BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Agama islam masuk pertama kali ke indonesia melalaui pulau sumatra,
selanjutnya penyebaran agama islam mulai masuk ke pulau-pulau lainnya di
indonesia. Ketika kekuatan islam semakin melembaga, berdirilah kerajaan islam,
dari siniislam sampai ke pulau jawa, walisongo sebagai jantung penyebaran agama
islam di pulau jawa. Sunan gunung jati atau syarif hidatullah merupakan salah
satu walisongo yang selalu memberikan kontribusidalam penyebaran agama islam di
daerah pulau jawa, khususnya jawa barat. Syarif hidayatullah dikenal sebagai
pendiri kesultanan cirebon dan banten. Beliau memiliki peran yang sangat besar
dalam penyebaran agama islam.
Wali Songo bukan hanya ahli agama, tetapi juga intelektual
pembaharu yang memperkenalkan berbagai bentuk peradaban baru mulai dari
kesehatan, bercocok tanam, niaga, kebudayaan dan kesenian, kemasyarakatan
hingga pemerintahan. Para Wali memiliki ilmu yang sangat tinggi dalam berbagai
bidang. Keimanannya tinggi terhadap alloh.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana Riwayat Hidup Sunan Gunung Jati?
2.
Bagaimana Gagasan Pemikiran Sunan Gunung Jati?
3.
Apa saja karya-karya dari Sunan Gunung Jati?
C.
Tujuan Penulisan
1. Bagaimana
Riwayat Hidup Sunan Gunung Jati?
2.
Bagaimana Gagasan Pemikiran Sunan Gunung Jati?
3.
Apa saja karya-karya dari Sunan Gunung Jati?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Riwayat Sunan Gunung Jati
Sunan gunung jati atau Raden Syarif Hidayatullah
merupakan salah satu dari ulama besar walisongo yang menyebarkan Islam di pulau
jawa. Raden Syarif Hidayatullah dilahirkan pada 1448 Masehi.
Ayahnya adalah Syarif Abdullah bin Nur Alam bin Jamaluddin Akbar,
seorang mubaligh dan Musafir besar dari Gujarat, India yang sangat dikenal
sebagai ulama besar di Hadramaut. Yaman. Bahkan silsilahnya sampai kepada
Rasulullah melalui cucunya Imam Husain. Sedangkan ibunya adalah Nyai Rara
Santang (Syarifah Mudaim) yaitu putri dari Sri Baduga Maharaja dari Nyai Subang
Larang, dan merupakan adik dari Kian Santang atau Pangeran Walangsungsang yang
bergelar Cakrabuwana.
Pertemuan ayah dan ibunya dari sunan gunung jati berawal saat
Pangeran Cakra Buana dan Rara Santang diperintahkan oleh Syekh Datuk Kahfi
untuk naik haji. Maka mereka pun segera pergi melaksanakan niat itu. Di Mekah
mereka tinggal di rumah seorang ulama bernama Syekh Bayanullah. Pada wakt
melakukan thowaf, mereka bertemu dengan Syarif Abdullah dia adalah raja dari
Mesir. Begitu melihat paras Rara Santang, Syarif Abdullah sangat tertarik
karena mirip sekali dengan mendiang istrinya. Begitu selesai melakukan ibadah
haji, Syarif Abdullah langsung melamar Rara Santang. Dan sesuai nama kebiasaan
orang Mesir, setelah menjadi istri Syarif Abdullah nama Rara Santang kemudian
diubah menjadi Syarifah Muda’im. Dari perkawinan tersebut lahirlah dua orang
putra, Syarif Hidayatullah dan Syarif Nurullah.[1]
Dalam usia yang begitu muda Syarif Hidayatullah
ditinggal mati oleh ayahnya. Ia ditunjuk untuk menggantikan kedudukannya
sebagai Raja Mesir tapi anak yang masih berusia dua puluh tahun itu tidak mau.
Dia dan ibunya bermaksud pulang ke tanah Jawa dan berdakwah di Jawa Barat.
Kedudukan ayahnya itu kemudian diberikan kepada adiknya yaitu Syarif Nurullah. Sewaktu
berada di negeri Mesir Syarif Hidayatullah berguru kepada beberapa ulam besar
didaratan timur tengah. Dalam usia muda itu ilmunya sudah sangat banyak, maka
ketika pulang ke tanah leluhurnya yaitu Jawa ia tidak merasa kesulitan
melakukan dakwah.
Pada awal kedatangannya, Raden Syarif
Hidayatullah sering dianggap juga sebagai Fatahillah. Padahal kedua orang ini
berbeda. Sunan gunung jati merupakan cucu dari raja Padjajaran keturunan mesir
dan mengemban Islam di daerah Jawa Barat. Sedangkan Fatahillah merupakan pemuda
Pasai yang dikirimkan Sultan Trenggana untuk membantu sunan gunung jati dalam
melawan portugis. Hal ini di buktikan dengan makam Tubagaus pasai atau raden
Fatahillah di dekat makam sunan Gunung Jati.
Pada tahun 1475 Sunan Gunung Jati bersama
dengan ibunya Syarifah Muda’im datang ke Jawa Barat. Namun sebelum ke Jawa
Barat beliau mampir terlebih dahulu ke Gujarat dan pasai untuk menambah
pengalaman. Namun setelah itu Syarifah Muda’im datang kepada gurunya yang telah
wafat Syekh Datuk Kahfi dan menetap di Gunung Jati supaya dekat dengan makam
gurunya.
Setelah
itu Sunan Gunung Jati dan ibunya meneruskan usaha Syekh Datuk Kahfi. Hal ini
menjadikan Raden Syarif Hidayatullah di juluki dengan Sunan Gunung Jati. Pada
tahun 1497 Sunan Gunung Jati di serahi negeri Carubana untuk dipimpinnya,
karena pangeran Cakrabuana sudah lanjut Usia. Disaat itu pula Sunan Gunung Jati
menikah dengan anak dari Nyi Pakungwati.[2]
Menurut Purwaka Caruban Nagari,
pada masa remajanya, ketika umur 20 tahun Syarif Hidayatullah telah berguru
kepada Syekh Tajudin al-Kubri selama 2
tahun dan Syekh Ataillahi Syazally yang bermazhab
Syafei.[3] Guru-guru
Syarif Hidayatullah lainnya adalah Syekh Nur Jati (Datuk Khafidz), Sunan Ampel,
Syekh Najmurini (Nujumuddin) Kubra di Mekkah, Syekh Sidiq, Syekh Bentong, dan
Syekh Quro.
Pernikahan Syarif Hidayatullah pernah
beberapa kali; Retna Pakungwati (Putri Pangeran Cakrabuana) dikaruniai dua
anak: Ratu Ayu (istri Fatahillah) dan Pangeran Pesarean (Dipati Muhammad
Arifin); pernikahan kedua denngan Ong Tien (Putri Cina, berganti nama Rara
Sumanding, tidak berlangsung lama, karena meninggal dunia); ketiga dengan Nyi
Mas Retna Babadan (Putri Ki Gedeng Babadan); keempat dengan Dewi Kawunganten
(Putri Ki Gedeng Kawunganten, Banten) dikaruniai dua anak; Ratu Winaon dan
Pangeran Maulana Hasanuddin (Sultan Banten I); kelima dengan Nyi Mas Rara Kerta
(Putri Ki Gedeng Jatimerta) dikaruniai dua anak; Pangeran Jaya Lelana dan
Pangeran Brata Lelana.[4]
B.
Gagasan dan
Pemikiran Sunan Gunung Jati
Pengalaman adalah guru yang
terbaik, begitulah pola pikir sunan gunung jati, dari pengalamannya bertempur
di Malaka sehingga dari sini dia tahu kelemahan portugis. Tentang personaliti
dari Syarif Hidayat yang banyak dilukiskan sebagai seorang Ulama kharismatik,
dalam beberapa riwayat yang kuat, memiliki peranan penting dalam pengadilan
Syekh Siti Jenar pada tahun 1508 di pelataran Masjid Demak. Beliau ikut
membimbing Ulama berperangai ganjil itu untuk menerima hukuman mati dengan
lebih dulu melucuti ilmu kekebalan tubuhnya. Syarif Hidayat berperan dalam
membimbing Pati Unus dalam pembentukan armada gabungan Kesultanan Banten,
Demak, Cirebon di Pulau.
Menurut
Bruinessen, dalam babad-babad tentang Syarif Hidayatullah diceritakan sebelum
kepergiannya ke tanah Jawa, Syarif Hidayatullah telah mendalami akidah,
syari’ah, bahkan tasawuf dengan tarekatnya. Bruinessen juga berpendapat bahwa
Syarif Hidayatullah merupakan penganut Tarekat Kubrawiyah. Tarekat Kubrawiyah
ialah tarekat yang dihubungkan dengan nama Najamuddin al-Kubra yang dalam Babad
Cirebon selalu disebut-sebut. Setelah itu, Syarif Hidayatullah berguru
kepada Ibnu Atha’illah al-Iskandari al-Syadzili selama dua puluh tahun di
Madinah dan ia mendapat bayaran karena menjadi penganut Tarekat Syadziliyah.
Syarif Hidayatullah juga belajar Tarekat Syattariyah, Istika’i, Qadiriyah, dan
Naqsyabandiyah.[5]
Menurut Serat
Walisana, seperti disebut Sunyoto, tokoh Syarif Hidayatullah dikisahkan
memiliki kaitan dengan ajaran sufisme melalui kitab-kitab Syaikh Ibrahim Arki,
Syaikh Sbti, Syaikh Muhyiddin Ibn ‘Arabi, Syaikh Abu Yazid Bustomi, Syaikh
Rudadi, dan Syaikh Samangun Asarani. Perkembangan Tarekat Syattariyah dan
Akmaliyah, sering pula dinisbatkan pada ajaran-ajaran Wali Songo, khususnya
Syarif Hidayatullah, Sunan Giri, Sunan Kalijaga, dan Syekh Siti Jenar.
Madzhab yang dipakai oleh Sunan
Gunung Djati adalah Mazhab Syafi’i. Pemikiran fiqh mazhab ini diawali oleh Imam asy-Syafi’i.
Keunggulan Imam asy-Syafi’i sebagai ulama fiqh, usul fiqh, dan hadits di
zamannya diakui sendiri oleh ulama sezamannya.
Sebagai
orang yang hidup di zaman meruncingnya pertentangan antara aliran Ahlulhadits
dan Ahlurra ‘yi, Imam asy-Syafi ‘i berupaya untuk mendekatkan pandangan kedua
aliran ini. Karenanya, ia belajar kepada Imam Malik sebagai tokoh Ahlulhadits
dan Imam Muhammad bin Hasan asy-Syaibani sebagai tokoh Ahlurra’yi.
Prinsip
dasar Mazhab Syafi’i dapat dilihat dalam kitab usul fiqh ar-Risalah. Dalam buku
ini asy-Syafi’i menjelaskan kerangka dan prinsip mazhabnya serta beberapa
contoh merumuskan hukum far’iyyah (yang bersifat cabang). Dalam menetapkan
hukum Islam, Imam asy-Syafi’i pertama sekali mencari alasannya dari Al-Qur’an.
Jika tidak ditemukan maka ia merujuk kepada sunnah Rasulullah SAW.
Apabila
dalam kedua sumber hukum Islam itu tidak ditemukan jawabannya, ia melakukan
penelitian terhadap ijma’ sahabat. Ijma’ yang diterima Imam asy-Syafi’i sebagai
landasan hukum hanya ijma’ para sahabat, bukan ijma’ seperti yang dirumuskan
ulama usul fiqh, yaitu kesepakatan seluruh mujtahid pada masa tertentu terhadap
suatu hukum, karena menurutnya ijma’ seperti ini tidak mungkin terjadi. Apabila
dalam ijma’ tidakjuga ditemukan hukumnya, maka ia menggunakan qiyas, yang dalam
ar-Risalah disebutnya sebagai ijtihad. Akan tetapi, pemakaian qiyas bagi Imam
asy-Syafi ‘i tidak seluas yang digunakan Imam Abu Hanifah, sehingga ia menolak
istihsan sebagai salah satu cara meng-istinbat-kan hukum syara’
Penyebarluasan
pemikiran Mazhab Syafi’i berbeda dengan Mazhab Hanafi dan Maliki. Diawali
melalui kitab usul fiqhnya ar-Risalah dan kitab fiqhnya al-Umm, pokok pikiran
dan prinsip dasar Mazhab Syafi ‘i ini kemudian disebarluaskan dan dikembangkan
oleh para muridnya. Tiga orang murid Imam asy-Syafi ‘i yang terkemuka sebagai
penyebar luas dan pengembang Mazhab Syafi’i adalah Yusuf bin Yahya al-Buwaiti
(w. 231 H./846 M.), ulama besar Mesir; Abi Ibrahim Ismail bin Yahya al-Muzani
(w. 264 H./878 M.), yang diakui oleh Imam asy-Syafi ‘i sebagai pendukung kuat
mazhabnya; dan ar-Rabi bin Sulaiman al-Marawi (w. 270 H.), yang besar jasanya
dalam penyebarluasan kedua kitab Imam asy-Syafi ‘i tersebut.
C.
Karya-karya
Sunan Gunung Jati
1. Tajug dan
(atau) Masjid
Pendirian tempat ibadah, khususnya masjid,
telah dilakukan sejak Islam masuk di Cirebon. Untuk kepentingan ibadah dan
pengajaran agama Islam, Pangeran Cakrabuana kemudian mendirikan sebuah masjid
yang diberi nama Sang Tajug Jalagrahan (jala artinya air; graha artinya rumah).
Masjid ini merupakan masjid pertama di tatar Sunda dan didirikan di pesisir
laut Cirebon. Masjid masih terpelihara dengan nama dialek Cirebon menjadi
masjid Pejalagrahan. Tempatnya di dalam Kraton Pakungwati, Kasepuhan. Masjid
tersebut dibangun sekitar tahun 1454.[6]
Selain itu, terdapat beberapa bangunan masjid
pada masa Syarif Hidayatullah yang sampai hari ini diakui keberadaannya, yakni
masjid merah Panjunan dan masjid Agung Sang Cipta Rasa. Menurut salah seorang
takmir masjidnya, sebelum dibangun masjid Agung Sang Cipta Rasa, dibangun
terlebih dahulu masjid Merah Panjunan, yaitu sekitar tahun 1480 masjid.
Kejayaan era Syarif
Hidayatullah juga terlihat dari keberadaan sebuah bangunan masjid yang bernama
Masjid Agung Sang Cipta Rasa yang saat ini berada dalam lingkungan kompleks
Kraton Kasepuhan. Masjid itu dibangun 1549 atau jika seperti tertulis
dalam candrasangkala yang berbunyi, “Waspada Penenbehe Yuganing Ratu”,
bermakna 1500. Simbol bangunan masjid melambanhkan filsafat Hayyun
ila Ruhin (hidup tanpa ruh).[7]
2.
Kraton dan Sistem Pemerintahan Cirebon
Syarif Hidayatllah menikah dengan Pakungwati dan
mulailah pembangunan negara (kota) Carbon, mulai dengan alun-alun dan istana
yang kemudian terkenal dengan nama Istana Pakungwati (Pupuh 18, Dhandhanggula)[8]
Karena
menjadi bagian dari Walisongo, Syarif Hidayatullah di akhir hayatnya lebih
memilih untuk menjadi seorang ulama, daripada penguasa dalam pemerintahan.
Baginya, kekuasaan itu telah cukup dijalankan oleh putranya di Banten.
Mempertimbangkan hal itu, Syarif Hidayatullah menyerahkan kekuasaan
pemerintahan di Cirebon kepada Pangeran Pesarean pada kurun waktu 1528-1552.
Pesarean merupakan putra Syarif Hidayatullah dengan Nyai Tepasari. Syarif
Hidayatullah sendiri lebih memilih dan mengkhususkan dalam syiar Islam ke
daerah pedalaman.[9]
3.
Pelabuhan sebagai Pusat Perdagangan
Peninggalan
dari Syarif Hidayatullah yang pernah menjadi jalur sutra perdagangan dunia
internasional adalah pelabuhan. Pelabuhan Cirebon diduga berdiri seiring dengan
kelahiran Cirebon pada 1371. Sebagai kota pantai, Cirebon merupakan pusat
perdagangan untuk daerah sekitarnya. Saat ini,
pelabuhan Cirebon mempunyai status pelabuhan internasional, pelabuhan samudra
dan pelabuhan ekspor impor, yang berarti pelabuhan Cirebon terbuka bagi
kegiatan bongkar muat barang dari dan ke luar negeri atau barang ekspor dan
impor. Adapun pelabuhan Cirebon dikelola oleh BUMN yang keberadaannya dibawah
manajemen PT (Persero).
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Sunan gunung jati atau Raden Syarif Hidayatullah
merupakan salah satu dari ulama besar walisongo yang menyebarkan Islam di pulau
jawa. Raden Syarif Hidayatullah dilahirkan pada 1448 Masehi. Ayahnya adalah Syarif Abdullah bin Nur Alam bin Jamaluddin Akbar,
seorang mubaligh dan Musafir besar dari Gujarat, India yang sangat dikenal
sebagai ulama besar di Hadramaut.
Syarif
Hidayatullah diceritakan sebelum kepergiannya ke tanah Jawa, Syarif
Hidayatullah telah mendalami akidah, syari’ah, bahkan tasawuf dengan
tarekatnya. Bruinessen juga berpendapat bahwa Syarif Hidayatullah merupakan
penganut Tarekat Kubrawiyah. Tarekat Kubrawiyah ialah tarekat yang dihubungkan
dengan nama Najamuddin al-Kubra yang dalam Babad Cirebon selalu
disebut-sebut. Setelah itu, Syarif Hidayatullah berguru kepada Ibnu Atha’illah
al-Iskandari al-Syadzili selama dua puluh tahun di Madinah dan ia mendapat
bayaran karena menjadi penganut Tarekat Syadziliyah. Syarif Hidayatullah juga
belajar Tarekat Syattariyah, Istika’i, Qadiriyah, dan Naqsyabandiyah.
Karya dari Sunan Gunung Jati adalah
·
Tajug dan (atau) Masjid
·
Kraton dan Sistem Pemerintahan Cirebon
·
Pelabuhan sebagai Pusat
Perdagangan
B.
Kritisi
Sunan Gunung Jati merupakan Wali songo yang banyak memperdalam ilmu
Tasawuf terbukti dengan banyak nya tarekat yang beliau pelajari. Menurut
sebagian sejarah beliau juga bisa menyembuhkan orang yang sakit, beliau juga sering
melakukan dzikir dan amalan-amalan seorang sufi. Beliau juga terlihat tidak
mementingkan urusan dunia, terbkti bahwa beliau memilih menjadi seorang
penyebar agama islam dari pada seorang raja di Mesir di Negara tempat ayahanda
nya tinggal. Dan ketika di Indonesia pun beliau menyerahkan kekuasaan nya
seperti keraton kepada anaknya, dan perilaku tersebut menggambarkan bahwa
beliau seseorang yang tidak terpaku kepada urusan duniawi beliau hanya
mengharap keridhoan dan kecintaan dari Alloh SWT. Beliau juga seseorang yang
sangat di kagumi karena kecerdasannya.
Selain seorang pengamal Tasawuf beliau juga bermadzhab imam syaf’I
yang berdiri di tengah di antara perbedaan- perbedaan pendapat. Beliau tidak
hanya terfokus dalam suatu ilmu saja tapi beliau juga sangat cerdas sehingga
dapat memahami berbagai macam ilmu. Pantas saja beliau menjadi Wali Alloh dan
di cintai oleh umat islam
C.
Saran
Kami berharap
semoga makalah ini bisa menambah pengetahuan para pembaca. Namun terlepas dari
itu, kami memahami bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna, sehingga
kami sangat mengharapkan kritik serta saran yang bersifat membangun demi
terciptanya makalah selanjutnya yang lebih baik lagi.
DAFTAR
PUSTAKA
M. hariwijaya Sunan Gunung Jati Pendiri Kerajaan Islam Cirebon,
Yogyakarta, 2006,
Mertasinga, Sejarah wali
Syekh Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati, Bandung: Pustaka, 2007
Suprapto Bibit, Ensiklopedi
Ulama Nusantara Riwayat Hidup, Karya, dan Sejarah Perjuangan 157 Ulama
Nusantara, Jakarta: Gramedia, 2009
Martin van Bruinessen, Kitab
Kuning: Pesantren dan Tarekat, Tradisi-Tradisi Islam di Indonesia,
Bandung: Mizan, 1999 cet. III.
Sulendraningrat Sulaeman, Babad
Tanah Sunda,
Paramita R.
Abdurrachman, Cerbon, Jakarta: Sinar Harapan, 1982
Babad Cirebon, alih aksara dan
ringkasan S.Z. Hadisutjipto Jakarta: Depdikbud, 1979
Adeng ,dkk. Kota
Dagang Cirebon Sebagai Bandar Jalur Sutra, Jakarta: Depdikbud,
1998
[1] M.
hariwijaya Sunan Gunung Jati Pendiri Kerajaan Islam Cirebon Yogyakarta, 2006,
hlm 34
[3] Naskah Mertasinga, Sejarah wali Syekh
Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati, alih aksara dan bahasa Amman N.
Wahju, (Bandung: Pustaka, 2007), hlm. 219
[4] Bibit Suprapto, Ensiklopedi
Ulama Nusantara Riwayat Hidup, Karya, dan Sejarah Perjuangan 157 Ulama
Nusantara, (Jakarta: Gramedia, 2009), hlm. 756-757
[5] Martin van Bruinessen, Kitab
Kuning: Pesantren dan Tarekat, Tradisi-Tradisi Islam di Indonesia (Bandung:
Mizan, 1999) cet. III. hlm. 223-245.
[6] Babad Tanah Sunda, terbitan Suleman
Sulendraningrat, seperti ditulis Dadan Wildan, Sunan Gunung Jati,
hlm. 45
[8] Babad Cirebon, alih aksara dan ringkasan
S.Z. Hadisutjipto (Jakarta: Depdikbud, 1979), hlm. xxviii
[9] Adeng ,dkk. Kota
Dagang Cirebon Sebagai Bandar Jalur Sutra, (Jakarta: Depdikbud,
1998), hlm. 34-35