SUMBER HUKUM
1.
Pengertian Sumber Hukum
Sumber hukum ialah
“asal mulanya hukum” segala sesuatu yang dapat menimbulkan aturan-aturan hukum
sehingga mempunyai kekuatan mengikat.
Yang dimaksud “segala sesuatu” tersebut adalah faktor-faktor yang mempengaruhi
terhadap timbulnya hukum, dari mana hukum ditemukan atau dari mana berasalnya
isi norma hukum.
Sumber hukum pada hakekatnya dapat dibedakan ada 2 (dua) macam, yakni sumber
hukum material dan sumber hukum formal (Algra), [1] dan (Utrecht),[2] juga
menurut Fockema Andreae dalam “Overzicht van oud Nerdelansche rechtsbronnen”.
Menurut van Apeldoorn ada 4 (empat) macam sumber hukum yakni (1). Sumber hukum
historis, (2) Sumber hukum sosiologis, (3) Sumber hukum filosofis, dan (4)
Sumber hukum formal.[3]
Oleh para ahli hukum terkemuka, sumber hukum historis, sumber hukum sosiologis,
dan sumber hukum filosofis sebagaimana pendapat van Apeldoorn dikelompokkan
sebagai sumber hukum material, karena ketiga sumber hukum (filosofis,
sosilogis, dan historis) merupakan materi (isi) norma hukum dalam kehidupan
bermasyarakat.
2.
Sumber
Hukum Material
Sumber hukum material adalah
faktor-faktor yang menentukan kaidah hukum”; atau tempat dari mana berasalnya
isi hukum; atau faktor-faktor yang menentukan isi hukum yang berlaku.
Faktor-faktor yang menentukan isi hukum dapat dikelompokkan atas “faktor ideal
(filosofis), faktor sejarah (historis) dan faktor kemasyarakatan (sosiologis)”.
Faktor ideal (filosofis) adalah pedoman-pedoman hidup yang tetap mengenai
nilai-nilai etika dan keadilan yang harus dipatuhi oleh para pembentuk
undang-undang ataupun oleh lembaga-lembaga pelaksana hukum dalam melaksanakan
tugasnya. Faktor sejarah (historis) tempat hukum dari sejarah kehidupan, tumbuh
dan berkembangnya suatu bangsa di masa lalu, misalnya : hukum dalam
piagam-piagam, dokumen, manuskrip kuno, code Napoleon, B.W., W.vK, Wv.S.
Faktor kemasyarakatan (sosiologis), adalah hal-hal yang nyata hidup dalam
masyarakat yang tunduk pada aturan-aturan tata kehidupan masyarakat.
Faktor-faktor kemasyarakatan yang mempengaruhi pembentukan hukum adalah:
a. Kebiasaan atau adat istiadat yang telah mentradisi dan terus berkembang
dalam masyarakat yang ditaati sebagai aturan tingkah laku tetap;
b. Keyakinan tentang agama/kepercaaan dan kesusilaan;
c. Kesadaran hukum, perasaan hukum dan keyakinan hukum dalam masyarakat;
d. Tata hukum negara-negara lain, misalnya materi hukum perdata, hukum dagang,
hukum perdata Internasional diambil dari negara-negara yang lebih maju;
e. Sumber hukum formal, yang sudah ada sekarang ini dapat dijadikan bahan untuk
menentukan isi hukum yang akan datang (ius constituendum).
Menurut Utrecht, sumber hukum material adalah perasaan hukum (keyakinan hukum)
individu dan pendapat umum (public opinion) yang menjadi determinan material
pembentuk hukum yang menentukan isi kaidah hukum.[4]
3.
Sumber Hukum Formal
Sumber hukum
formal ialah tempat dari mana dapat ditemukan atau diperoleh aturan-aturan
hukum yang berlaku yang mempunyai kekuatan mengikat masyarakat dan pemerintah
sehingga ditaati.
Sumber hukum formal (van Apeldoorn) adalah dari mana timbulnya hukum yang
berlaku (yang mengikat hakim dan penduduk).
Sumber hukum formal adalah yang menjadi determinan formal membentuk hukum
(formele determinanten van de rechtsvorming), menentukan berlakunya hukum.[5]
Bentuk sumber-sumber hukum formal ialah:
a. Undang-undang
b. Kebiasaan/Adat
c. Yurisprudensi
d. Traktat (Treaty)
e. Doktrin Hukum (pendapat atau ajaran ahli hukum).
3.1 Undang-Undang
Undang-undang dapat dibedakan dalam dua pengertian, yaitu Undang-undang dalam
arti material (wet in materiele zin) dan Undang-undang dalam arti formal (wet
in formele zin).
Undang-undang dalam arti material (wet in materiele zin) adalah “setiap
keputusan atau peraturan yang dibuat oleh pemerintah atau penguasa yang
berwenang yang isinya mengikat secara umum”; atau setiap “keputusan atau
ketetapan pemerintah atau penguasa yang berwenang yang memuat
ketentuan-ketentuan umum”; atau “peraturan-peraturan umum yang dibuat oleh
penguasa yang berwenang”.
Menurut Paul Laband (Jerman) “undang-undang dalam arti material ialah “die
rechtsverbindliche Anordnung eines Rechtssatzes” (penetapan kaidah hukum yang
tegas), sehingga hukum itu menurut sifatnya dapat mengikat. Agar undang-undang
dalam arti material itu dapat mengikat, harus dipenuhinya unsur “Anordnung” dan
“Rechtssatz”. “Anordnung” yaitu “penetapan peraturan (kaidah) dengan tegas,
sehingga menjadi hukum yang mengikat; “Rechssatz” ialah “peraturan” atau
“kaidah hukum”.[6] Selanjutnya Laband menyatakan, bahwa “Anordnung” itu
penetapan “resmi” suatu kaidah sehingga menjadi “hukum” yang bersifat mengikat,
suatu “Rechtssatz” saja tanpa “Anordnung” masih merupakan peraturan (kaidah)
hukum kebiasaan saja. Anordnung dan Rechtssatz merupakan “Gesetzinhalt” yaitu
isi undang-undang. Oleh karena itu menurut Laband, agar undang-undang itu
berlaku pada wilayah negara pada umumnya harus ada perintah pengundang-undangan
dan disahkan oleh Kepala Negara.
Pendapat Laband tersebut dipengaruhi oleh aliran ajaran “legisme” yang sangat
sempit, bahwa undang-undang harus di buat atau disyahkan dan disetujui oleh
Kepala Negara.
Pendapat Laband tersebut kurang tepat, jika yang dinamakan undang-undang dalam
arti material itu harus disetujui dan disyahkan oleh Kepala Negara. Laband
dalam hal ini mengabaikan tentang “isi” atau “materi” suatu peraturan yang
dapat disebut sebagai “undang-undang dalam arti material”; sebab tidak semua
keputusan atau peraturan yang disetujui atau disyahkan bahkan dibuat oleh
Kepala Negara mengikat langsung semua penduduk dalam suatu wilayah. Apabila
suatu keputusan atau peraturan yang dibuat atau disyahkan Kepala Negara tidak
mengikat secara langsung semua penduduk dalam suatu wilayah/daerah atau negara,
maka tidak dapat disebut sebagai “undang-udang dalam arti material”.
Pengertian undang-undang dalam arti material menurut Buys (begrip wet in
materiele zin volgen Buys) adalah “setiap keputusan pemerintah
(penguasa/overhead) yang menurut isinya mengikat langsung setiap penduduk
sesuatu daerah.[7]
Berdasarkan “Teori Buys” tersebut, maka setiap keputusan pemerintah yang
menurut bentuknya bukan undang-undang, bukan suatu keputusan yang ditetapkan
oleh Presiden bersama-sama dengan DPR (Legislatif/parlemen) tetapi isinya
mengikat masing-masing penduduk suatu daerah, wilayah dapat dinamakan
“undang-undang” yaitu undang-undang alam arti material. Keputusan Pemerintah
semacam itu berupa misalnya, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden,
Penetapan Presiden, Peraturan Daerah. Walaupun peraturan tersebut menurut
bentuknya bukan undang-undang, tetapi menurut “isinya” masih juga
“undang-undang” yakni undang-undang dalam ati material. Undang-undang dalam
arti material itu juga disebut “peraturan” dalam bahasa Belanda “regeling”.
Bilamana sesuatu keputusan pemerintah atau peraturan yang isinya mengikat
langsung semua penduduk, maka keputusan ini menjadi suatu peraturan, yaitu
undang-undang dalam arti material.[8]
Jadi undang-undang dalam arti material adalah keputusan pemerintah atau
peraturan yang isinya mengikat langsung semua penduduk atau mengikat secara
umum. Undang-undang dalam arti material disebut juga sebagai undang-undang
dalam arti luas.
Undang-undang dalam arti “formal” (wet in formele zin), ialah “setiap keputusan
pemerintah atau penguasa yang berwenang yang karena prosedur terjadinya atau
pembentukannya dan bentuknya dinamakan “undang-undang”.
Undang-undang dalam arti formal, ialah keputusan pemerintah yang memperoleh
nama undang-undang karena bentuk, dalam mana ia timbul.[9]
Undang-undang dalam arti formal ialah setiap keputusan yang merupakan
“undang-undang” karena cara terjadinya (wijze van totstandkoming).[10]
Menurut N.E. Algra, et.al. (1991 : 28), undang-undang dalam arti formal adalah
“undang-undang resmi” atau undang-undang yang dibuat oleh pembuat undang-undang
formal. Pembuat undang-undang formal atau resmi di Belanda adalah Raja dan DPR
(de Koning en de Staten General). [11]
Dengan demikian menurut Algra, Undang-undang dalam arti formal adalah tiap
keputusan yang terjadi dengan jalan kerjama antara Perintah (Firman Raja) dan
DPR (de Koning en de Staten Generaal).
Menurut Konstitusi negara Indonesia (UUD 1945), yang membuat undang-undang
adalah DPR bersama Presiden sebagaimana ditentukan dalam pasal 20 UUD 1945. Di
dalam pasal 20 ayat (2) UUD 1945 ditentukan bahwa, “setiap rancangan
undang-undang dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama.
Presiden mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama untuk
menjadi undang-undang” (Pasal 20 ayat (4) UUD 1945).
Dari sisi pembuatannya atau terjadinya (prosedurnya) oleh pembentuk resmi
undang-undang (Presiden bersama DPR), juga dari bentuknya atau bentuk luar
(fisik) dinamakan “undang-undang”, maka keputusan atau peraturan tersebut
dinamakan “undang-undang dalam arti formal”.
Dengan demikian undang-undang dalam arti formal menurut UUD 1945, adalah setiap
keputusan atau peraturan yang dibuat dan disetujui bersama oleh DPR dengan
Presiden. Apabila diabstraksikan, definisi “undang-undang dalam arti formal”
adalah setiap keputusan penguasa yang berwenang yang karena prosedur
pembuatannya atau pembentukannya dan bentuknya dinamakan “undang-undang”.
Undang-undang dalam arti formal disebut juga sebagai undang-undang dalam arti
sempit, karena isinya tidak mengikat masyarakat umum atau luas.
Untuk membedakan antara undang-undang dalam arti formal dengan undang-undang
dalam arti material adalah sebagai berikut : pertama, undang-undang dalam arti
formal namanya pasti “undang-undang” dan isinya tidak mengikat secara umum atau
secara luas atau tidak mengikat semua penduduk. Kedua, undang-undang dalam arti
material belum tentu bernama undang-undang, jika ada yang bernama
“undang-undang” atau Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, atau Peraturan
Presiden atau Peraturan Daerah “isi” atau materinya harus mengikat secara umum
atau luas, atau berlakunya undang-undang mengikat semua penduduk dalam suatu
wilayah.
Apabila ada undang-undang dalam arti fomal (bernama “undang-undang”) tetapi
isinya mengikat secara umum semua penduduk dalam satu wilayah atau daerah, maka
undang-undang ini disebut “undang-undang dalam arti material”, misal KUHP,
KUHAP, UUPA, B.W. WvK.
Sebagian besar undang-undang yang berlaku di Indonesia merupakan undang-undang
dalam arti material karena isinya mengatur atau mengikat secara umum semua
penduduk dalam suatu daerah atau wilayah.
Peraturan Daerah walaupun bentuknya dan namanya bukan “undang-undang” tetapi
karena isinya mengikat langsung penduduk secara umum, disebut sebagai “undang-undang
dalam arti material”. Sebaliknya Undang-undang Naturalisasi atau
Kewarganegaraan, undang-undang APBN bentuk fisiknya dan namanya
“undang-undang”, tetapi karena isinya tidak mengatur atau tidak mengikat secara
umum semua penduduk, maka Undang-undang Naturalisasi atau Kewarganegaraan dan
Undang-undang APBN disebut “undang-undang dalam arti formal” bukan
undang-undang dalam arti material.
Selain itu, ada undang-undang dalam arti material yang tidak berbentuk atau
tidak bernama “undang-undang” misalnya Peraturan Daerah tentang larangan
merokok di tempat-tempat umum, Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah, Keputusan Presiden tentang: Pancasila, Penggunaan Bendera
Negara, dan tentang Lagu Kebangasaan Indonesia Raya.
Syarat-syarat
berlakunya undang-undang
a. Undang-undang terdiri beberapa
bagian, yaitu:
1) Judul;
2) Pembukaan memuat ( Frase Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa; Jabatan
Pembentuk undang-undang; Konsideran; Dasar Hukum; dan Diktum). Konsideran
diawali dengan kata-kata “Menimbang” (berisi pokok-pokok pikiran latar belakang
dan alasan pembuatan Peraturan Perundang-undangan); Kemudian Dasar Hukum
diawali dengan kata-kata “Mengingat” (berisi dasar hukum kewenangan pembuatan
Peraturan Perundang-undangan dsb); Selanjutnya “Diktum” terdiri atas (kata
Memutuskan, Menetapkan, dan nama Peraturan Perundang-undangan);
3) Batang Tubuh memuat (Ketentuan Umum, Materi Pokok yang diatur; Ketentuan
Pidana-jika perlu, Ketentuan Peralihan dan Ketentuan Penutup);
4) Penutup;
5) Penjelasan Pasal-pasal;
6) Lampiran (jika perlu).
b. Ketentuan peralihan, pada umumnya setiap undang-undang mengatur ketentuan
peralihan yang mempunyai fungsi untuk mengisi kekosongan hukum (rechtsvacuum)
dengan menghubungkan waktu yang lampau dengan waktu sekarang.
c. Undang-undang diberi nomor urut serta tahun di keluarkannya. Nomor urutnya
tiap tahun dimulai dari nomor satu.
d. Agar setiap orang mengetahuinya, Peraturan Perundang-undangan harus
diundangkan atau diumumkan dengan menempatkannya dalam Lembaran Negara (Pasal
45 UU. No.10 Tahun 2004). Pengundangan Peraturan Perundang-undangan dalam
Lembaran Negara dilakukan oleh Menteri yang tugas dan tanggungjawabnya di
bidang peraturan perundang-undangan (Menteri Hukum dan HAM), dan yang menanda
tangani Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang adalah
Presiden (Pasal 48 UU No. 10 Tahun 2004 jo. Pasal 20 ayat (4) UUD 1945).
e. Dengan diundangkannya Undang-undang dalam Lembaran Negara berarti mengikat
setiap orang untuk mengakui eksistensinya, sehingga berlakulah “asas fictie”
dalam hukum, artinya bahwa “setiap orang dianggap telah mengetahui adanya suatu
undang-undang” sehingga undang-undang tersebut tidak boleh digugat dengan bukti
yang melawannya (praesumptio iuris et de uire).
f. Peraturan Perundang-undangan mulai berlaku dan mempunyai kekuatan mengikat
pada tanggal diundangkan, kecuali ditentukan lain dalam Peraturan
Perundang-undangan yang bersangkutan (Pasal 50 UU. No. 10 Tahun 2004).
Lembaran Negara adalah suatu lembaran (kertas) tempat mengundangkan (mengumumkan)
semua peraturan-perundang-undangan Negara dan peraturan-peraturan pemerintah
agar berlakunya mempunyai kekuatan mengikat.
Peraturan Perundang-undangan yang diundangkan di dalam Lembaran Negara R.I.
meliputi ( Undang-Undang/Perpu, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden
mengenai Pengesahan Perjanjian Internasional dan Penyataan keadaan bahaya,
serta Peraturan Perundang-undangan lain yang menurut Peraturan Perundangan yang
belaku harus diundangkan dalam Lembara Negara R.I. (Pasal 46 UU. No. 10 Tahun
2004).
Penjelasan undang-undang atau peraturan perundang-undangan yang diundangkan
dalam Lembaran Negara R.I. dimuat dalam Tambahan Lembaran Negara yang mempunyai
nomor ber-urutan. Lembaran Negara diterbitkan oleh Menteri yang tugas dan
tanggung jawabnya di bidang peraturan perundang-undangan yakni Menteri Hukum
dan HAM.
Mulai berlakunya dan berakhirnya
undang-undang.
Ilmu hukum membedakan adanya 3 (tiga) hal berlakunya suatu norma hukum.
Berlakunya norma hukum disebut “gelding” (bahasa Belanda) atau “geltung”
(bahasa Jerman). Berlakunya hukum adalah sebagai berikut :
Pertama, berlaku secara “yuridis”, apabila penentuannya didasarkan pada kaedah
yang lebih tinggi tingkatannya (Hans Kelsen).
Menurut Kelsen, suatu undang-undang atau peraturan berlakunya harus didasarkan
pada norma dasar (grundnorm) yang lebih tinggi tingkatannya dan mendasar.[12]
Oleh Hans Nawiasky disebut “staatsfundamentalnorm”.[13] Sedangkan oleh John
Alder dikatakan bahwa, suatu undang-undang atau peraturan mempunyai kekuatan
yuridis harus berdasarkan”basic principle” dan “general political and moral
value”.[14]
Kaidah hukum mempunyai kekuatan yuridis, jikalau kaidah tersebut dibentuk
menurut cara yang telah ditetapkan (W. Zevenbergen). [15] Kaidah hukum mengikat
secara yuridis, apabila menunjukkan hubungan keharusan antara suatu kondisi
dengan akibatnya (J.H.A. Logemann). [16]
Kedua, berlaku secara “sosiologis” artinya bahwa efektifitas kaidah hukum
didasarkan pada “kekuasaan/penguasa” (machtstheorie), atau berlakunya kaidah
hukum didasarkan adanya “pengakuan” atau diterima dan diakui dengan sendirinya
oleh masyarakat (anerkennungstheorie); dan ketiga adalah berlaku secara
”filosofis” artinya sesuai dengan” rechts idea” atau cita-cita hukum sebagai
nilai positif yang tertinggi.[17]
Bila kaidah hukum hanya berlaku secara yuridis, kemungkinan besar kaidah hukum
akan berhenti bahkan mati (dode regel); apabila kaidah hukum hanya berlaku
secara sosiologis, kemungkinan kaidah hukum menjadi aturan yang memaksa
(dwangmaatregel), atau diabaikan masyarakat sehingga menimbulkan “anarchie”
atau “chaos”. Apabila kaidah hukum hanya berlaku secara filosofis, kemungkinan
hukum merupakan nilai-nilai moral yang dicita-citakan (ius constituendum)
selamanya.
Menurut Hans Kelsen, selain berlakunya norma atau kaidah hukum harus
berdasarkan pada “grundnorm”, juga harus memperhatikan “lingkungan kuasa
kaidah-kaidah”. Lingkungan kuasa berlakunya kaidah itu ada 4 (empat) hal, yakni
(1) Temporal sphere atau sphere of time (waktu “mulai dan berakhirnya” kaidah
berlaku); (2) Territorial sphere (daerah berlakunya kaidah); (3) Personal
sphere (terhadap siapa kaidah berlaku);dan (4) materiel sphere ( soal-soal apa
yang diatur dalam kaidah).[18]
Soerjono Soekanto dan Purnadi Purbacaraka berpendapat bahwa, lingkup berlakunya
kaidah hukum ada 4 (empat) bidang yakni (1) lingkup laku wilayah
(ruimtegebied); (2) lingkup laku pribadi (personengebied); (3) lingkup laku
masa (tijdsgebied); dan (4) lingkup laku ihwal (zaaksgebied).[19]
Dari beberapa pendapat dan teori hukum yang dikemukakan tersebut, maka di bawah
ini dipaparkan mengenai waktu mulai dan berakhirnya undang-undang atau
peraturan hukum menurut hukum positip Indonesia.
Waktu berlakunya suatu undang-undang dapat diketahui apabila ditentukan tanggal
mulai berlakunya dalam undang-undang itu sendiri, atau :
a. Pada saat diundangkan (Pasal 50 UU No. 10 Tahun 2004);
b. Pada tanggal tertentu;
c. Ditentukan berlaku surut (misalnya : Undang-undang No. 2 Tahun 1958 pasal
VIII, Undang-undang No. 62 tahun 1958 pasal 8, Perpu No. 2 Tahun 2002).
Perpu No. 2 Tahun 2002 memberlakukan surut Perpu No. 1 Tahun 2002 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme tehadap peristiwa peledakan bom di Bali
pada tanggal 12 Oktober 2002. Perpu No. 1 Tahun 2002 dan Perpu No. 2 Tahun 2002
diundangkan pada tanggal 18 Oktober 2002, dan pasal 4 Undang-undang No. 12
Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan.
Pemberlakuan surut terhadap undang-undang bertentangan dengan pasal 28 I UUD
1945 yang menentukan bahwa “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa,
dst…...…., dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut
adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”.
Selain itu juga bertentangan dengan asas hukum yang berlaku universal yakni
asas ”non retro active” (bahwa undang-undang atau peraturan tidak berlaku
surut) dan asas “legalitas” artinya suatu perbuatan tidak dapat dihukum atau
dipidana, apabila tidak diatur lebih dahulu di dalam undang-undang.Pada
dasarnya “undang-undang tidak dapat berlaku surut”, karena dapat menimbulkan
ketidak adilan dan merugikan hak-hak hukum terhadap pihak yang terkena
undang-undang atau peraturan itu. Tetapi apabila peraturan perundang-undangan
itu tidak melanggar hak hukum dan tidak merugikan masyarakat, masih
diperbolehkan adanya undang-undang berlaku surut.
d. Bahwa berlakunya undang-undang akan ditentukan di kemudian atau ditentukan
kemudian oleh peraturan pelaksanaannya (Pasal 50 UU No. 10 Tahun
2004).Berakhirnya Undang-Undang dikarenakan :
a. ditentukan sendiri dalam undang-undang itu,
b. dicabut secara tegas oleh pembuat undang-undang atau oleh hakim,
c. undang-undang yang lama bertentangan dengan undang-undang yang baru; berlaku
asas “lex posteriori derogat lex priori”,
d. timbulnya hukum kebiasaan yang bertentangan dengan undang-undang, sehingga
undang-undang itu tidak ditaati oleh masyarakat;
e. bertentangan dengan yurisprudensi tetap; atau
f. suatu keadaan yang diatur oleh undang-undang sudah tidak ada lagi (misalnya
yang diatur dalam undang-undang darurat tentang keadaan bahaya).Asas-asas
Perundang-undangan
Ada beberapa asas-asas perundang-undangan antara lain :
a. Undang-undang tidak berlaku surut;
b. Undang-undang tidak dapat diganggu gugat (onschendbaar);
c. Undang-undang yang lebih tinggi mengesampingkan undang-undang yang lebih
rendah;
d. Undang-undang yang bersifat khusus mengesampingkan undang-undang yang
bersifat umum;
e. Undang-undang yang berlaku belakangan (baru) membatalkan undang-undang yang
terdahulu (lama).
Ad. a. Undang-undang tidak berlaku surut.
Asas ini semula tercantum dalam Pasal 2 Algemene Bepalingen van Wetgeving
(A.B.) yang menyatakan “De wet verbindt alleen voor het toekomen de en heeft
geen terugwerkende kracht” artinya “undang-undang mengikat untuk masa yang akan
datang dan tidak mempunyai kekuatan berlaku surut”.Asas ini dikenal dengan asas
“non retro active” (undang-undang tidak boleh berlaku surut), atau asas
“legalitas” misal dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP.
Pasal 1 ayat (1) KUHP menentukan “Tiada suatu perbuatan dapat dihukum,
melainkan atas kekuatan ketentuan pidana yang diatur dalam undang-undang lebih
dahulu” (Geen feit is strafbaar dan uit kracht van eene daaraan voorafgegane
wettelijke strafbepaling). Artinya, tiada perbuatan dapat dipidana, kecuali
atas dasar kekuatan suatu aturan perundang-undangan yang mendahului.
Pasal 1 ayat 1 KUHP, dikenal dengan asas “legalitas” dengan adagium “nullum
delictum noella poena sine praevia lege poenale”
Adapun asas “non retro active” diatur di dalam Pasal 28 I UUD 1945 (pasca
amandemen) dan Pasal 4 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia.
Di dalam pasal 28 I UUD 1945 ditentukan bahwa “Hak untuk hidup, hak untuk tidak
disiksa dst………., dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku
surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan
apapun”.
Dalam pasal 4 UU HAM dinyatakan bahwa “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa
dst…………., dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut
adalah Hak Asasi Manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan
oleh siapapun”.
Asas “legalitas” juga diatur dalam Pasal 6 ayat (1) UU. No. 4 Tahun 2004
tentang Kekuasaan Kehakiman (UUKK) dan pasal 18 ayat (2) UU.No. 39 Tahun 1999
tentang HAM (UUHAM).
Tidak seorangpun dapat dihadapkan di depan pengadilan selain daripada yang ditentukan
oleh undang-undang (Pasal 6 ayat (1) UUKK).