12/07/2018

Makalah Tokoh Islam Al-Farabi

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Al-Farabi merupakan filosof kedua setelah Aristoteles. Dimana dalam kehidupannya, Al-Farabi selalu menimba ilmu pengetahuan baik ilmu agama maupun umum. Pendidikan bagi Al-Farabi adalah sesuatu yang pantas untuk diperjuangkan. Dalam usaha ingin memperbaiki keadaan negerinya beliau melahirkan suatu ide tentang pendidikan yang didasarkan oleh filsafat Plato dan Aristoteles. Dengan kegigihannya dalam berbagai ilmu, Al-Farabi mampu disebut dengan ahli filsafat. Dimana filsafat Al-Farabi lebih islami dan sesuai dengan Al-Qur’an.
Al-Farabi juga sangat menginginkan bangsanya dapat bergulat dalam hidup, sehingga membawanya pada kemampuan untuk melihat realitas yang sesungguhnya. Oleh karena itu, beliau membuat suatu pemikiran konsep pendidikan dan pemikiran-pemikiran lainnya seperti rekonsiliasi Al-Farabi, pemikiran ketuhanan, pemikiran kenabian, pemikiran kenegaraan, pemikiran tentang jiwa, pemikiran akal dan emanasi.
Untuk lebih jelasnya mengenai hal-hal diatas, maka dalam makalah ini penulis akan mengulas mengenai riwayat hidup (biografi), pemikiran/ gagasan, serta karya-karya dari Al-Farabi.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana riwayat hidup Al-Farabi?
2.      Bagaimana gagasan/ pemikiran Al-Farabi?
3.      Apa saja karya-karya Al-Farabi?
C.    Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui riwayat hidup Al-Farabi.
2.      Untuk mengetahui gagasan/ pemikiran Al-Farabi
3.      Untuk mengetahui karya-karya Al-Farabi.


BAB II              
PEMBAHASAN
A.    Riwayat Hidup Al-Farabi
Nama lengkap Al-Farabi adalah Abu Nashr Muhammad ibnu Muhammad ibnu Tarkhan ibnu Auzalagh. Beliau dilahirkan di Wasij, Distrik Farab, Turkistan pada tahun 257 H/ 870 M. Ayahnya seorang jendral berkebangsaan Persia dan ibunya berkebangsaan Turki. Oleh sebab itu, terkadang beliau dikatakan keturunan Persia dan terkadang beliau disebut keturunan Turki. Akan tetapi, sesuai ajaran islam yang mendasarkan keturunan pada pihak ayah, maka lebih tepat beliau disebut keturunan Persia. Sebutan Al-Farabi sendiri diambil dari nama kota dimana beliau dilahirkan, yakni kota Farab.
Kendatipun Al-Farabi merupakan orang terkemuka dikalangan filosof muslim, ternyata informasi tentang dirinya sangat terbatas. Beliau tidak merekam liku-liku kehidupannya, begitu juga murid-muridnya. Menurut beberapa literatur, Al-Farabi dalam usia 40 tahun pergi ke Baghdad, sebagai pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan dunia dikala itu. Beliau belajar kaidah-kaidah Bahasa arab kepada Abu Bakar Al-Saraj dan belajar logika serta filsafat kepada orang Kristen yakni Abu Bisyr Mattius ibnu Yunus. Kemudian, beliau pindah ke Harran, pusat kebudayaan Yunani di Asia Kecil dan berguru kepada Yuhanna ibnu Jailan. Akan tetapi, tidak berapa lama beliau kembali ke Baghdad untuk memperdalam ilmu filsafat. Selama di Baghdad beliau banyak menggunakan waktunya untuk berdiskusi, mengajar, mengarang, dan mengulas buku-buku filsafat. Diantara muridnya yang terkenal adalah Yahya ibnu Adi, seorang filosof Kristen.
Pada tahun 330 H/ 945 M, beliau pindah ke Damaskus, Syria dan berkenalan dengan Saif Al-Daulah Al-Hamdani, Sultan Dinasti Hamdan di Aleppo. Sultan tampaknya sangat terkesan dengan kealiman dan keintelektualan Al-Farabi, sehingga beliau diberikan kedudukan yang baik dan diajak turut serta dalam suatu pertempuran untuk merebut kota Damaskus. Kemudian beliau menetap di kota ini sampai wafatnya pada tahun 337 H/ 950M pada usia 80 tahun.[3]
Mengenai tempat wafatnya Al-Farabi, Ibn Usaibi’ah menyebutkan bahwa Al-Farabi wafat di Mesir, hal ini dikarenakan Al-Farabi mengunjungi Mesir menjelang akhir hayatnya. Hal ini sangat mungkin, karena Mesir dan Syria mempunyai hubungan yang kuat disepanjang rentangan sejarah yang cukup panjang, dan kehidupan kebudayaan Mesir pada masa Thuluniyyah dan Ikhsyidiyyah yang memang mempunyai pesona yang luar biasa. Tetapi tersiarnya kabar tentang terbunuhnya Al-Farabi oleh beberapa perampok dalam perjalanannya antara Damaskus- Asqalan sebagaimana dikutip Al-Baihaqi adalah rekaan belaka. Hal ini dikarenakan Al-Farabi mencapai posisi yang sangat terpuji di Istana Sa’if al-Daulah, sampai-sampai sang Raja bersama para pengikut dekatnya mengantarkan jenazahnya ke pemakaman sebagai penghormatan atas kematian seorang sarjana terkemuka.[4]
Sebagaimana filosof Yunani, Al-Farabi menguasai berbagai disiplin ilmu. Keadaan ini didukung oleh ketekunan dan kerajinannya serta ketajaman otaknya. Berdasarkan karya tulisnya, filosof muslim keturunan Persia ini menguasai matematika, kimia, astronomi, musik, ilmu alam, logika, filsafat, bahasa, dan lain-lain. Khusus bahasa, menurut suatu riwayat, Al-farabi menguasai 70 bahasa. Menurut Ibrahim Madkur, riwayat ini lebih mendekati dongeng dibandingkan kenyataan yang sebenarnya. Agaknya penilaian Madkur ini dapat dibenarkan karena Bahasa yang berkembang dikala itu, termasuk Bahasa ibu Al-Farabi sendiri tidak akan cukup 70 macam.[5]
Al-Farabi adalah seorang tabib yang ternama, seorang ahli ilmu pasti dan seorang filosof yang ulung. Beliau juga terkenal sebagai seorang ahli dalam Bahasa-bahasa Yunani, Arab, Persia, Suria dan Turki. Beliau melebihi Al-Kindi, baik dalam memberi penjelasan dan tafsir umum maupun dalam menerjemahkan dan menusun kembali kitab-kitab filsafat Yunani. Dengan demikian, beliau dianggap sebagai komentator yang paling terpelajar dan tajam pada karya-karya Aristoteles.[6]
Al-Farabi benar-benar memahami filsafat Aristoteles, yang dijiluki al-Mu’alim al-Awwal (Guru Pertama), sihingga tidak mengherankan bila Ibnu Sina yang menyandang predikat al-Syeikh al-Ra’is (Kiyai Utama) mendapatkan kunci dalam memahami filsafat Aristoteles dari buku Al-Farabi yang berjudul fi Aghradhi ma ba’ad al-Thabi’at.
Al-Farabi dalam dunia intelektual islam mendapat kehormatan dengan julukan al-Mu’allim al-Sany (Guru Kedua). Penilaian ini dihubungkan dengan jasanya sebagai penafsir yang baik dari logika Aristoteles. Oemar Amin Hoesin berargumen, seolah-olah Aristoteles dalam dunia filsafat telah usai dan tugas kedua diemban Al-Farabi sebagai guru kedua. Agaknya kedua versi diatas dapat diterima karena filsafat Yunani dapat dikatakan telah lenyap dari peredaran dan Al-Farabi lah pelanjut dan pengembangnya, tetapi alasan logika lebih dominan.[7]
B.     Gagasan/ Pemikiran Al-Farabi
1.      Konsep Dasar Pendidikan Menurut Ibnu Al-Farabi
Menurut Al-Farabi pendidikan merupakan media untuk mendapatkan serangkaian nilai, pengetahuan, serta keterampilan praktis bagi individu dalam periode dan budaya tertentu guna membimbing individu menuju kesempurnaan. Karena manusia yang sempurna menurut Al-Farabi sebagaimana telah dipaparkan oleh Professor Ammar Al-Talbi dalam tulisannya yang berjudul “Al-Farabi’s Doctrine of Education: Between Philosophy and Sociological Theory”, adalah mereka yang telah mengetahui kebajikan secara teoritis dan menjalankannya dalam praktik keseharian.
Pendidikan menurut Al-Farabi harus menggabungkan antara teoritis dari belajar yang diaplikasikan dan tindakan praktis. Menurutnya, kesempurnaan manusia terletak pada tindakannya yang sesuai dengan teori yang dipahaminya. Ilmu tidak akan memiliki arti kecuali jika ilmu itu dapat diterapkan dalam kenyataan pada masyarakat. Karenanya, jika ilmu tidak diterapkan maka ilmu tidak akan berguna.
Penekanan pendidikan dalam pandangan Al-Farabi adalah akal budi. Ia menyarankan bahwa anak yang bertabiat tidak baik dapat diluruskan dengan cara penanaman pendidikan akhlak. Untuk anak yang tingkat intelegensinya rendah dapat dicerdaskan melalui metode yang diberikan secara berulang-ulang. Sedangkan untuk anak yang cerdas dan bertabiat baik, menurut Al-Farabi, hendaknya disikapi dengan penuh penghargaan. Karena bagaimanapun menurutnya, yang harus diprioritaskan bagi setiap anak adalah pembinaan akhlak. Sebab, akhlak merupakan modal dasar untuk segala macam disiplin ilmu lainnya.
Menurut Al-Farabi metode dalam mengajar ada dua macam, Pertama, untuk menimbulkan rasa keshalehan dan mengamalkan ilmu seperti metode yang meyakinkan, yaitu bahwa murid harus mengakuinya sebagai miliknya dan mengamalkannya secara spontan. Kedua, seorang guru harus menggunakan metode pemaksaan yang ditujukan untuk mereka yang tidak merasa memiliki perasaan sebagai penduduk dan mereka yang tidak memiliki kesadaran terhadap keberadaan dirinya.
Sedangkan tujuan pembelajaran menurut Al-Farabi yaitu sesuai dengan fungsi setiap ilmu, dan sesuai dengan partisipasinya dalam pendidikan manusia ; ilmu mantiq (logika) berfungsi untuk membangun akal dan menguatkan manusia; ilmu alam memandang  tubuh yang alamiah dan dalam pertumbuhannya, serta sebab-sebab kekuatanya; tujuan ilmu ketuhanan adalah memerangi prasangka yang jelek, yang menyangka bahwasanya Allah SWT memiliki kekurangan dalam perbuatan-Nya dan dalam eksistensi penciptaanya; ilmu kenegaraan membahas tentang pembagian kerja (jonb description) dan peraturan kekuasaan, serta tentang kerajaan dan etika, dengan tujuan utamanya adalah membahagiaakan masyarakat.
Terkait dengan berbagai tujuan tersebut, Al-Farabi membatasi pemahaman kurikulum dengan ilmu pembahasan utama, dan dalam setiap pembahasan terdapat tahapan dari berbagai ilmu, yaitu : pertama, ilmu speaking dan berbagai macamnya ; kedua, ilmu logika dengan berbagai macamnya; ketiga, ilmu pendidikan yang mencakup ilmu hitung, arsitek, ilmu debat, ilmu perbintangan, ilmu pembelajaran, musik,  dan yang lainnya; keempat, ilmu alam dengan berbagai macamnya dan ilmu ketuhanan dengan berbagai macamnya; dan kelima, ilmu kenegaraan dengan dengan berbagai macamnya, ilmu fiqih dan ilmu kalam.
2.      Rekonsiliasi Al-Farabi
Al-Farabi telah berhasil merekonsiliasikan beberapa ajaran filsafat sebelumnya, seperti Plato dan Aristoteles dan juga antara agama dan filsafat. Oleh karena itu, ia dikenal filosof sinkretisme yang mempercayai kesatuan filsafat.[8]
Al-Farabi berhasil menyusun dasar-dasar falsafat atas keyakinan tauhid menurut islam. Beliaulah yang mula-mula menyatakan bahwa tidak ada perbedaan antara filsafat Plato dengan filsafat Aristoteles, karena meskipun berlainan kedua jalan pikirannya, tetapi bersatu dalam tujuan dan hakekatnya.[9] Pendiriannya ini Nampak jelas pada karangan-karangannya, terutama dalam buku yang berjudul Al-Jam’u baina Ra’yai al-Hakimain (Penggabungan Pikiran Kedua Filosof, Plato dan Aristoteles).[10]
Cara Al-Farabi menyatukan kedua filosof diatas ialah dengan memajukan pemikiran masing-masing filosof yang cocok dengan pemikirannya. Seperti dalam membicarakan masalah ide yang menjadikan bahan polemik antara Aristoteles dan Plato. Filosof yang disebut pertama tidak dapat membenarkannya, karena menurutnya alam ide hanya ada dalam pikiran. Sedangkan filosof yang disebut kedua mengakui adanya dan berdiri sendiri.
Untuk mempertemukan kedua filosof ini, Al-Farabi menggunakan Interpretasi batini, yakni dengan menggunakan takwil bila ia menemui pertentangan pikiran antara keduanya. Kemudian ia tegaskan lebih lanjut, sebenarnya Aristoteles mengakui alam rohani yang terdapat diluar alam ini dan perkataannya yang mengingkari alam rohani tersebut masih dapat ditakwilkan. Jadi, kedua filosof tersebut sama-sama mengakui adanya ide-ide pada dzat Allah.
Sebenarnya, Al-Farabi telah keliru menganggap tidak terdapat perbedaan Antara Aristoteles dengan Plato. Letak kekeliruannya adalah ketika beliau menduga bahwa buku Theologia (al-Rububiyyat) merupakan karangan Aristoteles, padahal sesungguhnya buku tersebut adalah karya Plotinus, yang berisikan penetapan alam ide yang terletak bukan pada benda. Dengan demikian, pada hakikatnya Al-Farabi merekonsiliasikan antara Plato dan Plotinus, bukan antara Plato dan Aristoteles.[11]
Disamping itu, terlihat pula usaha Al-Farabi merekonsiliasikan antara agama dan filsafat. Filsafat dan agama baginya dua perkara yang bersatu padu, dan tidak dapat dipisahkan, karena keduanya mencari dan menuju kepada kebenaran, dan antara kebenaran tidak ada perbedaan. Beliau berpendapat bahwa filsafat dan agama berdasarkan atas kebenaran, yang ditinjau dari sudut yang berlainan. Masing-masing menempuh cara dan jalan tersendiri, filsafat menuju kepada kebenaran menempuh jalan yang berlainan dengan jalan yang ditempuh agama. Sementara agama menempuh jalan wahyu dan kebersihan diri, filsafat menempuh jalan pemikiran dan dasar logika, sementara filsafat membuahkan hakekat untuk suatu golongan ahli pikir, agama membuahkan kebenaran untuk seluruh manusia.[12]
Oleh karena itu, menurut Al-Farabi tidaklah berbeda Antara kebenaran yang disampaikan oleh para nabi dengan kebenaran yang dimajukan filosof, dan Antara ajaran islam dengan filsafat Yunani. Akan tetapi, hal ini tidak berarti Al-Farabi menerima kelebihan filsafat dari agama.[13]
3.      Pemikiran Ketuhanan
Al-Farabi dalam pembahasan tentang ketuhanan mengompromikan Antara filsafat Aristoteles dan Neo-Platonisme, yakni Al-Maujud al-Awwal (Wujud Pertama) sebagai sebab pertama bagi segala yang ada. Konsep ini tidak bertentangan dengan keesaan yang mutlak dalam ajaran islam.
Dalam membuktikan adanya Allah Al-Farabi mengemukakan dalil Wajib al-Wujud dan mumkin al-wujud. Menurutnya segala yang ada ini hanya dua kemungkinan dan tidak ada alternative yang ketiga, yakni wajib al-Wujud dan mumkin al-wujud.
Adapun yang dimaksud dengan wajib al-wujud adalah wujudnya tidak boleh tidak mesti ada, ada dengan sendirinya, karena natur-nya sendiri yang menghendaki wujudnya. Esensinya tidak dapat dipisahkan dari wujud, keduanya adalah sama dan satu. Ia adalah wujud yang sempurna dan adanya tanpa sebab dan wujudnya tidak terjadi karena lainnya. Ia ada selamanya dan tidak didahului oleh tiada. Jika wujud ini tidak ada, maka akan timbul kemustahilan karena wujud lain untuk adanya bergantung kepadanya. Wajib al-wujud inilah yang disebut dengan Allah. Sementara yang dimaksud dengan mumkin al-wujud ialah sesuatu yang sama Antara berwujud dan tidak.
Tentang sifat-sifat Allah Al-Farabi sejalan pendapatnya dengan Mu’azilah, yakni sifat Allah tidak berbeda dengan zat-Nya (substansi-Nya). Allah, bagi Al-Farabi adalah ‘Aql murni. Ia Esa adanya dan yang menjadi objek pemikiran-Nya hanya substansi-Nya. Ia tidak memerlukan sesuatu yang lain untuk memikirkan substansi-Nya, tetapi cukup substansi-Nya sendiri. Jadi Allah adalah ‘Aql, ‘Aqil, dan Ma’qul (Akal, substansi yang berpikir, dan substansi yang dipikirkan).
Tentang ilmu Allah, pemikiran Al-Farabi terpengaruh oleh Aristoteles yang mengatakan bahwa Allah tidak mengetahui dan tidak memikirkan alam. Pemikiran ini dikembangkan Al-Farabi dengan mengatakan bahwa Allah tidak mengetahui yang juz’iyyati (particular). Menurutnya, bahwa pengetahuan Allah tentang yang rinci tidak sama dengan pengetahuan manusia. Pengetahuan-Nya tentang juz’i tidak secara langsung, melainkan lewat kulli sebagai sebab bagi yang juz’i.
Al-Farabi juga mengemukakan ayat-ayat Al-Qur’an dalam rangka menyucikan Allah dari bersifat. Ayat-ayat tersebut ialah surat Asy-Syura: 42 dan surat As-Shaffat: 180.
Tentang asma al-husna, menurut Al-Farabi kita boleh saja menyebutkan nama-nama tersebut sebanyak yang kita inginkan tetapu nama tersebut tidak menunjukan adanya bagian-bagian pada dzat Allah atau sifat-sifat yang berbeda dari dzat-Nya.[14]
4.      Emanasi
Faktor yang mendorong Al-Farabi mengemukakan emanasi ini tampaknya Al-Farabi ingin menegaskan tentang keesaan Allah, bahkan melebihi Al-Kindi.
Emanasionisme Al-Farabi adalah cangkokan doktrin Plotinus yang dikombinasikan dengan system kosmologi Ptalomeus sehingga menimbulkan kesan bahwa Al-Farabi hanya mengalihbahasakan dari Bahasa sebelumnya kedalam Bahasa arab. Menurut Nurcholish Madjid, Al-Farabi mempelajari dan mengambil ramuan asing ini terutama karena paham ketuhanannya memberikan kesan tauhid.[15]
Emanasi melahirkan alam kadim dari segi zaman (taqaddum zamany), bukan dari segi dzat (taqaddum zaty). Karena alam dijadikan Allah secara emanasi sejak azali tanpa diselangi oleh waktu, namun ia sebagai hasil ciptaan, berarti ia baharu.
Struktur emanasi Al-Farabi dipengaruhi oleh temuan saintis saat itu, yakni Sembilan planet dan satu bumi. Karenanya, beliau membutuhkan sepuluh akal, setiap satu akal mengurusi satu planet termasuk bumi.[16]
5.      Pemikiran Kenabian
Filsafat kenabian Al-farabi erat kaitannya Antara nabi dan filosof dalam kesanggupannya untuk mengadakan komunikasi dengan akal fa’al. Motif lahirnya filsafat Al-Farabi ini disebabkan adanya pengingkaran terhadap eksistensi kenabian secara filosofis oleh Ahmad ibn Ishaq Al-Ruwandi.
Al-Farabi adalah filosof muslim pertama yang mengemukakan filsafat kenabian secara lengkap, sehingga hamper tidak ada penambahan oleh filosof-filosof sesudahnya. Filsafat ini didasarkan pada psikologi dan metafisika yang erat hubungannya dengan ilmu politik dan etika.
Menurut Al-Farabi, manusia dapat berhubungan dengan akal fa’al (Jibril) melalui dua cara, yakni penalaran atau renungan pemikiran dan imajinasi atau inspirasi (ilham). Cara pertama hanya dapat dilakukan oleh para filosof yang dapat menembus alam materi dan dapat mencapai cahaya ketuhanan, sedangkan cara kedua hanya dapat dilakukan oleh nabi.
Jadi ciri khas seorang nabi oleh Al-Farabi ialah mempunyai daya imajinasi yang kuat dan ketika berhubungan dengan akal fa’al ia dapat menerima visi dan kebenaran-kebenaran dalam bentuk wahyu. Wahyu tidak lain adalah limpahan dari Allah melalui akal fa’al (akal kesepuluh) yang dalam penjelasan Al-Farabi adalah Jibril. Sementara filosof dapat berkomunikasi dengan Allah melalui akal perolehan yang telah terlatih dan kuat daya tangkapnya sehingga sanggup menangkap hal-hal yang bersifat abstrak murni dari akal kesepuluh.
Oleh karena itu, setiap nabi adalah filosof dan tidak setiap filosof adalah nabi. Akan tetapi filosof tidak bisa menjadi nabi, yang selamanya nabi tetap manusia pilihan Allah.
Al-Farabi menekankan bahwa kebenaran wahyu tidak bertentangan dengan pengetahuan filsafat sebab Antara keduanya sama-sama mendapatkan dari sumber yang sama, yakni akal fa’al. demikian pula tentan mukjizat sebagai bukti kenabian, menurut Al-Farabi, dapat terjadi dan tidak bertentangan dengan hukum alam karena sumber hukum alam dan mukjizat sama-sama berasal dari akal kesepuluh sebagai pengatur dunia ini.[17]
6.      Pemikiran Kenegaraan
Al-Farabi dalam bukunya Ara’u Ahl al-Madinah al-Fadhilah (Negara Utama) memperbandingkan masyarakat dengan badan manusia.[18] Masyarakat yang sudah lengkap bagian-bagiannya diibaratkan sebagai organisme tubuh manusia dengan anggotanya yang lengkap. Masing-masing organ tubuh harus bekerja sesuai dengan fungsinya. Apabila satu organ tubuh sakit, organ tubuh yang lain akan merasakan penderitaan dan akan menjaganya. Demikian pula anggota masyarakat Negara Utama, yang terdiri dari warga yang berbeda kemampuan dan fungsinya, hidup saling membantu atau dengan kata lain senasib dan sepenanggungan. Masing masing harus diberikan pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan dan spesialisasi mereka. Dengan kata lain, saling membantu dan bekerjasama bukan hanya antar warga Negara, tetapi juga antar Negara dan warganya.[19]
Al-Farabi menegaskan bahwa Negara yang utama ialah Negara yang memperjuangkan kemakmuran dan kebahagiaan warga negaranya.[20]
Pokok filsafat kenegaraan Al-Farabi ialah autokrasi dengan seorang raja yang berkuasa mutlak mengatur Negara. Menurut beliau Negara yang utama ialah kota (Negara) yang warga-warganya tersusun menurut susunan alam besar (makrokosmos) atau menurut susunan alam kecil (mikrokosmos). Didalam Negara yang terpenting adalah kepala Negara. Dimisalkannya dengan hati, yaitu yang terpenting dalam diri manusia. Karena hati adalah unsur badan manusia yang paling sempurna, maka kepala Negara juga haruslah dipilih orang yang paling sempurna dari semua warga Negara.
Mengenai etika kenegaraan, Al-Farabi mengemukakan suatu ide yang mengemukakan bahwa dalam tiap keadaan ada unsur pertentangan. Hal itu seperti dalam alam, yang kuat berarti lebih sempurna dari yang lemah.[21]
7.      Pemikiran Jiwa
Bagi Al-Farabi jiwa manusia mempunyai daya-daya sebagai berikut:
a.       Daya al-Muharrikat (gerak), daya ini yang mendorong untuk makan, memelihara, dan berkembang.
b.      Daya al-Mudrikat (mengetahui), daya ini yang mendorong untuk merasa dan berimajinasi.
c.       Daya al-Nathiqat (berpikir), daya ini yang mendorong untuk berpikir secara teoritis dan praktis.
8.      Pemikiran/ Teori tentang Akal
Teori Al-Farabi tentang akal, didasarkan pada Aristoteles. Al-Farabi secara tegas menyatakan bahwa teorinya itu bertumpu pada bagian ketiga dari De Anima-nya Aristoteles, tetapi beliau sendiri mempunyai andil dalam teori ini. Konsepsinya tentang akal berbeda dari Aristoteles, karena teori itu hamper tercirikan dengan intelegensi-intelegensi yang terpisah, dan bertindak sebagai penghubung antara pengetahuan manusia dan wahyu. Dengan demikian, berbeda dari teori Alexander dari Aphrodisias dan al-Kindi, dan itu adalah hasil dari kecenderungan mistis Al-Farabi dan penyandarannya pada sistem Plotinus.
C.    Karya-karya Al-Farabi
Al-Farabi meninggalkan sejumlah besar tulisan yang penting. Karya Al-Farabi ini dapat dibagi menjadi dua, pertama mengenai bidang logika, dan kedua mengenai bidang lain. Karya-karya tentang logika menyangkut bagian-bagian berbeda dari organon-nya Aristoteles, baik yang berbentuk komentar maupun ulasan panjang. Kebanyakan tulisan ini masih berupa naskah. Sedangkan karya-karya kelompok kedua menyangkut berbagai cabang pengetahuan filsafat, fisika, matematika, metafisika, etika dan politik. Didalam kelompok ini, studi ilmiah yang sebenarnya tidak dilakukan, Al-Farabi malah tidak menyinggung masalah kedokteran dan pembahasannya tentang kimia, tetapi cenderung sekedar mempertahankan pendapat daripada bentuk penelitian dan analistis.[22]
Jika ditinjau dari ilmu pengetahuan, karya-karya Al-Farabi dapat ditinjau menjadi 6 bagian, yaitu:
1.      Logika
2.      Ilmu-ilmu Matematika
3.      Ilmu Alam
4.      Theologi
5.      Ilmu Politik dan Kenegaraan
6.      Bunga Rampai (Kutub Munawa’ah)
Karangan Al-Farabi tidak kurang dari 128 buah kitab, yang kebanyakan mengenai filsafat Yunani. Dalam karyanya Ihsan ul-Ulum (Ecyclopedia of Science), beliau memberikan suatu tinjauan umum dari segala sains. Buku ini terkenal di Barat sebagai De Scientiis dari terjemahan Latin oleh Gerard Cremona.
Sebagian besar karangan Al-Farabi terdiri dari ulasan dan penjelasan terhadap Aristoteles, Plato, dan Galenus dalam bidang-bidang logika, fisik, dan metafisika. Meskipun banyak tokoh filsafat yang diulas pemikirannya, namun beliau lebih terkenal sebagai pengulas Aristoteles.
Diantara karangan-karangannya ialah:
1.      Aghdlu ma Ba’da at-Thabi’ah (Intisari Buku Metafisika).
2.      Al-Jam’u baina Ra’yai al-Hakimain (Mempertemukan Pendapat Kedua Filosof; Plato dan Aristoteles).
3.      Tahsil As-Sa’adah (Mencari Kebahagiaan).
4.      ‘Uyun ul-Masail (Pokok-pokok Persoalan).
5.      Ara-u Ahl al-Madinah al-Fadhilah (Pikiran-pikiran Penduduk Kota Utama Negeri Utama).
6.      Ihsha’u al-Ulum (Statistik Ilmu).[23]
7.      Risalat fi Isbat al-Mufaraqat.
8.      Maqalat fi Ma’any al-‘Aql.
9.      Fushul al-Hukm.
10.  Al-Siyasat al-Madaniyyat.
11.  Risalat al-‘Aql dan lain-lain.[24]
Dalam buku Ihsha’u al-Ulum, Al-Farabi membicarakan macam-macam ilmu dan bagiannya, yaitu ilmu-ilmu Bahasa (ilm al-lisan), ilmu mantik, ilmu matematika (at-taalim), ilmu fisika (al-ilm at-tabi’), ilmu ketuhanan (al-ilm al-illahi), ilmu kekotaan, politik, ilmu fiqh (ilm al-fiqh), dan ilmu kalam. Nampaknya ilmu-ilmu tersebut telah dikemukakan oleh orang-orang sebelumnya. Hanya saja Al-Farabi menambahkan dua cabang ilmu lagi, yaitu ilmu fiqh dan ilmu kalam, sebagai ilmu-ilmu keislaman yang mendapat perhatian besar pada masanya.[25]
Ibn Khalikan berpendapat bahwa Al-Farabi menulis hampir semua bukunya di Baghdad dan Damaskus. Tidak terdapat tanda-tanda bahwa ia pernah menulis buku pada usia sebelum lima puluh tahun. Beberapa sarjana telah berusaha menulis daftar kronologis karya-karyanya, tetapi orang dapat menyangsikan nilai daftar seperti itu, karena seluruh karyanya ditulis pada tiga puluh tahun terakhir dari masa hidupnya ketika ia mulai menulis sebagai filosof yang sepenuhnya telah matang dan tentu tidak diperoleh suatu perubahan atau perkembangan dalam pemikiran atau doktrinnya selama periode ini.
Langgam Al-Farabi bersifat ringkas dan tepat. Beliau secara hati-hati memilih kata-kata dan pernyataan-pernyataannya, sebagaimana ketika beliau secara mendalam memikirkan pendapat-pendapat dan pemikiran-pemikirannya. Ungkapan-ungkapannya mempunyai arti yang menghunjam. Al-Farabi mempunyai langgam yang istimewa, siapapun yang terbiasa dengannya, akan mengakui hal ini. Beliau menghindari pengulangan dan penambahan yang berlebihan serta lebih senang dengan hal-hal yang ringkas.
Metode yang beliau pakai hampir sama dengan langgam yang dimilikinya. Beliau mengumpulkan dan menggeneralisasi, menyusun dan menyelaraskan, menganalisis untuk menulis, membagi dan membagi lagi agar terpusat dan terkelompokkan. Dalam beberapa tulisannya, pembagian dan penggolongan tampak hanya sebagai tujuan belaka.
Karya-karya Al-Farabi tersebar luas di Timur pada abad ke-4 dan 5 H/ ke-10 dan 11 M, dan mungkin mencapai Barat ketika sarjana-sarjana Andalusia menjadi pengikut Al-Farabi. Beberapa tulisannya juga telah diterjemahkan kedalam Bahasa Yunani dan Latin, serta telah mempengaruhi sarjana Yahudi dan Kristen. Karya-karya ini telah diterbitkan pada sepuluh tahun terakhir abad ke-13 H/ ke-19 M, dan beberapa diantaranya diterjemahkan kedalam berbagai Bahasa Eropa modern.[26]


BAB III
ANALISIS PEMIKIRAN DAN KARYA AL-FARABI

Menurut pendapat saya, pemikiran Al-Farabi mengenai pendidikan, sangat sesuai dengan konsep pendidikan yang berjalan saat ini, yakni dengan mengedepankan pendidikan akhlak atau sering disebut pendidikan karakter. Saya pun setuju dengan pendapat beliau, karena akhlak merupakan modal dasar untuk berbagai disiplin ilmu lainnya, maka dari itu akhlak peserta didik sangat perlu dibina. Secerdas apapun peserta didik, jika dia memiliki akhlak yang tidak baik, maka dia akan memanfaatkan kecerdasannya itu pada hal-hal yang negatif dan merugikan, baik bagi dirinya maupun orang lain.
Selain itu, menurut Al-Farabi pendidikan harus menggabungkan antara teoritis dari belajar yang diaplikasikan dan tindakan praktis atau dalam kata lain harus seimbang antara pemahaman dengan pengaplikasian. Mengenai hal ini pun saya sependapat dengan beliau, karena memang ilmu itu harus diamalkan/ diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, jika ilmu tidak diamalkan, maka ilmu tersebut tidak akan barokah dan dapat dikatakan tidak memiliki arti atau tidak berguna.
Selain dalam pendidikan secara umum, pemikiran Al-Farabi sangat kental dalam ilmu filsafat. Pemikirannya dalam bidang filsafat dipengaruhi oleh filsafat Aristoteles, Plato, dan Plotinus. Namun meskipun begitu, beliau telah berhasil mengembangkan dan memperdalamnya sehingga dapat dikatakan hasil filsafatnya sendiri. Beliau juga menciptakan filsafat sendiri yang belum dibicarakan oleh filosof Yunani. Dengan demikian, beliau telah berhasil menciptakan filsafat Islam yang mempunyai ciri khas sendiri. Filsafat Al-Farabi juga begitu kompleks, sehingga apa yang dibicarakan oleh filosof muslim sesudahnya hampir sudah pernah disinggung oleh Al-Farabi. Pemikiran Al-Farabi juga mempunyai gagasan-gagasan yang modern dan kontemporer, sehingga dapat juga diaplikasikan pada zaman sekarang ini.
Karya-karya Al-Farabi, cenderung sekedar mempertahankan pendapat daripada bentuk penelitian dan analistis, sehingga karya-karyanya kurang bersifat ilmiah. Namun meskipun begitu, karya-karyanya tersebut bersifat ringkas dan tepat sehingga dapat lebih mudah dipahami.
Al-Farabi memiliki keinginan serta kekuatan dalam berfilsafat, namun disamping itu Al-Farabi juga memiliki kelemahan dalam politik kenegaraan, hal ini disebabkan karena beliau lebih sibuk dalam urusan menimba ilmu pengetahuan untuk mengembangka ilmu-ilmunya. Maka dari itu, sebaiknya beliau lebih ikut serta dalam kegiatan kenegaraan. Karena sebagaimana kita ketahui bahwa kiita hidup dan tinggal dalam wilayah suatu Negara yang memiliki pemerintahan.
                                                         


BAB IV
PENUTUP
A.    Kesimpulan
1.      Nama lengkap Al-Farabi adalah Abu Nashr Muhammad ibnu Muhammad ibnu Tarkhan ibnu Auzalagh. Al-Farabi dilahirkan di Wasij, Distrik Farab, Turkistan pada tahun 257 H/ 870 M. Ayahnya seorang jendral berkebangsaan Persia dan ibunya berkebangsaan Turki. Dalam usia 40 tahun Al-Farabi pergi ke Baghdad, untuk belajar kaidah-kaidah Bahasa Arab dan belajar logika serta belajar filsafat. Kemudian, beliau pindah ke Harran, pusat kebudayaan Yunani di Asia Kecil dan berguru kepada Yuhanna ibnu Jailan. Akan tetapi, tidak berapa lama beliau kembali ke Baghdad untuk memperdalam ilmu filsafat. Pada tahun 330 H/ 945 M, beliau pindah ke Damaskus, Syria dan menetap di kota ini sampai wafatnya pada tahun 337 H/ 950M pada usia 80 tahun.
2.      Pemikiran pendidikan Al-Farabi lebih menekankan pada pendidikan akal budi. Pemikiran filsafat Al-Farabi terpengaruh oleh filsafat aristoteles, Plato, dan Plotinus, namun beliau telah berhasil mengembangkan dan memperdalamnya sehingga dapat dikatakan hasil pemikirannya sendiri. Dengan demikian beliau telah berhasil menciptakan filsafat islam yang mempunyai ciri khas tersendiri. Seperti dalam pemikiran-pemikiran yang telah dijelaskan diatas.
3.      Al-Farabi meninggalkan sejumlah besar tulisan yang penting. Karangan Al-Farabi tidak kurang dari 128 buah kitab, yang kebanyakan mengenai filsafat Yunani. Karya-karya Al-Farabi tersebar luas di Timur pada abad ke-4 dan 5 H/ ke-10 dan 11 M, dan mungkin mencapai Barat ketika sarjana-sarjana Andalusia menjadi pengikut Al-Farabi.

B.     Saran
Penulis sadar, dalam penulisan makalah ini masih terdapat banyak kekurangan. Maka dari itu, saya sebagai penulis sangat mengharapkan saran dan kritikan demi kesempurnaan penulisan makalah selanjutnya.


[1] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2010), hlm. 65.
[2] Sudarsono, Filsafat Islam, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1997), hlm. 30.       
[3] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2010), hlm. 65-66.
[4] M.M Syarif, Para Filosof Muslim, (Bandung: Penerbit Mizan, 1993), hlm. 58.
[5] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2010), hlm. 66.
[6] Sudarsono, Filsafat Islam, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1997), hlm. 31.
[7] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2010), hlm. 67.
[8] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2010), hlm. 68.
[9] Abubakar Aceh, Sejarah Filsafat Islam, (Sala: CV Ramadhani, 1982), hlm. 48.
[10] Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1991), hlm.83.
[11] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2010), hlm. 68-89.
[12] Abubakar Aceh, Sejarah Filsafat Islam, (Sala: CV Ramadhani, 1982), hlm. 48.
[13] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2010), hlm. 70.
[14] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2010), hlm. 70-74.
[15] Nurcholis Madjid, Khazanah Intelektual Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hlm.24.
[16] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2010), hlm. 77-78.
[17] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2010), hlm. 78-81.
[18] Poerwantana, dkk, Seluk-Beluk Filsafat Islam, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1993), hlm. 138.
[19] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2010), hlm. 83-84.
[20] Poerwantana, dkk, Seluk-Beluk Filsafat Islam, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1993), hlm. 138.
[21] Poerwantana, dkk, Seluk-Beluk Filsafat Islam, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1993), hlm. 139-140.
[22] M.M Syarif, Para Filosof Muslim, (Bandung: Penerbit Mizan, 1993), hlm. 58-59.
[23] Sudarsono, Filsafat Islam, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1997), hlm. 31-32.
[24] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2010), hlm. 68.
[25] Sudarsono, Filsafat Islam, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1997), hlm. 32.
[26] M.M Syarif, Para Filosof Muslim, (Bandung: Penerbit Mizan, 1993), hlm. 59-61.