MAKALAH PERNIKAHAN USIA DINI DALAM PANDANGAN HUKUM DAN PANDANGAN MASYARAKAT

 

MAKALAH

PERNIKAHAN USIA DINI DALAM PANDANGAN HUKUM DAN PANDANGAN MASYARAKAT

Disusun untuk memenuhi salah Satu Tugas Mata Kuliah Sosiologi hukum

Dosen : 

 

 

Disusun oleh:

 

Nama              

NIM               

Prodi              

Semester          :


 

INSTITUT AGAMA ISLAM LATIFAH MUBAROKIYAH

SURYALAYA TASIKMALAYA

2023


KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kepada kehadirat Allah SWT karena atas limpahan rahmad dan hidayahnya kami mampu menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Makalah dengan judul “Pernikahan Usia Dini Dalam Pandangan Hukum Dan Pandangan Masyarakat”. Semoga makalah ini dapat membawa manfaat khususnya bagi kami dan orang lain yang telah membaca makalah kami.

Kami menyadari bahwa makalah ini kami susun masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat kami harapkan dengan tujuan agar makalah ini selanjutnya akan lebih baik. Semoga bermanfaat.

 

Tasikmalaya, 16 November 2023

 

Penyusun

 


DAFTAR ISI

 

KATA PENGANTAR................................................................................        i

DAFTAR ISI................................................................................................        ii

BAB I PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang...................................................................................        1

B.     Rumusan Masalah..............................................................................        1

C.     Tujuan Masalah..................................................................................        1

 

BAB II PEMBAHASAN

A.        Pengertian Pernikahan Usia Dini........................................................        2

B.         Perkawinan Usia Dini dalam Pandangan Hukum Negara .................        3

C.         Pandangan Islam terhadap Pernikahan Dini ......................................        6

D.        Pandangan masyarakat terhadap pernikahan usia dini ......................        10

 

BAB III PENUTUP

A.    Kesimpulan.........................................................................................        12

B.     Saran...................................................................................................        12

DAFTAR PUSTAKA


BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah

Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), “pernikahan” berasal dari kata “Nikah”, yang artinya ikatan (akad) pernikahan yang dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum dan ajaran agama. Dalam pernikahan mengandung keabsahan secara hukum nasional, adat istiadat, dan terutama menurut agama. makna nikah adalah akad atau ikatan, karena dalam suatu proses pernikahan terdapat ijab (pernyataan penyerahan dari pihak perempuan) dan kabul (pernyataan menerima dari pihak laki-laki). Selain itu, nikah bisa juga diartikan sebagai bersetubuh.

Selain itu pernikahan juga dimaknai sebagai suatu perjanjian suci antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk membentuk keluarga bahagia. Definisi itu memperjelas pengertian bahwa pernikahan adalah perjanjian. Sebagai perjanjian, ia mengandung pengertian adanya kemauan bebas antara dua pihak yang saling berjanji, berdasarkan prinsip suka sama suka. Jadi, ia jauh sekali dari segala yang dapat diartikan sebagai mengandung suatu paksaan. Oleh karena itu, baik pihak laki-laki maupun pihak perempuan yang mengikat janji dalam pernikahan mempunyai kebebasan penuh untuk menyatakan, apakah mereka bersedia atau tidak.

B.     Rumusan Masalah

1.      Apa Pengertian Pernikahan Usia Dini?

2.      Bagaimana Perkawinan Usia Dini dalam Pandangan Hukum Negara?

3.      Bagaimana Pandangan Islam terhadap Pernikahan Dini?

4.      Bagaimana Pandangan masyarakat terhadap pernikahan usia dini?

 

C.    Tujuan Penulisan

1.      Untuk mengetahui Pengertian Pernikahan Usia Dini

2.      Untuk mengetahui Perkawinan Usia Dini dalam Pandangan Hukum Negara

3.      Untuk mengetahui Pandangan Islam terhadap Pernikahan Dini

4.      Untuk mengetahui Pandangan masyarakat terhadap pernikahan usia dini

BAB II

PEMBAHSAN

 

A.    Pengertian Pernikahan Usia Dini

Menurut Undang-undang RI Nomor 1 Tahun 1974 tentang Pernikahan memperbolehkan anak perempuan berusia 16 tahun untuk menikah, seperti disebutkan dalam pasal 7 ayat 1, “Pernikahan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai 19 tahun, dan pihak perempuan sudah mencapai 16 tahun”. Convention on the Rights of the Child (CRC), mendefinisikan Pernikahan Usia Muda sebagai pernikahan yang terjadi di bawah usia 18 tahun.

Asmani dan Baroroh (2019: 15), mendefinisikan Pernikahan Usia Muda sebagai pernikahan yang dilakukan dibawah usia 18-20 tahun. Sejalan dengan pendapat Damayanti dan Mardiyanti (2020), pernikahan usia dini merupakan pernikahan yang dilakukan pada usia di bawah 18 tahun dengan keadaan yang tidak memiliki kesiapan fisik, mental dan materi sehingga akan menimbulkan banyak masalah terhadap rumah tangga. Pendefinisian pernikahan merupakan sebuah kontrak sosial yang diakui oleh negara, otoritas keagamaan, atau keduanya. Salah satu definisi, misalnya, menyebutkan bahwa pernikahan merupakan ikatan formal antara laki-laki dan perempuan yang secara hukum diakui.[1]

Pernikahan Usia Muda menurut BKKBN adalah pernikahan yang berlangsung pada umur di bawah usia reproduktif yaitu kurang dari 21 tahun pada perempuan dan kurang dari 25 tahun pada pria. Pernikahan di usia muda rentan terhadap masalah kesehatan reproduksi seperti meningkatkan angka kesakitan dan kematian pada saat persalinan dan nifas, melahirkan bayi prematur dan berat bayi lahir rendah serta mudah mengalami stres.

  

B.     Perkawinan Usia Dini dalam Pandangan Hukum Negara

Undang-undang Negara kita telah mengatur batas usia perkawinan. Dalam Undang-undang pekawinan bab ll Pasal 7 ayat 1 disebutkan bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun (sembilan belas tahun), sedangkan perempuan telah mencapai umur 16 tahun. Kebijakan pemerintah dalam menetapkan batas usia pernikahan tersebut tentunya melalui proses dan berbagai pertimbangan, hal ini dimaksudkan agar kedua belah pihak benar-benar siap dan matang dari segi pisik dan mental untuk menjalani rumah tangga, meskipun kenyataannya belum tercapai.

Hukum perkawinan di bawah umur Menurut Peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Jika merujuk Kepada UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. UU ini menjelaskan syarat-syarat yang wajib dipenuhi oleh calon kedua mempelai sebelum melangsungkan perkawinan, menurut Pasal ayat 1 UU No. 1 Tahun 1974: perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai, Pasal 6 ayat 2 UU No.1 Tahun 1974: Untuk melangsungkan perkawinan yang belum mencapai 21 tahun (dua puluh satu tahun) tahun harus mendapat izin kedua orang tua, Pasal 7 UU ayat 1 Tahun 1974: Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun.[2]

Pada prinsipnya Negara membuat batasan umur minimal untuk kawin bagi warga Negara Indonesia adalah dimaksudkan agar orang yang akan menikah diharapkan sudah memilki kematangan berfikir, kematangan jiwa dan kekuatan fisik yang cukup memadai, yang penting dapat tercapai aspek kebahagiaan. Jadi “perkawinan dibawah umur”, sebenarnya belum memenuhi syarat untuk usia perkawinan, pada hakekatnya usia 16 tahun masih termasuk katagori anak-anak belum berusia 18 tahun (delapan belas tahun) pada usia ini masih dikatagorikan anak-anak yang belum mampu membangun rumah tangga yang tangguh.

Negara menjelaskan, bahwa yang dimaksud dengan “anak” adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Setiap anak mempunyai hak dan kewajiban seperti yang tertuang dalam Pasal 4 UU No. 23 Tahun 2002 tentang hak-hak anak yang menyatakan, bahwa “setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipsi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”. Pasal 7 ayat 1 No.23 Tahun 2002 menyatakan, bahwa “setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat, bakat, demi pengembangan diri”. Kemudian Pasal 13 ayat 1 UU No. 23 Tahun 2002: setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali atau pihak lain maupun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan: diskriminasi, eksploitasi baik ekonomi maupun seksual, penelantaran, kekejaman, kekerasan dan penganiayaan, ketidak adilan, perlakuan salah lainnya. Bahkan orang tua juga mempunyai kewajiban dan bertanggung jawab terhadap anak seperti yang tertulis di Pasal 26 ayat 1 UU No. 23 Tahun 2002: orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk : a) Mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak. b) Menumbuh kembangkan anak sesuai dengan kemampuan bakat dan minatnya. c) Mencegah terjadinya perkawinan usia anak.[3]

Definisi usia anak menurut Konvensi Internasionl Tahun 1989 adalah “Anak adalah setiap orang yang berumur kurang dari 18 tahun”. Hukum Negara Indonesia juga telah menentukan bahwa masa anak dimulai sejak anak dalam kandungan sampai umur 18 tahun. Aturan ini ditulis dalam Pasal 1 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlidungan Anak. Pandangan yang salah terhadap anak berdampak pada perlakuan terhadap anak-anak yang pada gilirannya akan berdampak pula pada situasi masyarakat secara luas.5 Menurutnya dalam pandangan Yayasan Pemantauan Hak Anak (YPHA), “standar Internasional tentang batas usia kedewasaan telah diadopsi oleh hokum positif Indonesia. Konsekuensinya, semua peraturan yang menyangkut tentang anak dan perlindungan anak harus diharmonisasi dengan UU Perlindungan anak, termasuk dalam penenetapan batas usia kedewasaan perkawinan”.

Tinjauan Norma Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan bertentangan dengan Konstitusi karena menjadi landasan dan dasar hukum dibenarkannya adanya perkawinan anak dalam hal ini anak perempuan yang belum mencapai 18 tahun. Pada hal usia kedewasaan jika seseorang sudah usia 18 tahun sesuai dengan Pasal 131 ayat (2) UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Undang-undang Negara kita telah mengatur batas usia perkawinan, pemerintah mengganggap Pasal 7 ayat (1) UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang mengatur batas usia perkawinan sebagai kesepakatan Nasional yang merupakan kebijakan (Open Legal Policy) pembentuk Undang-undang. Sementara hukum Islam tidak menyebutkan batas usia perkawinan, namun secara umum disebutkan akil baligh yang meliputi lima prinsip yaitu perlindungan terhadap , jiwa kedua mempelai, beratanggung jawab, memenuhi kesehatan untuk melahirkan, untuk mendapat keturunan baik dan sehat.[4]

Jika melihat UU Negara Pasal 45 KUHP, dan berdasarkan Undang-Undang Peradilan Anak. “Apabila seorang yang di bawah umur dituntut karena melakukan tindak pidana ketika umurnya belum cukup 16 tahun, hakim boleh memerintahkan supaya anak tersebut dikembalikan kepada orang tunya, walinya atau pemeliharaannya dengan tidak dikenakan suatu hukuman. Hal ini berarti usia 16 tahun masih dianggap usia anak dan belum pantas dikenakan hukum pidana, dan juga berarti belum umur 16 tahun belum pantas untuk menikah”.

Kenyataannya yang terjadi di tengah masyarakat sebagaimana telah disebutkan di atas hampir diseluruh tanah air, batas usia perkawinan lebih rendah bagi seorang wanita untuk menikah yang mengakibatkan laju perkembangan penduduk semakin cepat, terutama di Jawa Barat. Atas dasar itu Undang-undang perkawinan bagi laki-laki usia 19 tahun dan perempuan 16 tahun. Pembatasan ini hakekatnya mencegah perkawinan dibawah umur (dini) dan menunjang keberhasilan program Keluarga Berencana secara Nasional. Menurut Mualimin Abdi Plt Dirjen peraturan peraturan perundang-undangan. Banyak masyarakat yang menginginkan pendewasaan usia perkawinan.

 C.    Pandangan Islam terhadap Pernikahan Dini

Dalam keputusan Ijtima Ulama Komisi Fatwa Indonesia Tahun 2009 dinyatakan bahwa dalam literature fikih Islam, tidak terdapat ketentuan secara eksplisit mengenai batasan usia perkawinan,baik usia minimal maupun maksimal. Meskipun demikian, hikmah tasyri‟ dalam pernikahan adalah mencipakan keluarga bahagia sakinah, serta dalam rangka memperoleh keturunan. Hal ini dapat tercapai pada usia dimana calon penganten telah sempurna pemikirannya, baik secara mental maupun secara ekonomis.

Oleh sebab itu, Shekh Ibrahim dalam bukunya Al Bajuri menuturkan bahwa agar jalur nasab tetap terjaga. Hubungan seks yang mendapatkan legalitas agama harus melalui pernikahan (Supriana Andika: 2010). Terlepas dari semua itu, masalah pernikahan dini adalah isu-isu kuno yang tenggelam oleh lembaran sejarah, tetapi kenyataan issu ini muncul kembali ditengah-tengah masyarakat. Dalam hal ini terlihat betapa dahsyatnya benturan ide yang muncul antara para sarjana Islam klasik dalam merespon kasus tersebut.[5]

Para ahli mengatakan bahwa hukum Islam secara umum mengandung lima prinsip; yaitu perlindungan terhadap agama, perlindungan terhadap jiwa, keturunan, harta dan akal. Dari kelima nilai universal islam ini, satu diantaranya adalah agama menjaga jalur ketutunan (Hifzu Al-Nash). Oleh karena itu menurut Syeh Ibrahim agar garis keturunan nasab tetap terpelihara degan baik, hubungan seks yang dibolehkan, harus mendapatkan legalitas agama. Bahkan juga harus memperhatikan bebagai aspek sebelum nikah, terutama kedewasaan sangat penting dalam mengharungi kehidupan rumah tangga yang bahagia.

Seorang pemuka Islam Ibnu Syubromah menjelaskan bahwa usia pernikahan dini atau pernikahan sebelum usia baligh sebenarnya terlarang, kenapa?. Menurut dia nilai esenisial dari pernikahan tersebut adalah sebenarnya untuk memenuhi kebutuhan biologis, meneruskan keturunan yang lebih baik. Sementara dua hal tersebut belum terdapat pada anak yang belum baligh, ia lebih menekankan pada tujuan pokok pernikahan (Supriatna Andika). Syubromah mencoba mengabaikan teks hadits masa lalu, dia memahami masalah ini dari sudut pandang historis, sosiologis dan kultural pada masa Nabi, namun pendapat syubromah pada masa lalu kurang popular ditengah sebagian ulama Islam. Lain hal sekarang Ulama besar ahli tafsir Al-Quraan Quraish Sihihab dan Ketua NU Said Agil Shiraj juga menggaris bawahi pendapat Ibnu Syubromah terdahulu, menurut kedua pakar ini umur 16 tahun masih terlalu muda untuk menikah, oleh karena itu perlu peningkatan umur perkawinan.

Mayoritas pakar hukum Islam melegalkan pernikahan dini, pemahaman ini merupakan hasil interpretasi dari surat Al Thalaq ayat 4, selain itu , sejarah telah mencatat bahwa Aisyah dinikahi Oleh nabi Muhammad Saw (saat itu berusia 6 tahun). Ibnu Syubromah mengatakan ketentuan itu hanya berlaku untuk nabi dan bukan untuk di contoh oleh umatnya. Meskipun para pakar sekarang ini mengakui bahwa perkawinan usia dini sebenarnya mempunyai dampak yang tidak baik dalam kehidupan selanjutnya. Jika sebagian ulama mengatakan bahwa Islam tidak mempunyai batasan dalam usia perkawinan, hal ini tergantung kepada kemashalatan pribadi orang tersebut. Imam Sayuthi pernah menulis dua hadits adalah “ada tiga perkara yang tidak boleh di tunda-tunda yaitu shalat ketika datang waktunya, jika ada jenazah di tengah rumah, dan bila anak perempuan ketika diajak menikah”. Sebenarnya Islam memandang kemashalatan atau kebaikan, jika seseorang akan terjerumus ke dalam lembah dosa atau perzinaan maka perkawinan dini harus dilakukan. Misalnya karena pergaualan bebas anak-anak remaja sekarang ini karena pengaruh film dan internet, terjadi kehamilan, mereka terpaksa nikah dini. Tetapi bila tidak ada masalah sebaik pernikahan mencapai usia dewasa karena sepasang suami sitri akan menanggung beban rumah tangga baik moril dan materil untuk itu diharuskan calon pengantin mencapai usia kematangan untuk menikah, minmal 18 tahun untuk perempuan dan 21 tahun untuk laki-laki.[6]

Menurut Quraish Shihab berdasarkan perspektif agama menurut dalam sunnah nabi dan juga adalam kitab Suci Alquraan, tidak ada yang menetapkan batas usia calon mempelai wanita, yang tercantum dalam Alquran dan sunah adalah tujuan pernikahan. Menurut shihab soal aqil balig menurutnya dilihat dari kesiapan fisiknya namun juga kesiapan mental seseorang. Jadi Sebenarnya usia 16 tahun dan 19 tahun masih terlalu muda. Dalam hal ini senada dengan Hamidan ia menegaskan, jika dalam hukum Islam tak ada masalah adanya rencana batasan usia menikah 18 tahun, idealnya memang sudah harus ditingkatkan dalam batas usia 16 tahun. MUI sendiri belum membahas hal ini “jelasnya terlalu muda juga sering berujung dengan perceraian, senada dengan shihab,pastur juga menyatakan yang sama dari sudut pandang khatolik usia 16 tahun masih terlalu muda bagi perempuan untuk mengemban tanggung jawab membina rumah tangga” kata Prabowo. Jadi mereka mendukung peninjauan kembali Pasal 7 ayat 1 dan 2.

Pakar Islam Ibnu Syubromah menyatakan bahwa agama melarang pernikahan dini (pernikahan sebelum baligh). Menurutnya adalah nilai yang tertinggi dari pernikahan adalah memenuhi kebutuhan biologis, melanggengkan keturunan. Sementara dua hal ini tidak terdapat pada anak yang belum baligh. Ia lebih menekankan kepada tujuan pokok pernikahan. Memahami masalah ini dari aspek historis, sosiologis, dan kultural yang ada. Sehingga dalam menyikapi pernikahan nabi Saw dengan Aisyah (yang saat itu berusia 6 tahun), Ibnu Syubromah mengganggap sebagai ketentuan khusus bagi Nabi Saw yang tidak biasa ditiru. Pendapat ini digaris bawahi oleh Quraisy Shihab sebagai seorang ahli tafsir dia menyatakan perkawianan nabi tiadak akan sama dengan kita manusia biasa, oleh karena itu tidak sepatutnya manusia biasa menyamakan diri dengan Nabi terutama dalam usia perkawinan. Sebaliknya, mayoritas pakar hukum Islam melegalkan pernikahan dini. Pemahaman ini hasil dari Interpretasi ayat alquraan surat Attalaq ayat 4. Selain itu sejarah juga mencatat bahwa Aisyah dinikahi Rasullullah dalam uisia sangat muda, tetap untuk ditiru oleh umatnya.[7]

Penentuan kedewasaan usia perkawinan tersebut semakin penting artinya tatkala diingat ketika para pakar hukum Islam, bahkan para Ilmuan lain menentukan batas kedewasaan secara variatif, pada saat yang sama, masyarakat terutama masyarakat desa menghendaki untuk mengawinkan anaknya dalam usia yang masih dibawah umur. Berapa ulama mendukung hal itu, dengan alasan bahwa jika seseoarng sudah mengalami proses baligh maka orang itu sudah dipandang cakap untuk melakuian perbuatan hukum, tanpa perlu memperhitungkan maslahat pendidikan, masalah kemampuan mencari nafkah, faktor pengaruh pada keluarga dan lain-lain

Kenyataannya bahwa perkawinan dibawah umur merupakan peristiwa yang dianggap wajar dalam suatu masyarakat Indonesia, tetapi sebaliknya perkawainan usia dini merupakan isu atau persoalan yang merupakan perhatian masyarakat dan berlanjut menjadi kasus hukum seperti yang terjadi pada kasus Syeh Puji dengan Ulfa yang berusia 12 tahun, apa yang terjadi timbul berbagai pernyataan ditengah-tengah masyarakat, ada yang menentang dan nada pula yang membolehkan. Zumrotin Dewan pengurus Kesehatan Perempuan juga mempersoalkan batas usia perkawinan bagi wanita, yakni 16 tahun melalui pengujian Pasal 7 ayat (1) UU perkawinan. Alasannya perkawinan anak dengan kehamilan dibawah usia 18 tahun mengandung resiko tinggi. Si ibu masih dalam pertumbuhan, sehingga akan terjadi perebutan gizi antara ibu dengan bayi. Pemohon berpandangan norma Pasal 7 ayat (1) UU      Perkawinan bertentangan dengan Konstitusi karena menjadi landasan dasar hukum dibenarkan adanya perkawinan anak, dalam hal ini anak perempuan yangmencapai 18 tahun. Pada usia dewasa jika seorang sudah mencapai 18 tahun sesuai Pasal 26 UU tentang Perlindungan Anak dan Pasal 131 ayat (2) UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

Keinginan menaikkan usia menikah anak, sekarang ini datang dari berbagai pihak, misalnya Ketua pengurus Nahdatul Ulama Said Agil Siraj dan juga Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), mereka berpendapat jika usia perkawinan dinaikkan usia perkawinan, maka anak akan lebih baik tumbuh berkembang sebagai manusia sempurna dan layak untuk membangun rumah tangga.

  

D.    Pandangan masyarakat terhadap pernikahan usia dini

Pandangan masyarakat terhadap pernikahan usia dini dapat sangat beragam dan dipengaruhi oleh sejumlah faktor, seperti budaya, agama, ekonomi, dan kondisi sosial. Berikut adalah beberapa pandangan umum yang dapat ditemukan dalam masyarakat terkait pernikahan usia dini:[8]

1.      Pandangan Positif:

·         Tradisi dan Kebiasaan: Beberapa masyarakat memandang pernikahan usia dini sebagai bagian dari tradisi dan kebiasaan mereka. Hal ini mungkin dilihat sebagai cara untuk mempertahankan nilai-nilai budaya dan norma-norma yang diwariskan dari generasi ke generasi.

·         Ekonomi dan Keamanan: Dalam beberapa kasus, pernikahan usia dini dapat dianggap sebagai strategi ekonomi untuk meningkatkan keamanan ekonomi keluarga, terutama di komunitas yang menghadapi ketidakstabilan ekonomi.

2.      Pandangan Negatif:

·         Pendidikan dan Pengembangan Pribadi: Banyak masyarakat yang mengutuk pernikahan usia dini karena dianggap menghambat pendidikan dan pengembangan pribadi anak-anak. Pernikahan usia dini dapat menghalangi anak-anak dari kesempatan untuk mengejar pendidikan lebih tinggi dan mengembangkan keterampilan yang diperlukan untuk masa depan mereka.

·         Kesejahteraan dan Kesehatan: Pandangan negatif juga seringkali terkait dengan risiko kesehatan dan kesejahteraan anak-anak yang menikah pada usia dini. Anak-anak yang belum cukup matang fisik dan mental dapat menghadapi risiko kesehatan reproduksi yang lebih tinggi.

3.      Aspek Agama:

·         Pendekatan Agama: Di beberapa masyarakat, pandangan terhadap pernikahan usia dini dapat dipengaruhi oleh ajaran agama. Beberapa agama mungkin mendukung pernikahan usia dini, sementara yang lain menentangnya. Pemahaman dan interpretasi terhadap ajaran agama ini dapat bervariasi.

4.      Hak Asasi Manusia:

·         Perlindungan Hak Anak: Pernikahan usia dini sering kali dianggap sebagai pelanggaran hak asasi manusia, terutama hak anak-anak untuk berkembang, mendapatkan pendidikan, dan tidak menjadi korban praktek-praktek yang dapat membahayakan mereka.

5.      Persepsi Terhadap Peran Gender:

·         Keterkaitan dengan Peran Tradisional: Pandangan masyarakat juga terkait erat dengan persepsi terhadap peran gender. Pernikahan usia dini kadang-kadang dapat terkait dengan harapan bahwa perempuan harus menikah dan mengurus rumah tangga pada usia muda, sementara pandangan ini bisa menjadi sangat kritis dalam konteks perubahan norma gender.

Penting untuk diingat bahwa pandangan ini bersifat umum dan mungkin tidak mencakup variasi yang ada dalam setiap masyarakat. Selain itu, pandangan terhadap pernikahan usia dini dapat berubah seiring waktu sejalan dengan perubahan budaya, sosial, dan ekonomi.

 BAB III

PENUTUP

 

A.    Kesimpulan

Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, peneliti memberikan kesimpulan sebagai berikut :

1.      bahwa ditemui penyebab terjadinya pernikahan usia muda  yaitu: tingkat ekonomi keluarga yang rendah, faktor pendidikan yang rendah, dan faktor lingkungan sekitar.

2.      Dampak yang dirasakan pelaku setelah menikah di usia muda yaitu: Ekonomi tidak meningkat, KDRT, dan Kesehatan mental yang menurun.

3.      Persepsi masyarakat terhadap pernikahan usia muda, bahwa mayoritas mereka tidak setuju jika pernikahan tersebut dianggap tidak cukup matang secara emosional, finansial, atau tanggung jawab karena dapat menyebabkan masalah-masalah di kemudian hari, seperti konflik keluarga, perceraian, atau masalah finansial.

 

B.     Saran

Dari hasil temuan dan analisis data di atas, maka penulis mengemukaka beberapa saran:

1.      Bagi para remaja sebaiknya mengetahui dengan baik bahwa pernikahan usia muda adalah pernikahan yang cenderung memberikan dampak buruk untuk kehidupan. Selain itu, orangtua harus memberikan pendidikan yang lebih untuk anak-anaknya khususnya tentang pernikahan usia muda. Anak juga berhak mendapatkan pendidikan formal selama 12 tahun, bahkan kalau bisa sampai bangku perguruan tinggi agar kualitas anak semakin baik.

2.      Peran tenaga kesehatan harus lebih ditingkatkan, khususnya untuk memberikan penyuluhan kesehatan untuk para remaja. Ini  sangat penting dilakukan karena remaja yang sehat jasmani dan rohani akan lebih bisa bersikap secara bertanggung jawab.

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Ahazrina, 2022. 5 Jenis Metode Penelitian Kualitatif – Pendekatan dan Karakteristiknya. https://pakarkomunikasi.com/jenis-metode-penelitian-kualitatif. Diakses november 2022

Amsyari. 1986. Prinsip-Prinsip Masalah Pencemaran Lingkungan. Ghalia:

Arifin Noor, Ilmu Sosial Dasar, Bandung: Pustaka Setia, 1997.

Asmani dan Baroroh. 2019. Fiqh Pernikahan. Yogyakarta. Aswaja Pressido.

Azhar, SK, & Daharnis, IS (2013). Persepsi Siswa tentang Layanan Informasi Kesehatan Reproduksi Remaja yang Diberikan Guru BK SMAN 1 Kubung. Jurnal Ilmiah Konseling, 2(1), 146-150.

BKKBN, Informasi Dasar Kependudukan dan Keluarga Berencana. Jakarta.

BKKBN. 2010. Pernikahan Usia Muda. Di akses 23 Juli 2021 pada https://www.bkkbn.go.id/detailpost/nikah-muda

Dahniar duana. 2018. Persepsi Masyarakat terhahadap pernikahan dini (Studi Kasus Alue Bili Rayeuk). FUAD-BKI : IAIN Lhokseumawe.

Dalyono. 2005. Psikologi Pendidikan. Rineka Cipta: Jakarta.

Damayanti, E. 2012. Kehamilan dan Persalinan Yang Sehat dan Menyenangkan diatas Usia 30 Tahun. Yogyakarta: Araska

Damayati N. dan Mardiyanti. 2020. Persepsi Masyarakat Terhadap Pernikahan Usia Muda Di Kecamatan Muara Padang Kabupaten Banyuasin. Jurnal Ilmu Administrasi Publik UMA. Universitas PGRI Palembang, 8 (1)

Djamilah, Kartikawati. 2016. Dampak Perkawinan anak di Indonesia. Jurnal Studi Pemuda Vol. 3, No. 1, 1-16.



[1] Ahazrina, 2022. 5 Jenis Metode Penelitian Kualitatif – Pendekatan dan Karakteristiknya. https://pakarkomunikasi.com/jenis-metode-penelitian-kualitatif. Diakses november 2022

[2] Amsyari. 1986. Prinsip-Prinsip Masalah Pencemaran Lingkungan. Ghalia:

[3] Arifin Noor, Ilmu Sosial Dasar, Bandung: Pustaka Setia, 1997.

[4] BKKBN. 2010. Pernikahan Usia Muda. Di akses 23 Juli 2021 pada https://www.bkkbn.go.id/detailpost/nikah-muda

[5] BKKBN. 2010. Pernikahan Usia Muda. Di akses 23 Juli 2021 pada https://www.bkkbn.go.id/detailpost/nikah-muda

[6] Dahniar duana. 2018. Persepsi Masyarakat terhahadap pernikahan dini (Studi Kasus Alue Bili Rayeuk). FUAD-BKI : IAIN Lhokseumawe

[7] Damayati N. dan Mardiyanti. 2020. Persepsi Masyarakat Terhadap Pernikahan Usia Muda Di Kecamatan Muara Padang Kabupaten Banyuasin. Jurnal Ilmu Administrasi Publik UMA. Universitas PGRI Palembang, 8 (1)

[8] Djamilah, Kartikawati. 2016. Dampak Perkawinan anak di Indonesia. Jurnal Studi Pemuda Vol. 3, No. 1, 1-16.