan agama islam.
  4. Itulah beberapa ibrah yang dapat kita ambil manfaatnya.


3.2. Kesimpulan
Abdul Malik bin Marwan merupakan putra dari khalifah Marwan bin Hakam. Nama lengkap beliau adalah Abdul Malik bin Marwan bin Al Hakam bin Abu Al ‘Ash binUmayah bin Abdu Syams bin Abdu Manaf. Beliau  lahir di Madinah pada tahun 26 H, pada masa pemerintahan Utsman bin Affan. Abdul Malik bin Marwan menjabat khalifah kelima Dinasti Umayah pada usia 39 tahun. Dia dianggap khalifah perkasa, negarawan,berwibawa, yang mampu memulihkan kesatuan umat muslimin. Abdul Malik berkuasa kurang lebih 21 tahun yaitu sejak 685-705M/66-86H. Dalam masa pemerintahannya,tidak terjadi penaklukan dalam skala besar. Karena, dia di sibukkan dengan perang.
Adapun  beberapa usaha yang berhasil dilakukan oleh khalifah Abdul Malik bin Marwan antara lain: meredam pemberontakan golongan syiah, pemberontakan Abdullah bin Zubair, dan pemberontakan golongan Khawarij. khalifah Abdul Malik bin Marwan melakukan beberapa pembaharuan untuk memperlancar administrasi pemerintahan. Diantara jasa dan pembaharuan yang dilakukan adalah
  1. Menjadikan bahasa Arab menjadi bahasa resmi Negara
  2. Mengganti mata Uang
  3. Pembaharuan Ragam Tulisan Bahasa Arab.
  4. Pembaharuan Dalam Bidang Keuangan
  5. Pengembangan sistem pos
  6. Membentuk Mahkamah Agung
  7. Mempertahankan keberlangsungan Dinasti Umayah
Itulah beberapa usaha- usaha yang dilakukan oleh Abdul Malik bin Marwan pada masa pemerintahannya.
3.3    Saran dan Kritik
Penulis menyadari makalah ini banyak kekurangan baik dari segi materi maupun dari segi penulisan, Saya mengharapkan kritik dan saran dari pembaca yang membangun demi perbaikan makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi Saya khususnya dan umumnya bagi para pembaca. Amin.

DAFTAR PUSTAKA
Shalati,Ahmad.1987.SejarahKebudayaanIslam.Jakarta:PustakaAl-Husna.
Badri,Yatim.1993.SejarahPeradabanIslam.DirasahIslamiyahII.Jakarta:RajaGrafindoPersada.
Syalabi,A.1988.SejarahdanKebudayaanIslam2.Jakarta:PustakaAl-Husna.
Amin,HusyaduAhmad.1995.SeratusTokohdalamSejarahIslam.Bandung:MakhtabahMadbouli,Kairo,Mesir.
https://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/11/04/22/lk1d8h-daulah-umayyah-abdul-malik-bin-marwan-685705-m-ayah-para-khalifah

Makalah Tentang Aliran Al-Maturidiyah

BAB I
PEMBAHASAN

A.    LATAR BELAKANG
Latar belakang aliran ma’turidiyah, aliran ma’turidiyah lahir di Samarkhan di pertengahan tahun kedua dari abad IX M. Pendirinya adalah Abu Mansur Muhammad Ibnu Muhammad Ibnu Muhammad Al-Ma’turidi. Ia sebagai penganut Abu Hanifah sehingga teologinya memiliki banyak persamaan dengan paham-paham yang dipegang oleh Abu Hanifah. Ada suatu pendapat yang mengatakan bahwa ada karangan–karangan yang disusun oleh al-Ma’turidi, yaitu Risalah Fi Al-Aqaid dan Syarh Al-Fiqh Al-Akbar. Menurut para ulama Hanafiah dalam bidang akidah sama benar dengan pendapat-pendapat Imam Abu Hanifah. Sebelum Imam Abu Hanifah terjun dibidang fikih dan menjadi tokohnya, beliau telah lama berkecimpung dalam bidang akidah serta banyak pula mengadakan tukar pendapat dan perdebatan-perdebatan yang dikehendaki pada masa zamannya.
B.    RUMUSAN MASALAH
1.    Bagaimana sejarah munculnya faham Ma’turidiyah?
2.    Siapakah tokoh-tokoh Ma’turidiyah dan pengaruhnya terhadap umat islam?
3.    Bagaimana pengaruh pemikiran Ma’turidiyah terhadap umat islam?
C.    TUJUAN
Agar kita dapat mengetahui sejarah munculnya Ma’turidiyah dan ajarannya. Sehingga kita dapat mengerti dan paham perkembangan peradaban pada zaman dahulu.

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Sejarah Munculnya Paham Ma’turidiyah
Abu Manshur Muhammad Ibn Muhammad Ibn Mahmud Al-Maturidi. Ian dilahirkan disebuah kota kecil didaerah Samarkhan yang bernama Maturid, di wilayah Temsoxiana di Asia Tengah di daerah yang sekarang disebut Uzbekistan. Tahun kelahirannya tidak diketahui pasti, hanya diperkirakan sekitar pertengahan abad ke-3 H. Ia wafat pada tahun 333 H / 944 M. Gurunya dalam bidang fiqh dan teologi yang bernama Nasyir bin Yahya Al-Balakhi, ia wafat pada tahun 268 H. Al-Maturidi hidup pada masa khalifah Al-Mutwakil yang memerintah pada tahun 232-274 H / 847-861 M. Karir pendidikan Al-Maturidi lebih dikonsentrasikan untuk menekuni bidang teologi daripada fiqh. Pemikiran-pemikirannya banyak dituangkan dalam bentuk karya tulis, diantaranya adalah kitab Tauhid, Ta’wil Al-Qur’an Makhas Asy-syara’I, Al-Jald, dll. Selain itu ada pula karangan-karangan yang diduga ditulis oleh Al-Maturidi yaitu Al-Aqaid dan Syarah Fiqh.
    Al-Maturidiyah merupakan salah satu sekte Ahl-al-sunnah Al-jamaah, yang tampil dengan Asy’ariyah. Maturidiyah dan Asy’ariyah dilahirkan oleh kondisi sosial dan pemikiran yang sama. Kedua aliran ini datang untuk memenuhi kebutuhan mendesak yang menyerukan untuk menyelamatkan diri dari ekstriminasi kaum rasionalis, dimana yang berada paling depan.
    Menurut ulama-ulama Hanafiah, hasil pemikiran Al-Maturidi dalam bidang aqidah sama besar dengan pendapat-pendapat Imam Abu Hanifah. Imam Abu Hanifah sebelum terjun dalam fiqh dan menjadi tokohnya, telah lama berkecimpung dalam bidang aqidah serta bamyak pula mengadakan tukar pendapat dan perdebatan-perdebatan seperti yang dikehendaki oleh suasana zamannya, dan salah satu buah karyanya dalam bidang aqidah ialah bukunya yang berjudul “Al-Fiqhul Akbar”. 
    Al-maturidi dinilai sebagai ilmu kalam sunni yang menghidupkan aqidah ahlu assunnah dengan metode akal. Meskipun al-maturidi hidup semasa dengan al-asy’ari tetapi antara keduanya tidak ada komunikasi dan saling mengenal pendapatnya. Jadi, meskipun keduanya terdapat banyak kesamaan dalam tujuan dan cara menuju tujuan, tetapi al-maturidi mempunyai cara yang berbeda dengan asy’ari. Latar belakang fiqih ikut berpengaruh. Al-asy’ari bermadzhab syafi’I yang dikenal moderat, tetapi dekat dengan tradisionalis, banyak terikat kepada nash nash naqli, sedang al-maturidi bermadzhab fiqih Imam Abu Hanifah yang dikenal ahl ra’yi lebih cenderung rasionalis. 
    Dalam pemikiran itu ternyata, bahwa pikiran-pikiran al-maturidi sebenarnya berintikan pikiran-pikiran Abu Hanifah dan merupakan penguraiannya yang lebih luas. Kebanyakan ulama-ulama maturidiyah terdiri dari orang-orang pengikut aliran fiqih hanafiah, seperti Fahrudin Al-Bazdawi, At-Taftazani, An-Nasafi, Ibnul Hammam, dll.
    Memang aliran asy’ariyah lebih dulu menentang paham-paham dari aliran mu’tazilah. Seperti yang kita ketahui, al-maturidi lahir dan hidup di tengah-tengah iklim keagamaan yang penuh dengan pertentangan pendapat antara Mu’tazilah dan asy’ariyah sekitar masalah kemampuan akal manusia. Maka dari itu, al-maturidi melibatkan diri dalam pertentangan itu dengan mengajukan pemikiran sendiri. Pemikirannya itu merupakan jalan tengah antara aliran Mu’tazilah dan Asy’ariyah.
    Pemikiran- pemikiran AL-Mathuridi bertujuan untuk membendung paham Mu’tazilah seperti jga aliran Asy-‘Ariyah. Namun demikian tidak seluruh pemikirannya bertentangan dengan Mu’tazilah. Bahkan dalam beberapa hal pemikirannnya hampir sama dengan pendapat Mu’tazialh. Oleh karena itu, sering kali Al-Maturidi disebut “Berada diantara teologi dan mu’tazilah dan Asy’ariyah.   Dalam perkembangan sejalanjutnya aliran Maturidi menjadi terbagi dua sekte yakni Sekte Al-Maturidiyah Samarkhan (Abu Mansur Al-Maturidiyah) dan Al-Maturidiyah Al-Bukhoro (Abu Al-Alyusr Muhammad Bazdawi).
B.    Tokoh – tokoh Al – Ma’turidiyah
1.    Tokoh al Maturidiyah Samarkhan
Nama aslinya Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad Abu Mansur al Maturidi. Asalanya dari Maturidi yaitu sesuatu daerah yang di Samarkhan. Sehingga terkadang namanya disandarkan pada samarkhan dan biasa dipanggil Abu Mansyur Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad ibn Mahmud al-Maturidi as-Samarkhan.  Beliau dilahirkan tepatnya di Maturid, Uzbekistan para paruh kedua abad ke 9 M.  Sebenarnya tahun kelahirannya tidak diketahui secara pasti, namun Muhammad Ab Zahrah menuliskan, diperkiirakan pada pertengahan abad ke 3 H. karena beliau mereguk ilmu fikih madzhab Hanafi dan ilmu kalam dari Nasr Ibn Yahya al-Baikhi yang wafat pada tahun 268 H.
Abu Mansur al-Maturidi merupakan seorang teologian (mutakallimin) pembentuk ilmu kalam dari Nasr Ibn Yahya al-Balkhi yang wafat pada tahun 268 H. Pandangan lain mengatakan bahwa Abu Mansur al-Maturidi merupakan seorang teologian (mutakillimin) pembentuk ilmu kalam (teologi Islam) yang wafat pada tahun 333 H./944 M.  Beliau hidup pada sekitar abad ketiga dan keempat Hijriyah atau pada pertengahan abad kesembilan sampai dengan pertengahan abad kesepuluh Masehi.
Semasa hidupnya al-Maturidi menerima ilmu dari banyak guru, di antaranya dari Abu Nashr Ahmad ibn al-Abbas al-Bayadi, Ahmad ibn Ishak al-Jurjani dan Nashr ibn Yahya al-Balkhi yang merupakan ulama terkemuka dalam mazhab Hanafiah.
Al-Maturidi dalam bidang yang dikajinya menyusun sejumlah kitab yang cukup banyak. Di antaranya adalah : “Kitab Ta‘wil al-Qur’an, Kitab al-Ma‘khuz al-Syara‘i, Kitab al-Jadal, Kitab al-Usul fi Usul al-Din, Kitab al- Maqalat fi al-Kalam, Kitab Radd Tahdzib al-Jadal li al-Ka’bi, Kitab Radd al-Usul al-khamsah li Abi Muhammad al-Babili, Radd Kitab al-Imamah li Ba’dhi al-Rawafid dan al-Radd ‘ala al-Qaramitah”
Al-Maturidi merupakan pengikut setia dari Abu Hanifah yang terkenal ketat dengan keabsahan pendapat akal. Sehingga al-Maturidi banyak memakai komparasi akal dalam penyelesaikan problem keagamaan (teologi). Pengikut dari al-Maturidi, salah satunya adalah Abu al-Yusr Muhammad al-Bazdawi (421-493 H). Nenek al-Bazdawi merupakan murid dari al-Maturidi, dan ajaran al-Maturidi dari orang tuanya. Al-Bazdawi tidak selamanya sepaham dengan al-Maturidi. Perbedaan pendapat di antara mereka menyebabkan aliran al-Maturidi terbagi menjadi dua golongan, golongan Samarkhan dan golongan Bukhara.
2. Tokoh al-Maturidiyah Bukhara
Al-Bazdawi lahir di Hudud sebuah negeri di Bazdah akhir 400 H/1010 M. Nama lengkapnya Ali ibn Abi Muhammad ibn al-Husaein ibn Abd al- Karim ibn Musa ibn Isa ibn Mujahis al-Bazdawi. Al-Bazdawi adalah seorang tokoh besar yang berpengaruh pada zaman itu. Hal ini terlihat dengan keberhasilannya menjadi sub aliran Maturidiyah yang kemudian di kenal dengan nama Maturidiyah Bukhara. Di samping itu, al-Bazdawi memiliki beberapa gelar yaitu al-Mujtahid fi al-Masail (mujtahid yang tidak berjtihad sepanjang masih ada pendapat imamnya, tetapi apabila ada masalah hukum yang belum dibahas oleh imamnya, maka mereka berjitihad untuk memecahkannya), huffadz al-mazhab al-Hanafi (pelestari mazhab Hanafi), kebanggan Islam, dan Abu al-Usr’ (bapak kesulitan).
Keberhasilan-keberhasilan itu dicapainya dengan menorehkan beberapa hasil pemikirannya sesuai dengan bidang ilmu yang diketahuinya, di antaranya sebagai berikut:
a.    Menurutnya ilmu terbagi atas 2 yakni pertama, ilmu tauhid dan sifat, ilmu ini pada prinsipnya berpegang teguh pada al-Qur’an dan hadis serta menghindari dari hawa nafsu dan bid’ah. Umat Islam harus mengikuti terikat (cara-cara yang ditempuh) sunnah atau jamaah yang ditempuh oleh sahabat, tabi’in dan orang-orang saleh, sebagaimana diajarkan oleh ulama sebelumnya. Kedua, ilmu syariat dan hukum.
b.    Bidang usul fikih, al-Bazdawi mengajukan pemikiran di sekitar ijma’. Baginya ada beberapa tingkatan ijma’, yakni 1). Ijma’ sahabat, kedudukannya sama dengan ayat dan khabar mutawatir , 2). Ijma’ orang-orang sesudah sahabat, kedudukannya sama dengan hadis masyhur, dan 3). Ijma’ mujtahid, yakni pada masa salaf, kedudukannya sama dengan hadis ahad. Menurutnya ijmak dapat dinasakh oleh ijma’ yang setaraf. Inilah yang membuat perbedaan dengan ulama-ulama usul fikih lainnya yang menyatakan bahwa ijma’ tidak dapat dibatalkan dengan ijma’.
c.    Dalam bidang fikih, bahwa fikih dari tiga sumber yaitu kitab, sunnah dan ijma’, sedangkan qiyas di istinbat-kan dari asal yang tiga tersebut. Hukum-hukum syara’ hanya diketahui dengan mengetahui peraturan dan pengertian (nazham wa al-ma’na) yang terdiri dari empat bagian. Pertama, dalam bentuk peraturan adalah sighat dan bahasa. Kedua, penjelasan peraturan, ketiga mempergunakan peraturan dalam bab bayan (penjelasan), dan keempat, mengetahui batas maksud dan makna karena keluasannya dan banyak kemungkinannya.  Dalam bidang ilmu fikih, al-Bazdawi termasuk pengikut mazhab Hanafi yang ditempatkan pada posisi paling tinggi. Karena Imam Hanafi menurutnya berani menasakh al-Qur’an dengan hadis dan mengamalkan hadis mursal dan beranggapan beramal dengan hadis mursal lebih baik dari pada beramal dengan ra’yi (pemikiran hasil ijtihad).
d.    Pemikirannya yang sulit dipahami oleh Abdul Azis Bukhari ketika menulis Kasyf al-Asrar adalah ungkapan wa lamma haza al-kitab kasyifan ‘an sammaituhu ghawamid muhtajibah ‘an alabsar, nasib ‘an sammaituhu kasyif al-asrar. (berhubung karena kitab ini berfungsi sebagai usaha untuk menyikap masalah yang tidak terjangkau oleh pengertian [sulit sekali], maka tepatlah apabila aku memberinya judul Menyingkap Rahasia.
Selain dari itu, al-Bazdawi semasa hidupnya memiliki karya-karya yang terbilang tidak sedikit jumlahnya antara lain :1). Al-Mabsut (yang terbentang), 2). Syar Jami’ al-Kabir (komentar terhadap al-Jami’ al-Kabir karangan al-Syaibani), 3). Syarh al-Jami’ al-Sagir (komentar terhadap al-Jami’ al-Sagir karangan al-Syaibani). 4). Syarh al-Ziyadah al-Ziyadat (komentar terhadap buku Ziyadah al-Ziyadat karangan al-Syaibani, 5). Usul al-Bazdawi (pokok-pokok pikiran al-Bazdawi). 6). Usul al-Din (pokokpokok agama), 7). Kasyf al-Asrar fi Tafsir al-Qur’an (menyikap tabir dalam tafsir al-Qur’an), 8). Amali Tafsir al-Qur’an (beberapa ide tentang tafsir al-Qur’an), 9). Sirah al-Mazhab fi Sifah al-Adab, (tentang sejarah, tokoh, dan aliran sastra), 10). Syarh Taqwim al-Adillah (komentar terhadap buku Taqwim al-Adillah), 11). Syarh al-Jami’ al-Sahih li al-Fuqaha (senandung ahli fikih) dan 13). Al-Waqiat (buku yang berisi mengenai keputusan pengadilan).
Al-Bazdawi semasa hidupnya pernah menjabat sebagai hakim dan mengajarkan ilmunya kepada para murid-muridnya, salah satu muridnya ialah Najm al-Din Muhammad al-Nasafi (460-573 H.) serta mengajarkan ajarannya terutama mengenai teologi Maturidiyah Bukhara sampai menjelang tutup usia pada tahun 493 H.

C.    Pengaruh Pemikiran Ma’turidiyah
a. Akal dan wahyu
Dalam pemikiran teologinya, Al-Maturidi mendasarkan pada Al-Qur’an dan akal. Dalam hal ini, ia sama denggan Al-Asy’ari. Akan tetapi, porsi yang diberikan pada akal lebih besar daripada yang diberikan oleh Al-Asy’ari.
Menurut Al-Maturidi, mengetahui Tuhan dan kewajiban mengetahui Tuhan dapat diketahui dengan akal. Kemampuan akal mengetahui dua hal tersebut sesuai dengan ayat-ayat Al-Qur’an yang mengandung perintah agar manusia menggunakan akal dalam usaha memperoleh pengetahuan dan iman terhadap Allah melalui pengamatan dan pemikiran yang mendalam tentang makhluk ciptaan-Nya. Apabila akal tidak mempunyai kemampuan memperoleh pengetahuan tersebut, Allah tidak akan memerintahkan manusia untuk melakukannya. Orang yang tidak mau menggunakan akal untuk memperoleh iman dan pengetahuan mengenai Allah berarrti meninggalkan kewajiban yang diperintahkan ayat-ayat tersebut. Menurut Al-Maturidi, akal tidak mampu mengetahui kewajiban-kewajiban lainnya, kecuali dengan bimbingan dari wahyu. Al-Maturidi membagi sesuatu yang berkitan dengan akal pada tiga macam, yaitu:
1) Akal hanya mengetahui kebaikan sesuatu itu;
2) Akal hanya mengetahui keburukan sesuatu itu;
3) Akal tidak mengetahui kebaikan dan keburuksn sesuatu, kecuali dengan petunjuk ajaran wahyu.
Mengetahu kebaikan atau keburukan sesuatu dengan akal, Al-Maturidi sependapat dengan Mu’Tazilah. Perbedaannya, Mu’tazilah mengatakan bahwa perintah kewajiban melakukan yang baik dan meninggalkan yang buruk didasarkan pada pengetahuan akal. Al-Maturidi mengatakan bahwa kewajiban tersebut harus diterima dari ketentuan ajaran wahyu. Dalam persoalan ini, Al-Maturidi berbeda pendapat dengan Al-Asy’ari. Menurut Al-Asy’ari, baik atau buruk tidak terdapat pada sesuatu itu sendiri. Sesuatu itu dipandang baik atau buruk karena perintah syara’ dan dipandang buruk karena larangan syara’. Jadi, yang baik itu baik karena perintah Allah dan yang buruk karena larangan Allah. Pada
konteks ini, ternyata Al-Maturidi berada pada posisi tengah dari Mu’tazilah dan Al- Asy’ari.
b. Perbuatan Manusia
Menurut Al-Maturidi, perbuatan manusia adalah ciptaan Tuhan karena segala sesuatu dalam wujud ini adalah ciptaan-Nya. Khusus mengenai perbuatan manusia, kebijaksanaan dan keadilan kehendak Tuhan mengharuskan manusia memiliki kemampuan berbuat (ikhtiar) agar kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepadanya dappat dilaksanakan.
Dalam hal ini, Al-Maturidi mempertemukan antara ikhtiar sebagai perbuatan manusia dengan qudrat Tuhan sebagai pencipta perbuatan manusia. Tuhan menciptakan daya (kasb) dalam diri manusia dan manusia bebas menggunakannya. Daya-daya tersebut diciptakan dengan
perbuatan manusia. Dengan demikian, tidak ada pertentangan antara qudrat Tuhan yang menciptakan perbuatan manusia dengan ikhtiar yang ada pada manusia. Kemudian,
karena daya diciptakan dalam diri manusia dan perbuatan yang dilakukan adalah perbuatan manusia dalam arti yang sebenarnya sehingga daya itu daya manusia. Berbeda dengan Al-Maturidi, Al-Asy’ari mengatakan bahwa daya tersebut adalah daya Tuhan karena ia memandang perbuatan manuisa adalah perbuatan Tuhan. Berbeda pula dengan Mu’tazilah yang memandang daya sebagai daya manusia yang telah ada sebelum perbuatan itu sendiri.
Dalam hal pemakain daya, Al-Maturidi membawa paham Abu Hanifah, yaitu adanya masyi’ah (kehendak) dan rida (kerelaan), kebebasab manusia dalam melakukan baik ataun buruk tetap dalam kehendak Tuhan. Tetapi memilih yang diridai-Nya atau yang tidak diridai-Nya. Manuisa berbuat baik atas kerelaan Tuhan, dan berbuat buruk juga atas kehendak Tuhan, tetapi tidak ada kerelaan-Nya. Dengan demikian, manusia dalam paham Al-Maturidi tidak sebebas manusia dalam pahara Mu’tazilah.
c. Kekuasaan dan Kehendak mutlak Tuhan
Telah diuraikan di atas bahwa perbuatan manusia dan segala sesuatu dalam wujud ini, yang baik atau buruk adalah ciptaan Tuhan. Akan tetapi, pernyataan ini menurut Al-Maturidi bukan berate Tuhan berkehendak dan berbuat dengan sewenang-wenang serta sekehendak-Nya, karena qudrat Tuhan tidak sewenang-wenang (absolut),tetapi perbuatan dan kehendak-Nya itu berlangsung sesuai dengan hikmah dan keadilan yang sudah ditetapkan-Nya.
d. Sifat Tuhan
Berkaitan dengan masalah sifat Tuhan, dapat ditemukan persamaan antara pemikiran Al-Maturidi dengan Al-Asy’ari. Seperti halnya Al-Asy’ari, ia berpendapat bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat, seperti sama’bashar, dan sebagainya. Walaupun begitu, pengertian Al-Maturidi tentang sifat Tuhan berbeda dengan Al-Asy’ari. Al- Asy’ari mengartikan sifat Tuhan sebagai sesuatu yang bukan dzat. Menurut Al-Maturidi, sifat tidak dikatakan sebagai esensi-Nya. Sifat-sifat Tuhan Tuhan itu mulazamah (ad bersama, baca inherent) dzat tanpa terpisah (innaha lam takun ‘ain adz-dzat wa la hiya ghairuhu). Menetapkan sifat bagi Allah tidak harus membawa pada pengertian antropomorfisme karena sifat tidak berwujud yang terdiri dari dzat, sehingga berbilang sifat tidak akan membawa pada berbilangnya yang qadim(taaddud al-qudama).i
Tampaknya, paham Al-Maturidi tentang makna sifat Tuhan cenderung mendekati paham Mu’tazilah. Perbedan keduanya terletak pada pengakuan Al-Maturidi tentang adanya sifat-sifat Tuhan, sedangkan Mu’tazilah menolak adanya sifat-sifat Tuhan.
e. Tuhan
Melihat Al-Maturidi mengatakan bahwa manusia dapat melihat Tuhan. Tentang melihat Tuhan ini dibeeritakan oleh Al-Qur’an, diantara lain firman Allah dalam surat Al-Qiyamah ayat 22 dan 23.
Al-Maturidi lebih lanjut mengatakan bajwa Tuhan kelak di akhirat dapat ditangkap dengan penglihatan karena Tuhan mempunyai wujud, walaupun ia immaterial. Melihat Tuhan kelak di akhirat tidak meperkenalkan bentuknya (bila kaifa) karena keadaan diakhirat tidak sama dengan keadaan di dunia.
f. Kalam Tuhan
Al-Maturidi membedakan antara kalam yang tersusun dengan huruf dan bersuara dengan kalam nafsi (sabda yang sebenarnya atau makna abstrak). Kalam nafsi adalah sifat qadim bagi Allah, sedangkan kalam yang tersusun dari huruf dan suara adalah baharu(hadis). Al-Qur’an dalam arti kalam yang tersusun dari huruf dan kata-kata adalah baharu (hadis). Kalam nafsi dan manusia tidak dapat mendengar atau membacanya, kecuali dengan perantara.
Menurut Al-Maturidi, Mu’tazilah memandang Al-Quran sebagai yang tersusun dari huruf-huruf dan kata-kata, sedangkan Al-Asy’ari memandang nya dari segi makna abstrak. Berdasarkan setiap pandangan tersebut, kalam Allah menurut Mu’tazilah bukan sifat-Nya dan bukan pula lain dari dzat-Nya.
Al-Qur’an sebagai sabda Tuhan bukan sifat, melainkan perbuatan yang diciptakan Tuhan dan tidak bersifat kekal. Pendapat Mu’tazilah ini diterima Al-Maturidi, tetapi Al-Maturidi lebih suka menggunakan istilah hadis sebagai ganti Makhluk untuk sebutan Al-Quran. Dalam konteks ini, pendapat Al-Asy’ari juga ada kesamaan dengan pendapat Al-Maturidi karena yang dimaksud Al-Asy’ari dengan sabda adalah makna abstrak, tidak lain dari kalam nafsi menurut Al-Maturidi dan itu sifat kekal Tuhan.
g. Perbuatan Manusia
Menurut Al-Maturidi tidak ada sesuatu yang terdapat dalam wujud ini, kecuali semua adalah dalam kehendak Tuhan. Kehendak Tuhan tidak ada yang memaksa atau membatasinya, kecuali ada hikmah dan keadiln yang ditentukan oleh kehendak-Nya. Oleh karena itu, Tuhan idak wajib bagi-Nya berbuat ash-ashlah (yang baik dan terbaik bagi manusia). Setiap perbuatan Tuhan yang bersifat mencipta atau kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepada manusia tidak terlepas dari hikmah dan keadilan yang dikehendakinya. Kewajiban-kewajiban tersebut antara lain.
(1) Tuhan tidak akan membebankan kewajiban-kewajiban kepada manusia diluar kemampuannya karena hal tersebut tidak sesuai dengan keadilan, dan manusia juga diberi Tuhan kemerdekaan dalam kemampuan dan perbuatannya.
(2) Hukuman atau ancaman dan janji pasti terjadi karena yang demikian merupakan tuntutan keadilan yang sudah ditetapkan-Nya.
h. Pengutusan Rasul
Akal tidak selamanya mampu mengetahui kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepada manusia, seperti kewajiban mengetahui hal baik dan buruk serta kewajiban lainnya dari syariat yang dibebankan kepada manusia. Al-Maturidi berpendapat bahwa akal memerlukan bimbingan ajaran wahyu untuk dapat mengetahui kewajiban-kewajiban tersebut. Jadi, pengutusan Rasul adalah hal niscaya yang berfungsi sebagai sumber informasi. Tanpa mengikuti ajaran wahyu yang disampaikan Rasul, berarti manusia membebankan akalnya pada sesuatu yang berada diluar kemampuannya.
Pandangan Al-Maturidi ini tidak jauh berbeda dengan pandangan Mu’tazilah yang berpendapat bahwa pengutusan Rasul ke tengah-tengah umatnya adalah Kewajiban Tuhan, agar manuisa dapat berbuat baik dan terbaik dalam kehidupannya dengan ajaran para Rasul.
i. Pelaku dosa besar
Al-Maturidi berpendapat bahwa orang yang berdosa tidak kafir dan tidak kekal didalama neraka, walaupun ia meninggal sebelum bertobat. Hal ini karena Tuhan telah menjanjikan akan balasan kepada manusia sesuai dengan perbuatannya. Kekal di dalam neraka adalah balasan untuk orang yang berbuat dosa syirik. Berbuat dosa besar selain syirik tidak akan kekal di dalam neraka. Oleh karena itu, perbuatan dosa besar (selain syirik) tidak menjadikan seseorang kafir atau murtad. Menurut Al-Maturidi, iman itu cukup dengan tashdiq dan iqrar. Adapun amal adalah penyempurnaan iman. Oleh karena itu, amal tidak akan menambah atau mengurangi esesnsi iman, kecuali menambah atau mengurangi pada sifatnya.

BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Al-Maturidiyah merupakan salah satu sekte Ahl-al-sunnah Al-jamaah, yang tampil dengan Asy’ariyah. Maturidiyah dan Asy’ariyah dilahirkan oleh kondisi sosial dan pemikiran yang sama. Kedua aliran ini datang untuk memenuhi kebutuhan mendesak yang menyerukan untuk menyelamatkan diri dari ekstriminasi kaum rasionalis, dimana yang berada paling depan.
Para tokoh-tokoh dalam aliran Ma’turidiyah yaitu:
a.    Al-Maturidiyah Samarkhan
b.    Al-Maturidiyah Bukhara
Adapun pengaruh-pengaruh pemikiran Ma’turidiyah:
a.    Akal dan wahyu
b.    Perbuatan Manusia
c.    Kekuasaan dan Kehendak mutlak Tuhan
d.    Sifat Tuhan
e.    Tuhan
f.    Kalam Tuhan
g.    Perbuatan Manusia
h.    Pengutusan Rasul
i.    Pelaku dosa besar

B.    Kritik dan Saran

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Hanafi, Pengantar Theologi Islam, Jakarta : Radar Jaya Offset.2001.hal.121
Sahilun Nasir, Pemikiran Kalam (Theology Islam), Jakarta : Raja Grafindo Persada.2010
Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam, Ensiklopedia Islam, jilid 3, cet 3; (Jakarta:PT.Ictiar Baru Van Hoefe, 1994), hlm 206
Imam Ali Abd Fattah al-Mafzully, op.cit., hlm. 11.
Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam loc.cit..,
Muhammad Abu Zahrah, op.cit., hlm207
Ghufron A. Mas’adi, Ensiklopedi Islam, Cet. II; (Jakrta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999), hlm. 265.
Muhammad Abu Zahrah, op.cit., hlm. 209
Ibid.
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran, Sejarah Analisa dan Perbandingan, (Cet. 5; Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1986), hlm. 48
Abdul Azis Dahlan, et.al, Ensiklopedi Hukum Islam I Cet I; (Jakarta : PT.Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1996), hlm. 209.
Ibid., hlm. 211. Lihat juga Syahrir Harahap, op. cit., hlm.73
Abdul Azis Dahlan, Ibid
Syahrir Harahap, Ensiklopedi Akidah Islam. loc.cit
Azis Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam. loc. cit
Azis Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam. loc. cit
Mochtar Effendi, Ensiklopedi Agama dan Filsafat I [Entri A-B], Cet. I; (t.tp., Universitas Sriwijaya bekerja sama PT. Widyadara, 2000), hlm. 418.
https://staimaarif-jambi.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/ISI-BUKU-ILMU-KALAM.pdf

Makalah Perdagangan Islam

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tidak diragukan lagi bahwa teknologi yang semakin canggih pada seluruh aspek kehidupan, memungkinkan manusia untuk melakukan kegiatan yang dahulu tidak mungkin. Seperti sekarang manusia dapat terbang, masuk ke dasar laut yang terdalam sekalipun, atau dapat menghancurkan suatu kota dengan hanya hitungan menit. Melalui teknologi tersebut manusia melakukan aktivitasnya dengan lebih mudah dan lebih cepat.
Salah satu teknologi yang sedang naik daun adalah teknologi informasi. Teknologi ini tidak hanya untuk lalu lintas informasi tapi lebih dari itu dipakai untuk berbisnis. Revolusi Bisnis informasi memang tengah berjalan. Seperti juga ketika dahulu mobil 'merevolusi' kereta kuda, dan juga kamera digital yang mulai menggantikan kamera manual dan kini INTERNET telah mengubah kebiasaan masyarakat dalam berbisnis.

B. Rumusan Masalah
  1. Apakah itu bisnis digital ?
  2. Apa kelebihan dan kekurangan bisnis digital ?
  3. Bagaimana tanggapan hukum islam dalam bisnis digital ?
  4. Bagaimana prinsip muamalah dalam islam ?
  5. Apakah yang dimaksud dengan transaksi as-salam ?

C. Tujuan
  1. Mengetahui apa itu bisnis digital.
  2. Mengetahui apa kelebihan dan kekurangan bisnis digital.
  3. Mengetahui bagaimana tanggapan hukum islam dalam bisnis digital.
  4. Mengetahui bagaimana prinsip muamalah dalam islam.
  5. Mengetahui apa itu transaksi as-salam.


BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Bisnis Digital
Bisnis mengandung arti usaha dagang atau usaha komersial di dunia perdagangan.2 Online menurut pemahaman umum adalah sebuah aplikasi pekerjaan yang di lakukan oleh seseorang dengan menggunakan fasilitas Internet atau Terhubung dengan internet untuk melakukan pekerjaan / aktifitas tersebut, seperti yang telah di tenarkan oleh kelompok band saykoji dengan lagunya “online”. Dalam wikipedia, online adalah keadaan di saat seseorang terhubung ke dalam suatu jaringan ataupun sistem yang lebih besar. 3 dengan begitu “Bisnis Online” bisa di artikan sebagai sebuah Usaha dagang atau usaha komersial di dunia perdagangan dengan menggunakan media yanglebih besar cakupannya (internet) untuk menjalankan usaha tersebut.
Dalam bisnis online ada 2 macam bagian yaitu :
  1. Berjualan melalui internet.
  •  berjualan produk fisik barang, seperti ansvia.com, ebay.com, bukukita.com, amazon.com dll.
  •  berjualan produk digital, seperti : produk formula bisnis, Pulsa elektronik, penjualan e-book dll.
2.    Menyediakan jasa di internet.
•    menyediakan jasa untuk orang lain berjualan ataupun kita berjualan produk orang lain.
Dalam pembagian di atas hanya menurut garis besar, dan jika di tinjau pada kenyataannya bisnis Online sangatlah banyak bentuknya dan selalu berkembang.
B. Kelebihan Dan Kekurangan Bisnis Online
Dalam setiap sistem mengenai kelebihan dan kekurangan mesti di punyai, kaitanyya dengan bisnis Online ke-unggulan dan ke-kurangannya antara lain:
Keunggulan :
1.    Biaya lebih efisien
Biaya internet jauh lebih murah dibandingkan dengan sewa toko
2.    Promosi lebih luas
Semua produk yang dipasarkan di internet bisa diakses oleh semua orang, tanpa batasan negara
3. Waktu lebih fleksibel
Sistem bisa diatur agar tetap berjalan selama 24 jam, kendati ditinggalkan. Bisnis online bisa dipantau dimanapun Anda berada. Terlebih, kini banyak mal, kafe, dan restoran yang menyediakan layanan hot-spot
Kekurangan :
  1. Barang tertentu tetap perlu bisnis di dunia nyata, misalnya bisnis makanan
  2. Masih ada kendala dengan pembayaran, sehingga perlu kehati-hatian
  3. Mudah disalahgunakan, karena belum ada pengawasan yang ketat, tidak ada izin, dan lain sebagainya
  4.  Kurang manusiawi, sehingga konsumen lebih sulit dilayani secara personal.
  5. Persaingan lebih ketat karena konsumen bisa langsung membandingkan produk kompetitor dengan mudah.
C. Bisnis Online Dalam Hukum Islam
Secara garis besar dalam dunia bisnis semua bisa dikatakan sebuah perdagangan, baik barang ataupun jasa. Menurut jumhur ulama' tentang jual beli mempunyai 4 rukun yang di antaranya yaitu :
  1. Ada penjual
  2. Ada pembeli
  3. Ijab Kabul.
  4. Barang yang diakadkan.
Syarat-syarat sah jual beli itu adalah :
  1. Syarat-syarat pelaku akad : bagi pelaku akad disyaratkan, berakal dan memiliki kemampuan memilih. Jadi orang gila, orang mabuk, dan anak kecil (yang belum bisa membedakan) tidak bisa dinyatakan sah.
  2. Syarat-syarat barang yang diakadkan :
a. Suci (halal dan baik).
b. Bermafaat.
c. Milik orang yang melakukan akad.
d. Mampu diserahkan oleh pelaku akad.
e. Mengetahui status barang (kualitas, kuantitas, jenis dan lain-lain)
f. Barang tersebut dapat diterima oleh pihak yang melakukan akad. (Fiqih Sunnah juz III hal 123)
Berbisnis merupakan aktivitas yang sangat dianjurkan dalam ajaran Islam. Bahkan, Rasulullah SAW sendiri pun telah menyatakan bahwa 9 dari 10 pintu rezeki adalah melalui pintu berdagang (al-hadits). Artinya, melalui jalan perdagangan inilah, pintu-pintu rezeki akan dapat dibuka sehingga karunia Allah terpancar daripadanya. Jual beli merupakan sesuatu yang diperbolehkan (QS 2 : 275), dengan catatan selama dilakukan dengan benar sesuai dengan tuntunan ajaran Islam.
Dalil di atas dimaksudkan untuk transaksi offline. Sekarang bagaimana dengan transaksi online di akhirzaman ini? Kalau kita bicara tentang bisnis online, banyak sekali macam dan jenisnya. Namun demikian secara garis besar bisa di artikan sebagai jual beli barang dan jasa melalui media elektronik, khususnya melalui internet atau secara online.
Salah satu contoh adalah penjualan produk secara online melalui internet seperti yang dilakukan Amazon.com, Clickbank.com, Kutubuku.com, Kompas Cyber Media, dll. Dalam bisnis ini, dukungan dan pelayanan terhadap konsumen menggunakan website, e-mail sebagai alat bantu, mengirimkan kontrak melalui mail dan sebagainya.
Mungkin ada definisi lain untuk bisnis online, ada istilah e-commerce. Tetapi yang pasti, setiap kali orang berbicara tentang e-commerce, mereka memahaminya sebagai bisnis yang berhubungan dengan internet.
Dari definisi diatas, bisa diketahui karakteristik bisnis online, yaitu:
1) Terjadinya transaksi antara dua belah pihak;
2) Adanya pertukaran barang, jasa, atau informasi;
3) Internet merupakan media utama dalam proses atau mekanisme akad tersebut.
Dari karakteristik di atas, bisa di lihat bahwa yang membedakan bisnis online dengan bisnis offline yaitu proses transaksi (akad) dan media utama dalam proses tersebut. Akad merupakan unsur penting dalam suatu bisnis.
Secara umum, bisnis dalam Islam menjelaskan adanya transaksi yang bersifat fisik, dengan menghadirkan benda tersebut ketika transaksi, atau tanpa menghadirkan benda yang dipesan, tetapi dengan ketentuan harus dinyatakan sifat benda secara konkret, baik diserahkan langsung atau diserahkan kemudian sampai batas waktu tertentu, seperti dalam transaksi as-salam dan transaksi al-istishna. Transaksi as-salam merupakan bentuk transaksi dengan sistem pembayaran secara tunai/disegerakan tetapi penyerahan barang ditangguhkan. Sedang transaksi al-istishna merupakan bentuk transaksi dengan sistem pembayaran secara disegerakan atau secara ditangguhkan sesuai kesepakatan dan penyerahan barang yang ditangguhkan.
Ada dua jenis komoditi yang dijadikan objek transaksi online, yaitu barang/jasa non digital dan digital. Transaksi online untuk komoditi non digital, pada dasarnya tidak memiliki perbedaan dengan transaksi as-salam dan barangnya harus sesuai dengan apa yang telah disifati ketika bertransaksi. Sedangkan komoditi digital seperti ebook, software, script, data, dll yang masih dalam bentuk file (bukan CD) diserahkan secara langsung kepada konsumen, baik melalui email ataupun download. Hal ini tidak sama dengan transaksi as-salam tapi seperti transaksi jual beli biasa.

D. Pinsip Muammalah dalam Islam

Dalam Utomo (2003) menjelaskan bahwa prinsip berdagang islam bahwa manusia berkarakter dasar sebagai makhluk sosial dan berperadaban yang membutuhkan pergaulan sosial yang tentunya membawa konsekuensi adanya transaksi muamalah serta pertukaran barang dan jasa. Hal ini memerlukan prinsip-prinsip yuridissamawi yang mengaturs emuanya agar sesuai dengan sunnatullah, keharmonisan dan ke adilan sosial. Prinsip-prinsip syariah dalam pertukaran dan kontrak muamalah yang dapat digunakan untuk melakukan tinjauan hukum atas setiap transaksi sepanjang zaman, termasuk era modern untuk kemaslahatan semua pihak.
Ada beberapa prinsip dalam Islam yang berkaitan dengan kontrak muamalah yaitu (Utomo, 2003) :
a.    Asas kerelaan dari semua pihak yang terkait (an-taradin).Oleh karena itu setiap transaksi yang dilakukan karena unsur paksaan dan tekanan tidak sah. Kecuali dalam hal publik atau negara membutuhkan adanya transaksi jual beli barang atau jasa dengan harga standard terutama karena adanya faktor pelanggaran etika bisnis seperti penimbunan sembako.
b.    Larangan praktek penipuan dan pemalsuan, temasuk dalam hal ini memakan harta orang lain secara batil. Termasuk dalam hal ini sumpah, janji iklan, penawaran dan promosi dengan barang atau jasa ataupun harga palsu.
c.    Tradisi, prosedur, sistem, konvensi ,norma, kelaziman dan kebiasaan bisnis yang belaku tidak betentangan dengan prinsip syariah seperti praktek riba dan spekulasi yang merupakan asas pengikat dan komitmen dalam bisnis. Hal ini berdasarkan kaidah uuhul fiqh (alma’ruuf bainat tujjari kalmasyruti bainahum) yang artinya tradisi yang berlaku di kalangan pebisnis diakui sebagai komitmen lazim yang mengikat
d.    Transaksi didasari atas dasar niat dan iktikad baik serta menghindari kelicikan dan akal-akalan (moral hazard) dengan mencari celah hukum dan ketentuan seharusnya. Ini pernah dilakukan oleh kaum Yahudi, ketika Allah melarang lemak bagi mereka. Kemudian mereka menjadikan lemak tersebut minyak dan dijual serta memakan hasil penjualannya, maka Allah melaknat mereka atas sikap culas mereka tersebut.
e.    Deal atau kesepakatan dilangsungkan secara serius, konsekuen, komit dan konsisten.
f.    Transaksi didasarkan atas dasar prinsip keadilan dan toleransi.
Tidak boleh melakukan transaksi dengan cara, media dan obyek tranasksi yang diharamkan baik barang maupun jasa seperti riba, menimbun, ketidakpastian obyek transaksi (gharar), makan dan minuman yang haram dan segala hal yang menjurus pelanggaran moral. Selain itu, selama transaksi tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah, maka ketentuan Islam tersebut belaku fleksibel, dinamis dan inovatif dalam hal muamalah.
E. Transaksi As-Salam
Secara bahasa as-salam  atau as-salaf  berarti pesanan. Secara terminologis para ulama mendefinisikannya dengan: “Menjual suatu barang yang penyerahannya ditunda, atau menjual suatu (barang) yang ciri-cirinya jelas dengan pembayaran modal lebih awal, sedangkan barangnya diserahkan kemudian hari ” (Antonio, 2001).
Para ahli fiqh berbeda pendapat dalam mendefinisikan transaksi as-salam. Perbedaan ini didasari oleh perbedaan persyaratan yang dikemukakan oleh masing-masing mereka. An-Nawawi, mengemukakan bahwa as-salam merupakan transaksi atas sesuatu yang masih berada dalam tanggungan dengan kriteria-kriteria tertentu dan pembayaran dilakukan . Dalam definisi tadi tidak disebutkan bahwa sesuatu yang berada dalam tanggungan tersebut diserahkan kemudian, karena menurutnya transaksi as-salam juga boleh dengan penyerahan barang segera.
Menurut al-Qurthubi, as-salam merupakan transaksi jual beli atas sesuatu yang diketahui dan masih berada dalam tanggungan dengan kriteria-kriteria tertentu dan diserahkan kemudian dengan pembayaran harga segera/tunai atau dihukumkan sama dengan segera/tunai.
Menurut pendapat kebanyakan ahli fiqh  transaksi as-salam boleh namun bertentangan dengan qiyas. Hal ini merupakan suatu dispensasi untuk kemashlahatan dan kemudahan bagi manusia dari kaidah larangan memperjualbelikan sesuatu yang tidak ada yang diambil dari hadist.
Terlepas dari perbedaan pendapat di atas, transaksi as-salam boleh dilaksanakan sesuai dengan al-Qur’an dan as-Sunnah atas dasar, bahwa:
  1. Di dalam transaksi as-salam terdapat unsur yang sejalan dengan upaya merealisasikan kemaslahatan perekonomian (mashlahah al-iqtishadiyyah).
  2. Transaksi as-salam merupakan rukhsah (suatu dispensasi atau sesuatu yang meringankan) bagi manusia.
  3. Transaksi as-salam memberikan kemudahan kepada manusia
Bai` As-salam harus memenuhi beberapa syarat, diantaranya (Antonio, 2001):
  1. Pembayaran dilakukan di muka (kontan)sebagaimana dapat dipahami dari namanya, yaitu as salam yang berarti penyerahan, atau as salaf, yang artinya mendahulukan, maka para ulama' telah menyepakati bahwa pembayaran pada akad as salam harus dilakukan di muka atau kontan.
  2. Dilakukan pada barang-barang yang memiliki kritera yang jelas diketahui bahwa akad salam ialah akad penjualan barang dengan kriteria tertentu dan pembayaran di muka.
  3. Penyebutan kriteria barang pada saat akad dilangsungkanpenjual dan pembeli berkewajiban untuk menyepakati kriteria barang yang dipesan.
  4. Penentuan tempo penyerahan barang pesanan tidak aneh bila pada akad salam, kedua belah pihak diwajibkan untuk mengadakan kesepakatan tentang tempo pengadaan barang pesanan.
  5. Barang pesanan tersedia di pasar pada saat jatuh tempopada saat menjalankan akad salam.
  6. Barang pesanan adalah barang yang pengadaannya dijamin pengusaha yang dimaksud dengan barang yang terjamin adalah barang yang dipesan tidak ditentukan selain kriterianya.
Dalam pembahasan ini, akan diuraikan unsur-unsur yang harus ada dalam transaksi as-salam yaitu pertama tentang sighat transaksi, kedua tentang pelaku transaksi dan ketiga tentang obyek transaksi (Antonio, 2001) :
1.    Sighat transaksi.
Sighat merupakan pernyataan ijab kabul. Ijab merupakan pernyataan yang keluar terlebih dahulu dari salah seorang yang melakukan transaksi yang menunjukkan atas keinginan untuk melakukan transaksi. Sedangkan kabul pernyataan dari pihak kedua yang menunjukkan atas kerelaan nya menerima pernyataan pertama.
Pernyataan ijab kabul ini dapat dilakukan dengan cara lisan, tulisan atau isyarat yang memberi pengertian dengan jelas tentang adanya ijab kabul dan dapat juga berupa perbuatan yang telah menjadi kebiasaan dalam ijab kabul.. al-kasani berpendapat bahwa tulisan sama dengan ungkapan bagi orang yang tidak hadir dan seakan-akan dia sendiri yang hadir. Dengan demikian transaksi assalam dapat dilakukan dengan segala macam pernyataan yang dapat dipahami oleh kedua belah pihak yang melakukan transaksi baik dalam bentuk perkataan, perbuatan, isyarat maupun dalam bentuk tulisan.
2.    Pelaku transaksi
Pelaku transaksi atau pihak-pihak yang terlibat dalam transaksi salam sama dengan jual beli pada umumnya yaitu pembeli/pemesan atau juga disebut dengan rab assalam atau muslim dan penjual yang disebut dengan muslam ilaihi.
Ulama fiqih sepakat bahwa orang yang mengadakan transaksi jual beli harus orang yang memiliki kecakapan melakukan tindakan-tindakan hukum. Oleh karena itu tidak sah jual beli yang dilakukan oleh anak kecil yang belum berakal, orang gila, rusak akalnya , mabuk, orang sedang tidur, pingsan , pemboros dan dungu.

3.    Obyek transaksi
Obyek transaksi dalam salam sama dengan transaksi jual beli yaitu sesuatu yang diperjualbelikan yang dalam transaksi salam disebut ra’s mal dan muslam fih. Ra’s mal adalah harga yang harus dibayar oleh rab salam, sedangkan muslam fih adalah produk yang harus diserahkan oleh muslam fih kepada rab salam.
Para ahli fiqh menentukan bahwa obyek transaksi harus merupakan harta yang memiliki nilai dan manfaat menurut syara bagi pihak-pihk yang melakukan transaksi. Termasuk dalam kategori harta dalam pandangan jumhur ulama adalah jasa atau manfaat. Di samping nilai manfaat juga, benda tersebut memiliki kesucian zat. oleh karena itu dilarang melakukan transaksi terhadap barang najis seperti khamar, babi bangkai dan berhala-berhala. Namun mazhab Hanafy mengecualikan barang-barang yang dipandang kotor dan najis, selama masih dapat dimanfaatkan, maka boleh untuk diperjualbelikan. Seperti menjual kotoran binatang untuk pupuk tanaman.
Dengan demikian secara tegas dapat dikatakan bahwa pada dasarnya semua benda dianggap ada manfaatnya, dan oleh karena itu dapat diperjuabelikan. Kemudian terhadap benda yang dianggap tidak ada manfaatnya dan tidak boleh diperjualbelikan, jika nyata-nyata merusak atau ada ada keterangan nash yang menjelaskannya. Di samping ketentuan-ketentuan yang diatur dalam jual beli, dalam transaksi salam juga diatur tentang pembayaran atau harga (ra’s mal). Para ulama sepakat ra’s mal harus diketahui oleh para pihak dalam transaksi baik jenis maupun kadarnya.


BAB III
PENUTUP

A.  Kesimpulan
E-commerce merupakan suatu transaksi komersial yang dilakukan antara penjual dan pembeli atau dengan pihak lain dalam hubungan perjanjian yang sama untuk mengirimkan sejumlah barang, pelayanan, atau peralihan hak. Transaksi komersial ini terdapat didalam media elektronik yang secara fisik tidak memerlukan pertemuan para pihak yang bertransaksi, dan keberadaan media ini dalam public network atas sistem yang berlawanan dengan private network (sistem tertutup). Terdapat beberapa karakteristik dari e-commerce, yaitu terjadinya transaksi anatara dua belah pihak, adanya pertukaran barang, jasa, atau informasi dan internet merupakan media utama dalam proses atau mekanisme perdagangan tersebut.
Transaksi e-commerce dalam prakteknya hampir sama dengan transaksi salam menurut ajaran agama Islam. Jadi transaksi e-commerce menurut perspektif Islam adalah transaksi as salam. Artinya bahwa transaksi e-commerce ini secara hukum boleh dilaksanakan, apabila syarat dan rukunnya sudah terpenuhi seperti halnya transaksi as-salam. Akan tetapi transaksi as salam ini tidak sepenuhnya sama dengan transaksi e-commerce, ada beberapa persamaan dan juga perbedaan.
B.  Saran
Perkembangan teknologi banyak mempengaruhi perilaku dan gaya hidup masyarakat, termasuk juga dalam jual beli. Ada beberapa dampak negatif dan positif dari perkembangan teknologi terhadap transaksi jual beli. Maka dari itu penyusun menghimbau agar pembaca lebih berhati-hati dalam bertransaksi, khususnya bertransaksi secara online. Juga prinsip-prinsip muamalah dalam islam juga dipraktikkan saat bertransaksi online (e-commerce).


DAFTAR PUSTAKA


Utomo, Muh. Bisnis Online dalam Hukum Islam,
(http://www.tomdonyet.co.cc/2009/04/bisnis-online-dalam-hukum-
islam.html tanpa akses)
Inkubator bisnis, Salam Redaksi. (http://www.inkubator-bisnis.com/?
pilih=hal&id=3 ta)
ensiklopedi bebas, wikipedia, Dalam jaringan,
(http://id.wikipedia.org/wiki/Dalam_jaringan diakses 5 Agustus 2009)
Benny, Macam-Macam Bisnis Online (http://ruang-belajar-bisnis-online.blogspot.com/2009/03/macam-macam-bisnis-online.html diakses 27 maret 2009)
Wie, Keunggulan dan Keterbatasan Bisnis Online,
(http://shelterwie.multiply.com/reviews/item/62 diakses 12 Maret 2009)

PROPOSAL BISNIS “TANSUKE EDAS” PRAKTIKUM INKUBATOR BISNIS DAN KEUANGAN

  PROPOSAL BISNIS “TANSUKE EDAS” PRAKTIKUM INKUBATOR BISNIS DAN KEUANGAN     Diajukan untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Pr...