12/07/2018

Makalah Sunan Gunung Jati


BAB  I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Agama islam masuk pertama kali ke indonesia melalaui pulau sumatra, selanjutnya penyebaran agama islam mulai masuk ke pulau-pulau lainnya di indonesia. Ketika kekuatan islam semakin melembaga, berdirilah kerajaan islam, dari siniislam sampai ke pulau jawa, walisongo sebagai jantung penyebaran agama islam di pulau jawa. Sunan gunung jati atau syarif hidatullah merupakan salah satu walisongo yang selalu memberikan kontribusidalam penyebaran agama islam di daerah pulau jawa, khususnya jawa barat. Syarif hidayatullah dikenal sebagai pendiri kesultanan cirebon dan banten. Beliau memiliki peran yang sangat besar dalam penyebaran agama islam.
Wali Songo bukan hanya ahli agama, tetapi juga intelektual pembaharu yang memperkenalkan berbagai bentuk peradaban baru mulai dari kesehatan, bercocok tanam, niaga, kebudayaan dan kesenian, kemasyarakatan hingga pemerintahan. Para Wali memiliki ilmu yang sangat tinggi dalam berbagai bidang. Keimanannya tinggi terhadap alloh.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana Riwayat Hidup Sunan Gunung Jati?
2.      Bagaimana Gagasan Pemikiran Sunan Gunung Jati?
3.      Apa saja karya-karya dari Sunan Gunung Jati?

C.    Tujuan Penulisan
1.      Bagaimana Riwayat Hidup Sunan Gunung Jati?
2.      Bagaimana Gagasan Pemikiran Sunan Gunung Jati?
3.      Apa saja karya-karya dari Sunan Gunung Jati?

BAB  II
PEMBAHASAN

A.    Riwayat Sunan Gunung Jati
Sunan gunung jati atau Raden Syarif Hidayatullah merupakan salah satu dari ulama besar walisongo yang menyebarkan Islam di pulau jawa. Raden Syarif Hidayatullah dilahirkan pada 1448 Masehi.
Ayahnya adalah Syarif Abdullah bin Nur Alam bin Jamaluddin Akbar, seorang mubaligh dan Musafir besar dari Gujarat, India yang sangat dikenal sebagai ulama besar di Hadramaut. Yaman. Bahkan silsilahnya sampai kepada Rasulullah melalui cucunya Imam Husain. Sedangkan ibunya adalah Nyai Rara Santang (Syarifah Mudaim) yaitu putri dari Sri Baduga Maharaja dari Nyai Subang Larang, dan merupakan adik dari Kian Santang atau Pangeran Walangsungsang yang bergelar Cakrabuwana.
Pertemuan ayah dan ibunya dari sunan gunung jati berawal saat Pangeran Cakra Buana dan Rara Santang diperintahkan oleh Syekh Datuk Kahfi untuk naik haji. Maka mereka pun segera pergi melaksanakan niat itu. Di Mekah mereka tinggal di rumah seorang ulama bernama Syekh Bayanullah. Pada wakt melakukan thowaf, mereka bertemu dengan Syarif Abdullah dia adalah raja dari Mesir. Begitu melihat paras Rara Santang, Syarif Abdullah sangat tertarik karena mirip sekali dengan mendiang istrinya. Begitu selesai melakukan ibadah haji, Syarif Abdullah langsung melamar Rara Santang. Dan sesuai nama kebiasaan orang Mesir, setelah menjadi istri Syarif Abdullah nama Rara Santang kemudian diubah menjadi Syarifah Muda’im. Dari perkawinan tersebut lahirlah dua orang putra, Syarif Hidayatullah dan Syarif Nurullah.[1]
Dalam usia yang begitu muda Syarif Hidayatullah ditinggal mati oleh ayahnya. Ia ditunjuk untuk menggantikan kedudukannya sebagai Raja Mesir tapi anak yang masih berusia dua puluh tahun itu tidak mau. Dia dan ibunya bermaksud pulang ke tanah Jawa dan berdakwah di Jawa Barat. Kedudukan ayahnya itu kemudian diberikan kepada adiknya yaitu Syarif Nurullah. Sewaktu berada di negeri Mesir Syarif Hidayatullah berguru kepada beberapa ulam besar didaratan timur tengah. Dalam usia muda itu ilmunya sudah sangat banyak, maka ketika pulang ke tanah leluhurnya yaitu Jawa ia tidak merasa kesulitan melakukan dakwah.
Pada awal kedatangannya, Raden Syarif Hidayatullah sering dianggap juga sebagai Fatahillah. Padahal kedua orang ini berbeda. Sunan gunung jati merupakan cucu dari raja Padjajaran keturunan mesir dan mengemban Islam di daerah Jawa Barat. Sedangkan Fatahillah merupakan pemuda Pasai yang dikirimkan Sultan Trenggana untuk membantu sunan gunung jati dalam melawan portugis. Hal ini di buktikan dengan makam Tubagaus pasai atau raden Fatahillah di dekat makam sunan Gunung Jati.
Pada tahun 1475 Sunan Gunung Jati  bersama dengan ibunya Syarifah Muda’im datang ke Jawa Barat. Namun sebelum ke Jawa Barat beliau mampir terlebih dahulu ke Gujarat dan pasai untuk menambah pengalaman. Namun setelah itu Syarifah Muda’im datang kepada gurunya yang telah wafat Syekh Datuk Kahfi dan menetap di Gunung Jati supaya dekat dengan makam gurunya.
Setelah itu Sunan Gunung Jati dan ibunya meneruskan usaha Syekh Datuk Kahfi. Hal ini menjadikan Raden Syarif Hidayatullah di juluki dengan Sunan Gunung Jati. Pada tahun 1497 Sunan Gunung Jati di serahi negeri Carubana untuk dipimpinnya, karena pangeran Cakrabuana sudah lanjut Usia. Disaat itu pula Sunan Gunung Jati menikah dengan anak dari Nyi Pakungwati.[2]
Menurut Purwaka Caruban Nagari, pada masa remajanya, ketika umur 20 tahun Syarif Hidayatullah telah berguru kepada Syekh Tajudin al-Kubri selama 2 tahun dan Syekh Ataillahi Syazally yang bermazhab Syafei.[3] Guru-guru Syarif Hidayatullah lainnya adalah Syekh Nur Jati (Datuk Khafidz), Sunan Ampel, Syekh Najmurini (Nujumuddin) Kubra di Mekkah, Syekh Sidiq, Syekh Bentong, dan Syekh Quro.
Pernikahan Syarif Hidayatullah pernah beberapa kali; Retna Pakungwati (Putri Pangeran Cakrabuana) dikaruniai dua anak: Ratu Ayu (istri Fatahillah) dan Pangeran Pesarean (Dipati Muhammad Arifin); pernikahan kedua denngan Ong Tien (Putri Cina, berganti nama Rara Sumanding, tidak berlangsung lama, karena meninggal dunia); ketiga dengan Nyi Mas Retna Babadan (Putri Ki Gedeng Babadan); keempat dengan Dewi Kawunganten (Putri Ki Gedeng Kawunganten, Banten) dikaruniai dua anak; Ratu Winaon dan Pangeran Maulana Hasanuddin (Sultan Banten I); kelima dengan Nyi Mas Rara Kerta (Putri Ki Gedeng Jatimerta) dikaruniai dua anak; Pangeran Jaya Lelana dan Pangeran Brata Lelana.[4]
 B.     Gagasan dan Pemikiran Sunan Gunung Jati
Pengalaman adalah guru yang terbaik, begitulah pola pikir sunan gunung jati, dari pengalamannya bertempur di Malaka sehingga dari sini dia tahu kelemahan portugis. Tentang personaliti dari Syarif Hidayat yang banyak dilukiskan sebagai seorang Ulama kharismatik, dalam beberapa riwayat yang kuat, memiliki peranan penting dalam pengadilan Syekh Siti Jenar pada tahun 1508 di pelataran Masjid Demak. Beliau ikut membimbing Ulama berperangai ganjil itu untuk menerima hukuman mati dengan lebih dulu melucuti ilmu kekebalan tubuhnya. Syarif Hidayat berperan dalam membimbing Pati Unus dalam pembentukan armada gabungan Kesultanan Banten, Demak, Cirebon di Pulau.
Menurut Bruinessen, dalam babad-babad tentang Syarif Hidayatullah diceritakan sebelum kepergiannya ke tanah Jawa, Syarif Hidayatullah telah mendalami akidah, syari’ah, bahkan tasawuf dengan tarekatnya. Bruinessen juga berpendapat bahwa Syarif Hidayatullah merupakan penganut Tarekat Kubrawiyah. Tarekat Kubrawiyah ialah tarekat yang dihubungkan dengan nama Najamuddin al-Kubra yang dalam Babad Cirebon selalu disebut-sebut. Setelah itu, Syarif Hidayatullah berguru kepada Ibnu Atha’illah al-Iskandari al-Syadzili selama dua puluh tahun di Madinah dan ia mendapat bayaran karena menjadi penganut Tarekat Syadziliyah. Syarif Hidayatullah juga belajar Tarekat Syattariyah, Istika’i, Qadiriyah, dan Naqsyabandiyah.[5]
Menurut Serat Walisana, seperti disebut Sunyoto, tokoh Syarif Hidayatullah dikisahkan memiliki kaitan dengan ajaran sufisme melalui kitab-kitab Syaikh Ibrahim Arki, Syaikh Sbti, Syaikh Muhyiddin Ibn ‘Arabi, Syaikh Abu Yazid Bustomi, Syaikh Rudadi, dan Syaikh Samangun Asarani. Perkembangan Tarekat Syattariyah dan Akmaliyah, sering pula dinisbatkan pada ajaran-ajaran Wali Songo, khususnya Syarif Hidayatullah, Sunan Giri, Sunan Kalijaga, dan Syekh Siti Jenar.
Madzhab yang dipakai oleh Sunan Gunung Djati adalah Mazhab Syafi’iPemikiran fiqh mazhab ini diawali oleh Imam asy-Syafi’i. Keunggulan Imam asy-Syafi’i sebagai ulama fiqh, usul fiqh, dan hadits di zamannya diakui sendiri oleh ulama sezamannya.
Sebagai orang yang hidup di zaman meruncingnya pertentangan antara aliran Ahlulhadits dan Ahlurra ‘yi, Imam asy-Syafi ‘i berupaya untuk mendekatkan pandangan kedua aliran ini. Karenanya, ia belajar kepada Imam Malik sebagai tokoh Ahlulhadits dan Imam Muhammad bin Hasan asy-Syaibani sebagai tokoh Ahlurra’yi.
Prinsip dasar Mazhab Syafi’i dapat dilihat dalam kitab usul fiqh ar-Risalah. Dalam buku ini asy-Syafi’i menjelaskan kerangka dan prinsip mazhabnya serta beberapa contoh merumuskan hukum far’iyyah (yang bersifat cabang). Dalam menetapkan hukum Islam, Imam asy-Syafi’i pertama sekali mencari alasannya dari Al-Qur’an. Jika tidak ditemukan maka ia merujuk kepada sunnah Rasulullah SAW.
Apabila dalam kedua sumber hukum Islam itu tidak ditemukan jawabannya, ia melakukan penelitian terhadap ijma’ sahabat. Ijma’ yang diterima Imam asy-Syafi’i sebagai landasan hukum hanya ijma’ para sahabat, bukan ijma’ seperti yang dirumuskan ulama usul fiqh, yaitu kesepakatan seluruh mujtahid pada masa tertentu terhadap suatu hukum, karena menurutnya ijma’ seperti ini tidak mungkin terjadi. Apabila dalam ijma’ tidakjuga ditemukan hukumnya, maka ia menggunakan qiyas, yang dalam ar-Risalah disebutnya sebagai ijtihad. Akan tetapi, pemakaian qiyas bagi Imam asy-Syafi ‘i tidak seluas yang digunakan Imam Abu Hanifah, sehingga ia menolak istihsan sebagai salah satu cara meng-istinbat-kan hukum syara’
Penyebarluasan pemikiran Mazhab Syafi’i berbeda dengan Mazhab Hanafi dan Maliki. Diawali melalui kitab usul fiqhnya ar-Risalah dan kitab fiqhnya al-Umm, pokok pikiran dan prinsip dasar Mazhab Syafi ‘i ini kemudian disebarluaskan dan dikembangkan oleh para muridnya. Tiga orang murid Imam asy-Syafi ‘i yang terkemuka sebagai penyebar luas dan pengembang Mazhab Syafi’i adalah Yusuf bin Yahya al-Buwaiti (w. 231 H./846 M.), ulama besar Mesir; Abi Ibrahim Ismail bin Yahya al-Muzani (w. 264 H./878 M.), yang diakui oleh Imam asy-Syafi ‘i sebagai pendukung kuat mazhabnya; dan ar-Rabi bin Sulaiman al-Marawi (w. 270 H.), yang besar jasanya dalam penyebarluasan kedua kitab Imam asy-Syafi ‘i tersebut.
  C.    Karya-karya Sunan Gunung Jati
1.      Tajug dan (atau) Masjid
Pendirian tempat ibadah, khususnya masjid, telah dilakukan sejak Islam masuk di Cirebon. Untuk kepentingan ibadah dan pengajaran agama Islam, Pangeran Cakrabuana kemudian mendirikan sebuah masjid yang diberi nama Sang Tajug Jalagrahan (jala artinya air; graha artinya rumah). Masjid ini merupakan masjid pertama di tatar Sunda dan didirikan di pesisir laut Cirebon. Masjid masih terpelihara dengan nama dialek Cirebon menjadi masjid Pejalagrahan. Tempatnya di dalam Kraton Pakungwati, Kasepuhan. Masjid tersebut dibangun sekitar tahun 1454.[6]
Selain itu, terdapat beberapa bangunan masjid pada masa Syarif Hidayatullah yang sampai hari ini diakui keberadaannya, yakni masjid merah Panjunan dan masjid Agung Sang Cipta Rasa. Menurut salah seorang takmir masjidnya, sebelum dibangun masjid Agung Sang Cipta Rasa, dibangun terlebih dahulu masjid Merah Panjunan, yaitu sekitar tahun 1480 masjid.
Kejayaan era Syarif Hidayatullah juga terlihat dari keberadaan sebuah bangunan masjid yang bernama Masjid Agung Sang Cipta Rasa yang saat ini berada dalam lingkungan kompleks Kraton Kasepuhan.  Masjid itu dibangun 1549 atau jika seperti tertulis dalam candrasangkala yang berbunyi, “Waspada Penenbehe Yuganing Ratu”, bermakna  1500. Simbol bangunan masjid melambanhkan filsafat Hayyun ila Ruhin (hidup tanpa ruh).[7]
2.      Kraton dan Sistem Pemerintahan Cirebon
Syarif  Hidayatllah menikah dengan Pakungwati dan mulailah pembangunan negara (kota) Carbon, mulai dengan alun-alun dan istana yang kemudian terkenal dengan nama Istana Pakungwati (Pupuh 18, Dhandhanggula)[8]
            Karena menjadi bagian dari Walisongo, Syarif Hidayatullah di akhir hayatnya lebih memilih untuk menjadi seorang ulama, daripada penguasa dalam pemerintahan. Baginya, kekuasaan itu telah cukup dijalankan oleh putranya di Banten. Mempertimbangkan hal itu, Syarif Hidayatullah menyerahkan kekuasaan pemerintahan di Cirebon kepada Pangeran Pesarean pada kurun waktu 1528-1552. Pesarean merupakan putra Syarif Hidayatullah dengan Nyai Tepasari. Syarif Hidayatullah sendiri lebih memilih dan mengkhususkan dalam syiar Islam ke daerah pedalaman.[9]
3.      Pelabuhan sebagai Pusat Perdagangan
            Peninggalan dari Syarif Hidayatullah yang pernah menjadi jalur sutra perdagangan dunia internasional adalah pelabuhan. Pelabuhan Cirebon diduga berdiri seiring dengan kelahiran Cirebon pada 1371. Sebagai kota pantai, Cirebon merupakan pusat perdagangan untuk daerah sekitarnya. Saat ini, pelabuhan Cirebon mempunyai status pelabuhan internasional, pelabuhan samudra dan pelabuhan ekspor impor, yang berarti pelabuhan Cirebon terbuka bagi kegiatan bongkar muat barang dari dan ke luar negeri atau barang ekspor dan impor. Adapun pelabuhan Cirebon dikelola oleh BUMN yang keberadaannya dibawah manajemen PT (Persero).

 
BAB  III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Sunan gunung jati atau Raden Syarif Hidayatullah merupakan salah satu dari ulama besar walisongo yang menyebarkan Islam di pulau jawa. Raden Syarif Hidayatullah dilahirkan pada 1448 Masehi. Ayahnya adalah Syarif Abdullah bin Nur Alam bin Jamaluddin Akbar, seorang mubaligh dan Musafir besar dari Gujarat, India yang sangat dikenal sebagai ulama besar di Hadramaut.
Syarif Hidayatullah diceritakan sebelum kepergiannya ke tanah Jawa, Syarif Hidayatullah telah mendalami akidah, syari’ah, bahkan tasawuf dengan tarekatnya. Bruinessen juga berpendapat bahwa Syarif Hidayatullah merupakan penganut Tarekat Kubrawiyah. Tarekat Kubrawiyah ialah tarekat yang dihubungkan dengan nama Najamuddin al-Kubra yang dalam Babad Cirebon selalu disebut-sebut. Setelah itu, Syarif Hidayatullah berguru kepada Ibnu Atha’illah al-Iskandari al-Syadzili selama dua puluh tahun di Madinah dan ia mendapat bayaran karena menjadi penganut Tarekat Syadziliyah. Syarif Hidayatullah juga belajar Tarekat Syattariyah, Istika’i, Qadiriyah, dan Naqsyabandiyah.
Karya dari Sunan Gunung Jati adalah
·         Tajug dan (atau) Masjid
·         Kraton dan Sistem Pemerintahan Cirebon
·         Pelabuhan sebagai Pusat Perdagangan

B.     Kritisi
Sunan Gunung Jati merupakan Wali songo yang banyak memperdalam ilmu Tasawuf terbukti dengan banyak nya tarekat yang beliau pelajari. Menurut sebagian sejarah beliau juga bisa menyembuhkan orang yang sakit, beliau juga sering melakukan dzikir dan amalan-amalan seorang sufi. Beliau juga terlihat tidak mementingkan urusan dunia, terbkti bahwa beliau memilih menjadi seorang penyebar agama islam dari pada seorang raja di Mesir di Negara tempat ayahanda nya tinggal. Dan ketika di Indonesia pun beliau menyerahkan kekuasaan nya seperti keraton kepada anaknya, dan perilaku tersebut menggambarkan bahwa beliau seseorang yang tidak terpaku kepada urusan duniawi beliau hanya mengharap keridhoan dan kecintaan dari Alloh SWT. Beliau juga seseorang yang sangat di kagumi karena kecerdasannya.
Selain seorang pengamal Tasawuf beliau juga bermadzhab imam syaf’I yang berdiri di tengah di antara perbedaan- perbedaan pendapat. Beliau tidak hanya terfokus dalam suatu ilmu saja tapi beliau juga sangat cerdas sehingga dapat memahami berbagai macam ilmu. Pantas saja beliau menjadi Wali Alloh dan di cintai oleh umat islam

C.    Saran  
Kami berharap semoga makalah ini bisa menambah pengetahuan para pembaca. Namun terlepas dari itu, kami memahami bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna, sehingga kami sangat mengharapkan kritik serta saran yang bersifat membangun demi terciptanya makalah selanjutnya yang lebih baik lagi.
DAFTAR PUSTAKA

M. hariwijaya Sunan Gunung Jati Pendiri Kerajaan Islam Cirebon, Yogyakarta, 2006,
Mertasinga, Sejarah wali Syekh Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati, Bandung: Pustaka, 2007
Suprapto Bibit, Ensiklopedi Ulama Nusantara Riwayat Hidup, Karya, dan Sejarah Perjuangan 157 Ulama Nusantara, Jakarta: Gramedia, 2009
Martin van Bruinessen, Kitab Kuning: Pesantren dan TarekatTradisi-Tradisi Islam di Indonesia, Bandung: Mizan, 1999 cet. III.  
 Sulendraningrat Sulaeman, Babad Tanah Sunda,
Paramita R. Abdurrachman, Cerbon, Jakarta: Sinar Harapan, 1982
Babad Cirebon, alih aksara dan ringkasan S.Z. Hadisutjipto Jakarta: Depdikbud, 1979
Adeng ,dkk. Kota Dagang Cirebon Sebagai Bandar Jalur Sutra, Jakarta: Depdikbud, 1998


[1] M. hariwijaya Sunan Gunung Jati Pendiri Kerajaan Islam Cirebon Yogyakarta, 2006, hlm 34
[2] https://informazone.com/sunan-gunung-jati/
[3] Naskah MertasingaSejarah wali Syekh Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati, alih aksara dan bahasa Amman N. Wahju, (Bandung: Pustaka, 2007), hlm. 219
[4] Bibit Suprapto, Ensiklopedi Ulama Nusantara Riwayat Hidup, Karya, dan Sejarah Perjuangan 157 Ulama Nusantara, (Jakarta: Gramedia, 2009),  hlm. 756-757
[5] Martin van Bruinessen, Kitab Kuning: Pesantren dan TarekatTradisi-Tradisi Islam di Indonesia (Bandung: Mizan, 1999) cet. III.  hlm. 223-245.
[6] Babad Tanah Sunda, terbitan Suleman Sulendraningrat, seperti ditulis Dadan Wildan, Sunan Gunung Jati, hlm. 45
[7] Paramita R. Abdurrachman (penyunt.), Cerbon, (Jakarta: Sinar Harapan, 1982), hlm. 83.
[8] Babad Cirebon, alih aksara dan ringkasan S.Z. Hadisutjipto (Jakarta: Depdikbud, 1979), hlm. xxviii 
[9] Adeng ,dkk. Kota Dagang Cirebon Sebagai Bandar Jalur Sutra, (Jakarta: Depdikbud, 1998),  hlm. 34-35